Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat Raghaib adalah shalat dua belas rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’ pada awal malam Jum’at bulan Rojab. Shalat roghoib ini disebut dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Qut Al-Muluk karena menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk Syarah Muhazab dan Syarah Muslim, dalil shalat roghoib ini sangat lemah dan bahkan maudhuf.
Tata cara shalat ini mengambil hadits yang dihukumi oleh ulama sebagai hadits palsu, diriwayatkan dari Anas bin Malik:
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَان شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرأَمَّتِيْ :
وَمَا مِنْ أَحَدٍ يَصُوْمُ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوَّلَ خَمِيْسٍ فِيْ
رَجَبٍ ثُمَّ يًُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَتَمَةِ يَعْنِيْ
لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ وَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ
رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ مَرَّةً و (إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى
لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) ثَلا َثَ مَرَّاتٍ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
اثْنَتَيْ عَشَرَةَ مَرَّةً يُفْصَلُ بَيْنَ كَلِّ رَكْعَتَيْنِ
بِتَسْلِمَتَيْنِ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ صَلِّيْ عَلَيَّ
سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَقُوْلُ اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيْ
الأمِيْ وً عًلًى آلِهِ ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُوْلُ فِيْ سُجُدِهِ سُبُوْحٌ
قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئكَةِ وَ الرُّوْحِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ
يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُوْلُ رَيِّ اغْفِرْلِيْ وارْحَمْ وَ تَجَاوَزْ
عَمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الأَعْظَمُ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَ فِيْ السَجْدَةِ
الأُولَى ثُمَّ يَسْأَلُ اللهَ حَاجَتَهُ فَإِنَّهَا تُقْضَى قَالَ
رَسُوْل الله : وَالَّذِيْ تَفْسِيْ بيَدِهِ مَا مِنْ عَبْدٍ وَلا َ لأ
أَمَةٍ صَلَّى هَذِهِ الصَلاَةَ إِلاَّ غَفَرَ الله لَهُ جَمِيْعَ
ذُنُوْبِهِ وَ إنْ كَانَ مِثْلَ زَيَدِ الْبَحْرِ وَ عَدَدَ وَرَقِ
الأَشْجَارِ و شَفَعَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ سَبْعِمِائَةِ مِنْ أَهْلَ
بَيْتِهِ . فَإِذَا كَانَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فِيْ قَبْرِهِ جَاءَ
ثَوَّابُ هَذِهِ الصَّلاَةِ فَيُجِيْبُهُ بِوَجْهٍ طَلِقٍ وَلِسَانٍ ذَلِقٍ
فَيَقُوْلُ لَهُ حَبِيْبِيْ أَبْشِرْ فَقَدْ نَجَوْتَ مِنْ كُلِّ شِدَّةٍ
فَيَقُوْلُ مَنْ أَنْتَ فَوَ اللهِ مَا رَأَيْتُ وَجْهًا أَحْسَنَ مِنْ
وَجْهِكَ وَلاَ سَمِعْتُ كَلاَمًا أَحْلَى مِنْ كَلاَمِكَ وَلاَ شَمَمْتُ
رَائِحَةُ أَطْيَبُ مِنْ رَائِحَتِكَفَيَقُوْلُ لَهُ يَا حَبِيْبِيْ أَنَا
ثَوَابُ الصَلاَةِ الَّتِيْ صَلَّيْتَهَا فِيْ لَيْلَةِ كَذَا فِيْ شَهْرِ
كَذَا جِئْتُ الليْلَة َ لأَ قْضِيْ حَقَّكَ وَ أُوْنِِسَ وَحْدَتَكَ وَ
أَرْفَعَ عَنْكَ وَحْشَتَكَ فَإِذَا نُفِخَ فِيْ الصُوْرِ أَظْلَلْتُ فِيْ
عَرَصَةِ الْقِيَامَةِ عَلَى رَأْسِكَ وَ أَبْشِرْ فَلَنْ تَعْدَمَ
الْخَيْرَ مِنْ مَوْلاَكَ أَبَدًا
Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhon bulan umatku. Tidak ada seorang berpuasa pada hari Kamis, yaitu awal Kamis dalam bulan Rajab, kemudian shalat diantara Maghrib dan ‘Atamah (Isya) -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali dan surat Al Qadr tiga kali, serta surat Al Ikhlas duabelas kali. Shalat ini dipisah-pisah setiap dua raka’at dengan salam. Jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa alihi, kemudian sujud, lalu menyatakan dalam sujudnya “Subuhun qudusun Rabbul malaikati wa ar ruh” tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma ta’lam, inaka antal ‘Azizul a’zham” tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama. Lalu memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasululloh bersabda,”Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidak ada seorang hamba lali-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Jika berada pada malam pertama, di kuburnya akan datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian, sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari maulamu (Allah) selama-lamanya’.”
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
Tidak diagukan lagi amalan di atas adalah bid’ah yang munkar, amalan di atas memang berdasarkan sebuah hadits yang disebutkan dalam kitab ihya’ ulumuddin karangan Imam Al Ghozali namun hadits dhoif dan munkar.
ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء
والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب
مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا
فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب
الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز
عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في
السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله
-صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه
الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ،
ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته
ممن قد استوجب النار”
“Tidaklah seseorang yang melaksanakan puasa pada hari Kamis (pertama di bulan Rajab), kemudian ia melaksanakan shalat antara Isya dan al-‘Atamah pada malam jum’at sebanyak 12 rakaat, dalam setiap rakaat membaca al-Fatihah satu kali dan al-Qadar tiga kali dan al-Ikhlash 12 kali, setiap 2 rakaat dipisah dengan salam. setelah shalat, bershalawat 70 kali, dalam sujudnya ia ucapkan: “Maha Suci Allah Tuhan para malaikat dan ruh”. Kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan sebanyak 70 kali: “Ya Allah ampunilah, kasihilah, maafkanlah apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Mulia”. Kemudian sujud yang kedua mengucapkan kalimat yang sama pada sujud pertama. Kemudian memohonkan apa yang ia inginkan kepada Allah. Maka Allah akan mengabulkannya. Rasulullah Saw bersabda: “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba laki-laki dan perempuan melaksanakan shalat ini melainkan Allah mengampuni semua dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan, sebanyak pasir, seberat bukit dan sebanyak daun kayu. Ia dapat memberikan pertolongan (Syafaat) pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya yang wajib masuk neraka”.
Tidak sedikit para ulama yang mendhoifkan hadits di atas dari kalanngan ulama empat madzhab dan menganggap amalan di atas sebagaia amalan yang mungkar.
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Shalat roghoib yang dilakukan pada awal malam Jumat bulan Rajab itu tidak ada dasarnya dalam agama. Karena shalat adalah ibadah murni, sebaiknya tidak mengamalkannya tanpa ada dalil dari Quran, hadits atau ijmak ulama.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3/549 berkata :
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب , وهي ثنتا عشرة ركعة تصلى بين المغرب
والعشاء ليلة أول جمعة في رجب , وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان
الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب ,
وإحياء علوم الدين , ولا بالحديث المذكور فيهما فإن كل ذلك باطل ، ولا يغتر
ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الأئمة فصنف ورقات في استحبابهما فإنه غالط
في ذلك , وقد صنف الشيخ الإمام أبو محمد عبد الرحمن بن إسماعيل المقدسي
كتابا نفيسا في إبطالهما فأحسن فيه وأجاد رحمه الله
Artinya: Salat yang dikenal dengan sebutan Shalat Raghaib, dua belas rakaat dilakukan antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rojab, serta shalat malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) sebanyak 100 roka’at, keduanya termasuk bid’ah yang mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutkannya kedua sholat tersebut dalam kitab Quut al-Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan jangan tertipu pula oleh hadits yang tertulis pada kedua kitab tersebut, sebab seluruhnya adalah merupakan kebatilan.
Iman Nawawi dalam Syarah Muslim hlm. 8/20 juga menyatakan makruhnya melakukan shalat roghoib sedangkan status shalatnya adalah bid'ah munkaroh.
واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب - قاتل
الله واضعها ومخترعها - فإنها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة ،
وفيها منكرات ظاهرة
Artinya: Ulama berpendapat atas makruhnya shalat bid'ah yang disebut raghaib. Shalat ini termasuk bid'ah munkaroh, sesat dan bodoh. Di dalamnya terdapat kemungkaran yang jelas.
Al Khottobi berkata : “Hadits sholat rogoib penuh dengan kebohongan dan kedustaan yang tidak sedikit”.
Al Hafidz Ibnu Rajab berkata : “adapun amalan sholat maka tidak dibenarkan di dalam bulan rajab suatu sholat yang khusus pada bulan itu, hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan sholat roghoib di hari jum’at pertama adalah dusta dan batil, sholat bid’ah ini tidak dibenarkan oleh kalangan mayoritas ulama”
Tentu masih banyak lagi para ulama’ yang membatilkan sholat di atas. Bukan hanya yang kami sebutkan.
HUKUM SHOLAT ROGHOIB
Hukum shalat Raghaib adalah bid’ah, karena tidak didasarkan dengan dalil-dalil yang shahih, menyelisihi tata cara shalat sunnah yang sudah dikenal. Pada zaman salaf al shalih, shalat Raghaib ini tidak pernah dikenal, dan mereka tidak ada yang melakukannya. Oleh karena itu, Al ‘Izz bin Abdussalam menegaskan bid’ahnya shalat Raghaib, dengan memberikan argumentasi, yang secara khusus ditujukan kepada ulama, dan secara umum bagi kalangan awam.
Adapun yang khusus ditujukan untuk para ulama terdapat dua catatan, yaitu:
1. Seorang ulama, jika melakukan shalat tersebut, ia dapat mempengaruhi opini kepada masyarakat umum, bahwa shalat ini sebagai sunnah, sehingga ia berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan amalannya, yang terkadang mewakili lisannya.
2. Ulama yang mengamalkan shalat ini, menjadi penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan “Ini adalah salah satu sunnah Beliau”, padahal seseorang tidak diperbolehkan menjadi penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan bagi kalangan awam, secara umum sebagai berikut:
1. Orang awam yang melakukan perbuatan bid’ah, dapat memotivasi para pembuat bid’ah untuk membuat kebid’ahan dan kebohongan (hadits palsu). Padahal memotivasi berbuat batil dan menolongnya, termasuk perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Sedangkan meninggalkan kebid’ahan dan hadits-hadits palsu, dapat mencegah munculnya kebid’ahan ataupun hadits palsu. Mencegah dan memperingatkan kemungkaran termasuk ajaran penting dalam syari’at.
2. Shalat ini menyelisihi Sunnah tidak gerak dalam shalat. Dalam shalat ini, terdapat pengulangan surat Al Ikhlash dan Al Qadr. Menghitungnya, tidak dapat dilakukan secara umum, kecuali dengan menggerakkan sebagian anggota tubuh.
3. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah yang berkaitan dengan khusu’, merendahkan diri, menghadirkan hati dalam shalat, konsentrasi kepada Allah, merasakan keagungan Allah dan memahami makna bacaan dan dzikir. Maka jika ia memperhatikan jumlah surat dengan hatinya, maka ia telah berpaling dari Allah dan meningalkanNya dengan satu perkara yang tidak disyari’atkan dalam shalat. Memalingkan wajah dalam shalat dicela oleh syari’at, apalagi berpaling dengan hati yang merupakan tujuan besar dalam shalat.
4. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan yang sunnah dalam shalat nafilah (sunnah). Karena shalat-shalat nafilah disunnahkan dan lebih utama dikerjakan di rumah dari pada masjid, kecuali shalat-shalat nafilah yang telah dijelaskan syari’at, seperti shalat Istisqa’ dan Kusuf. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي الْمَسْجِدِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَة
Shalatnya seseorang di rumahnya, lebih baik dari shalatnya di masjid, kecuali shalat fardhu.
5. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan sunnah. Bahwasanya pelaksanaan shalat sunnah, tidak dilakukan secara berjama’ah, tetapi disunnahkan secara sendiri-sendiri, kecuali yang telah ditetapkan syari’at. Dan kebid’ahan yang dibuat-buat atas nama Rasulullah ini tidak termasuk dalam kategori sunnah tersebut.
6. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah mengkonsentrasikan hati dari hal-hal yang menyibukkannya sebelum masuk dalam shalat; karena shalat Raghaib ini dilakukan dalam keadaan lapar dan haus, apalagi pada hari-hari yang sangat panas; padahal shalat tidak dilaksanakan dengan adanya hal-hal yang menyibukkannya yang dapat dihilangkan.
7. Kedua sujud (setelah selesai shalat tersebut) dilarang, karena dalam syari’at tidak terdapat adanya sujud secara tersendiri tanpa sebab sebagai amalan mendekatkan diri kepada Allah Subahnahu wa Ta’ala ; padahal mendekatkan diri kepada Allah dengan sesusatu ibadah memiliki sebab, syarat, waktu dan rukun-rukun tertentu, sehingga tidak dianggap sah tanpanya. Misalnya, seperti tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan wukuf di Arafah, Mudzdalifah, melempar jumrah dan sa’i antara Shafa dan Marwa, dengan tanpa melakukan manasik (haji atau umrah) pada waktunya dengan sebab dan syarat-syaratnya. Maka, demikian juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sujud semata, walaupun sujud merupakan ibadah, kecuali jika memiliki sebab. Juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan shalat dan puasa setiap waktu dan setiap saat. Terkadang, tanpa disadari, orang bodoh mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang menjauhkannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
8. Seandainya kedua sujud tersebut disyari’atkan, tentu menyelisihi perintah khusyu’ dan khudhu’, disebabkan sibuknya menghitung jumlah tasbih dengan batin, atau lahiriyah, atau dengan batin dan lahir.
9. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي
وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari yang lain dengan shalat malam. Janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari yang lain dengan puasa, kecuali puasa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian”.
10. Dalam shalat Raghaib ini, terdapat sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdzikir ketika sujud, karena ketika turun firman Allah سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى Beliau berkata ”Jadikanlah dalam sujud kalian”.
Pernyataan ‘سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ’ seandainya benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak benar disendirikan tanpa pernyataan (سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى ), dan tidak pula Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya. Padahal sudah dimaklumi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya, kecuali yang terbaik.
Juga dalam pernyataan سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى , terdapat pujian yang tidak ada dalam pernyataan
[سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ . ]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.”
Dan Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam agama, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar