Tujuan dari shalat adalah kita mencapai kekhususan dan juga penghayatan
yang tinggi akan adanya Allah dan segala perintah Allah melalui agama
Islam. Untuk itu, seharusnya ketika seorang muslim ingin buang angin
atau kentut, begitupun dengan buang air kecil atau buang air besar,
biasanya konsentrasi ataupun fokus akan terganggu. Hal ini karena secara
alamiah manusia pasti akan memprioritaskan hukum alam ini, hingga
terbuang. Untuk itu, sebaiknya memang lebih baik melakukan buang air
atau buang angin sebelum shalat, agar shalat tidak terganggu.
Memang sering kali kali ketika di tengah-tengah shalat tiba-tiba kepengin kentut. Karena di tengah-tengah shalat, maka kita pun biasanya berusaha sekuat mungkin untuk menahan kentut tersebut agar jangan sampai keluar.
Sepanjang pengetahuan kami, persoalan menahan kentut di tengah shalat tidak pernah dibicarakan secara langsung dalam hadits Rasulullah saw, tetapi yang kami temukan adalah hadits yang terkait menahan keinginan untuk makan ketika makanan telah disuguhkan dan menahan kencing atau buang air besar ketika dalam shalat.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Memang sering kali kali ketika di tengah-tengah shalat tiba-tiba kepengin kentut. Karena di tengah-tengah shalat, maka kita pun biasanya berusaha sekuat mungkin untuk menahan kentut tersebut agar jangan sampai keluar.
Sepanjang pengetahuan kami, persoalan menahan kentut di tengah shalat tidak pernah dibicarakan secara langsung dalam hadits Rasulullah saw, tetapi yang kami temukan adalah hadits yang terkait menahan keinginan untuk makan ketika makanan telah disuguhkan dan menahan kencing atau buang air besar ketika dalam shalat.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْاَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat di hadapan makanan, begitu juga tidak ada shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar (al-akhbatsani)”. (H.R. Muslim)
Yang dimaksud dengan “tidak ada shalat” adalah tidak sempurna shalatnya (seseorang). Sedang maksud “di hadapan makanan” adalah ketika makanan dihidangkan dan ia ingin memakannya. Begitu juga ketika menahan air kencing dan buang air besar.
Imam Nawawi ketika memberikan komentar terhadap hadits tersebut berkata :
كَرَاهَةُ الصَّلَاةِ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ الَّذِي يُرِيْدُ أَكْلَهُ ،
لِمَا فِيْهِ مِنْ اِشْتِغَالِ الْقَلْبِ بِهِ وَذَهَابِ كَمَالِ
الْخُشُوْعِ، وَكَرَاهَتُهَا مَعَ مُدَافَعَةِ الْأَخْبَثِيْنَ وَهُمَا :
الْبَوْلُ وَالْغَائِطُ، وَيُلْحَقُ بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ
يَشْغَلُ الْقَلْبَ وَيُذْهِبُ كَمَالَ الْخُشُوْعِ
Makruh hukumnya shalat di hadapan makanan yang hendak di santap karena dapat membimbangkan hati dan menghilangkan konsentrasi yang sempurna. Dak makruh shalat sambil menahan dua kotoran, yakni buang air kecil dan buang air besar. Dan disamakan hukumnya dengan ini sesuatu yang termasuk dalam pengertiannya, yaitu yang dapat membimbangkan hati dan dapat menghilangkan konsentrasi yang sempurna. (Kitab syarhu An-Nawawi alaa muslim juz, 2 halaman, 321)
Jadi, yang menjadi illah al-hukm atau alasan hukum kemakruhannya adalah hilangnya kekhusu’an. Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa sesuatu yang menimbulkan hilangnya kemakruhan seperti kasus di atas dapat dihukumi sama. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Lebih lanjut menurut beliau kemakruhan tersebut menurut pandangan dari kalangan madzhab syafii dan selainnya, dengan catatan selagi waktu shalat itu masih longgar.
وَفِي رِوَايَةٍ لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ
الْاَخْبَثَانِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ كَرَاهَةُ الصَّلَاةِ بِحَضْرَةِ
الطَّعَامِ الَّذِي يُرِيدُ أَكْلُهُ لِمَا فِيهِ مِنَ اشْتِغَالِ
الْقَلْبِ بِهِ وِذِهَابِ كَمَالِ الْخُشُوعِ وَكَرَاهَتِهَا مَعَ
مُدَافَعَةِ الْأَخْبَثَيْنِ وَهُمَا الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَيُلْحَقُ
بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ مِمَّا يُشْغِلُ الْقَلْبَ وَيُذْهِبُ
كَمَالَ الْخُشُوعِ وَهَذِهِ الْكَرَاهَةُ عِنْدَ جُمْهُورِ أَصْحَابِنَا
وَغَيْرُهُمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ
“Dalam sebuah riwayat dikatakan: ‘Tidak ada shalat di hadapan makanann, begitu juga tidak shalat sedang ia menahan air kencing dan air besar’. Dalam hadits-hadits ini mengandung kemakruhan shalat ketika makanan dihidangkan dimana orang yang sedang shalat itu ingin memakannya. Hal ini dikarenakan akan membuat hatinya kacau dan hilangnya kesempurnaan kekhusu’an. Kemakruhan ini juga ketika menahan kencing dan buang air besar. Dan di-ilhaq-kan dengan hal tersebut adalah hal sama yang mengganggu hati dan menghilangkan kesempurnaan kekhusu’an. Hukum kemakruhan ini menurut mayoritas ulama dari kalangan kami (madzhab syafii) dan lainnya. Demikian itu ketika waktu shalatnya masih longgar”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)
Berpijak dari keteranngan ini maka ketika ada seseorang yang menahan kentut ketika menjalankan shalat maka shalatnya menjadi makruh sepanjang waktunya masih longgar. Yaitu, apa bila ia membatalkan shalat dan masih ada sisa waktu untuk menjalankan shalat yang telah dibatalkan. Sebab, menahan kentut dalam shalat juga termasuk hal yang bisa merusak atau menghilangkan kekhusu’an.
Karenanya, ketika orang tersebut melakukan shalat dalam keadaan seperti itu maka ia melakukan hal yang dimakruhkan. Sedang menurut madzhab syafii dan mayoritas ulama shalatnya tetap sah, namun disunnahkan untuk mengulanginya. Sedangkan menurut madzhab zhahiri shalatnya batal sebagaimana dikemukan oleh Qadli Iyadl.
وَإِذَا صَلَّى عَلَى حَالِهِ وَفِي الْوَقْتِ سَعَةٌ فَقَدْ ارْتَكَبَ
الْمَكْرُوهَ وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ
لَكِنْ يُسْتَحَبُّ اِعَادَتُهَا وَلَا يَجِبُ وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ
عَنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ أَنَّهَا بَاطِلَةٌ
“Dan ketika ia melakukan shalat dalam kondisi seperti itu dan waktunya masih longgar maka sesungguhnya ia telah melakukan perkara yang dimakruhkan, sedang shalatnya menurut kami dan mayoritas ulama adalah sah akan tetapi sunnah baginya untuk mengulangi shalatnya. Sedangkan Qadli Iyadl menukil pendapat dari kalangan zhahiriyah bahwa shalatnya adalah batal”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1393 H, juz, 5, h. 46)
Jika kita menahan buang angin (kentut) dan kita yakin belum keluar (tidak kentut) sedikitpun karena pertahannya kuat, maka kita dipandang masih mempunyai wudhu. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَوَجَدَ حَرَكَةً
فِى دُبُرِهِ أَحْدَثَ أَوْ لَمْ يُحْدِثْ فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ فَلاَ
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Jika salah seorang diantara kamu sedang shalat lalu merasakan adanya gerakan dalam duburnya, apakah membatalkan wudhu atau tidak, ia tidak jelas, maka hendaknya ia jangan membatalkan shalatnya sehingga mendengar bunyinya dan mencium baunya. (H. R. Abu Daud no. 177 dan lainnya)
Dalam hal ini Sayid Sabiq menjelaskan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah :
وَلَيْسَ السَّمْعُ أَوْ وِجْدَانُ الرَّائِحَةِ شَرْطًا فِي ذَلِكَ، بَلِ
الْمُرَادَ حُصُوْلُ اْليَقِيْنِ وَبِخُرُوْجِ شَئْ ٍمِنْهُ
Dan bukan mendengar bunyi suara atau mencium bau (kentut) yang dijadikan syarat dalam masalah itu, tetapi yang dimaksud di sini adalah adanya keyakinan terhadap yang keluar dari dubur itu. (Kitab fiqhus Sunnah juz, 1 halaman, 52)
Kalau kita yakin benar-benar merasakan buang angin maka harus wudhu lagi dan mengulangi shalatnya, seperti disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنْ عَلِىِّ بْنِ طَلْقٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَنْصَرِفْ
فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدِ الصَّلَاةَ
Dari Ali bin Thariq, ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Jika salah seorang diantara kamu kentut dalam shalat, maka batalkanlah shalatnya, lalu berwudhulah dan mengulangi lagi shalatnya. (H. R. Abu Daud no. 205)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar