Pertama, batas jenjang usia anak dalam islam ada dua:
1. Batas tamyiz
Anak yang telah mencapai usia tamyiz disebut mumayiz. Diantara ciri anak
yang mumayyiz : dia bisa membedakan antara yang baik dan yang tidak
baik, dia sudah merasa malu ketika tidak menutup aurat, dia mengerti
shalat harus serius, dst. yang menunjukkan fungsi akalnya normal.
Umumnya, seorang anak menjadi mumayiz ketika berusia 7 tahun.
2. Batas baligh
Batas dimana seorang anak telah dianggap dewasa oleh syariat, dan
berkewajiban untuk melaksanakan beban syariat. Tidak ada batas usia baku
untuk baligh, karena batas baligh kembali pada ciri fisik. Untuk
laki-laki: telah mimpi basah, dan untuk wanita: telah mengalami haid.
Untuk laki-laki, umumnya di usia 15 tahun.
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 7/157 – 160)
Kedua, fokus pembahasan kita adalah hukum anak mumayiz menjadi imam shalat jamaah, sementara makmumnya orang yang sudah baligh.
Para ulama membedakan antara shalat wajib dan shalat sunah. Berikut rincian yang disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah,
Mayoritas ulama (hanafiyah, malikiyah, dan hambali) berpendapat bahwa
diantara syarat sah menjadi imam untuk shalat wajib, imam harus sudah
baligh. Karena itu, anak mumayiz tidak bisa menjadi imam bagi makmumyang
sudah baligh.
Untuk shalat sunah, seperti shalat taraweh, atau shalat gerhana,
mayoritas ulama (Malikiyah, Syafiiyah, hambali, dan sebagian hanafiyah)
membolehkan seorang anak mumayiz untuk menjadi imam bagi orang yang
sudah baligh.
Pendapat yang kuat dalam madzhab hanafiyah, anak mumayiz tidak boleh
jadi imam bagi orang baligh secara mutlak, baik dalam shalat wajib
maupun shalat sunah.
Sementara Syafiiyah berpendapat, anak mumayiz boleh menjadi imam bagi
orang baligh, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunah. Terutama
ketika anak mumayiz ini lebih banyak hafalan Al-Qurannya, dan lebih
bagus gerakan shalatnya dibandingkan jamaahnya yang sudah baligh.
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,
إِلَى صِحَّة إِمَامَة الصَّبِيّ ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ
وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق , وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ
أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا
الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ الْفَرَائِض
Tentang keabsahan anak kecil (mumayiz) yang menjadi imam merupakan
pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafii, dan Ishaq bin Rahuyah. Sementara
Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya. Sementara ada dua riwayat
keterangan dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari
dua ulama ini (Abu Hanifah dan Imam Ahmad), anak kecil sah jadi imam
untuk shalat sunah dan bukan shalat wajib.
(Fathul Bari, 2/186)
Pendapat Terpilih
Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hal ini adalah pendapat Imam
As-Syafii, bahwa tidak dipersyaratkan imam shalat harus sudah baligh.
Anak kecil yang sudah tamyiz, memahami cara shalat yang benar, bisa jadi
imam bagi makmum yang sudah baligh.
Dalil mengenai hal ini adalah hadis dari Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
كُنَّا بِحَاضِرٍ يَمُرُّ بِنَا النَّاسُ إِذَا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوا إِذَا رَجَعُوا مَرُّوا بِنَا،
فَأَخْبَرُونَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ: كَذَا وَكَذَا وَكُنْتُ غُلَامًا حَافِظًا فَحَفِظْتُ مِنْ ذَلِكَ
قُرْآنًا كَثِيرًا فَانْطَلَقَ أَبِي وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ فَعَلَّمَهُمُ
الصَّلَاةَ، فَقَالَ: «يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ» وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ
لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِي فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَيَّ
بُرْدَةٌ لِي صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ…، فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَأَنَا ابْنُ
سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ
Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak
bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Sepulang mereka
dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian dan demikian.
Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku
bisa menghafal banyak ayat Al-Quran dari para sahabat yang lewat.
Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara
shalat. Beliau bersabda, “Yang menjadi imam adalah yang paling banyak
hafalan qurannya.” Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang
paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal. Sehingga mereka
menyuruhku untuk menjadi imam. Akupun mengimami mereka dengan memakai
pakaian kecil milikku yang berwarna kuning…, aku mengimami mereka ketika
aku berusia 7 tahun atau 8 tahun. (HR. Bukhari 4302 dan Abu Daud 585).
Prinsip dasarnya dalam urusan shalat jamaah adalah apabila imamnya sah
dalam melakukan shalat. Bila shalatnya imam sah, maka sah pula
keberjamaahan shalat tersebut. Sebaliknya, bila shalat imam tidak sah,
maka tidak sah pula jamaah itu.
Shalatnya seorang anak kecil yang belum baligh, sebenarnya sah-sah saja.
Sebabsyarat sah sebuah shalat tidak bergantung apakah seseorang sudah
baligh atau belum. Baligh adalah syarat wajib, bukan syarat sah.
Syarat wajib dengan syarat sah berbeda.Maksud dari syarat wajib adalah
apabila syarat-syarat itu sudah terpenuhi, maka yang bersangkutan jadi
wajib hukumnya untuk melakukan shalat atauibadah lainnya. Dan
sebaliknya, bila syarat wajib belum terpenuhi, maka yang bersangkutan
tidak wajib atau belum diwajibkan untuk melakukan ibadah tersebut.
Kondisi seorang anak yang belum baligh menunjukkan bahwa dirinya
sebenarnya belum lagi diwajibkan untuk melakukan shalat. Kalau dibilang
belum diwajibkan, berarti seandainya dia tidak mengerjakannya, maka
tidak ada dosa atasnya. Namanya saja belum wajib, berarti hukumnya cuma
sunnah. Seandainya tidak dikerjakan tidak mengapa, tapi kalau
dikerjakan, sebagaimana makna sunnah, dia akan dapat pahala.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat sah adalah syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar shalat itu menjadi sah untuk dikerjakan. Misalnya,
menghadap kiblat, suci dari najis, suci dari hadats kecil dan besar,
sudah masuk waktu, menutup aurat dan seterusnya. Tapi urusan sudah
baligh atau belum, ternyata tidak termasuk dalam syarat sah.
Jadi kalau ada anak kecil melakukan shalat fardhu dengan melengkapi
syarat wajib, rukun dan kewajibannya, maka shalatnya sah. Walaupun
jatuhnya bagi dirinya bukan wajib, melainkan menjadi shalat sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar