Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shollallohu 'Alaihi Wasallam bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى
أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab, menghalangi salah seorang di antara kalian
dari makan, minum dan tidurnya. Apabila salah seorang di antara kalian
telah selesai dari hajatnya, hendaklah ia segera kembali kepada
keluarganya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Islam benar-benar ajaran yang sempurna. Bagi hamba yang berada dalam
kesulitan, maka ia pun bisa meraih kemudahan termasuk hal ini ketika
bersafar atau melakukan perjalanan jauh. Berikut beberapa keringanan
tersebut:
1. Mengqashar shalat, yang menjadikan shalat 4 raka’at menjadi 2
raka’at. Satu-satunya hal yang boleh mengqashar shalat hanyalah pada
safar. Oleh karena itu, safar selalu disandarkan pada qashar karena
mengqashar shalat hanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan safar.
2. Menjamak, yaitu menggabungkan dua shalat, dikerjakan di salah satu
waktu. Shalat Zhuhur dengan shalat ‘Ashar, juga shalat Maghrib dan
shalat ‘Isya’ pada salah satu waktu shalat. Bila dikerjakan di waktu
shalat pertama disebut jamak taqdim. Bila dikerjakan di waktu shalat
kedua disebut jamak takhir. Sebab menjamak shalat lebih umum daripada
mengqashar shalat. Oleh karena itu, terdapat hal-hal yang membolehkan
menjamak shalat selain safar seperti karena sakit, istihadhoh, hujan
yang menyulitkan, jalanan berlumpur, udara yang dingin dan
keperluan-keperluan yang lain. Menjamak shalat tatkala bepergian lebih
utama ditinggalkan kecuali memang ada kebutuhan untuk menjamaknya,
seperti untuk mendapatkan shalat berjama’ah atau karena sulit
mengerjakan shalat di masing-masing waktu.
3. Tidak berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan jika memang safarnya
penuh kesulitan. Namun jika safarnya tidak ada kesulitan apa-apa, puasa
bisa jadi tetap wajib.
4. Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap ke arah
yang dituju oleh kendaraan. Namun shalat wajib asalnya dilakukan setelah
turun dari kendaraan.
5. Mengusap sepatu, serban dan semisalnya selama tiga hari tiga malam bagi musafir. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga
malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari
semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
6. Bertayamum karena ketika safar lebih dibutuhkan dibanding saat mukim saat tidak ditemukan air atau sulit menggunakan air.
7. Meninggalkan shalat sunnah rawatib ketika safar. Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan
bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua
raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat
fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu
dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.” (Zaadul Ma’ad, 1/298).
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah
qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan
beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah.
Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir
dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan
kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.” (Zaadul
Ma’ad, 1/456). Adapun shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul
masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika
safar. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/490)
Meskipun orang yang bersafar mendapatkan keringanan seperti di atas,
namun ia akan dicatat mendapatkan pahala seperti ia mukim. Ketika safar
ia mengerjakan shalat 2 raka’at secara qoshor, maka itu dicatat seperti
mengerjakannya sempurna 4 raka’at. Itulah kemudahan yang Allah berikan
bagi hamba-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka dicatat baginya pahala
sebagaimana ia mukim atau ketika ia sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ
كَفَرُوا
“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak mengapa atas
kalian untuk mengqashar shalat jika kalian khawatir orang-orang kafir
akan membahayakan kalian.” (QS. An-Nisa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab meminta penjelasan ayat di atas;
فَقَد أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ: عَجِبتُ مِمَّا عَجِبتَ مِنهُ فَسَأَلتُ
رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – عَن ذَلِكَ فَقَالَ: ((صَدَقَةٌ
تَصَدَّقَ الله بِهَا عَلَيكُم فَاقبَلُوا صَدَقَتَهُ)).
“Sekarang manusia sudah merasa aman (tidak ada bahaya dari orang kafir,
pent). Maka Umar menjawab, “Aku juga mengherankan hal tersebut,
karenanya aku juga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Itu (qashar) adalah sedekah
yang Allah bersedekah kepada kalian, karenanya terimalah sedekah-Nya.”
(HR. Muslim no. 686)
Maksud Ya’la: Bukankah ayat tersebut hanya menyebutkan bolehnya safar
jika khawatir akan diganggu oleh musuh? Jika keadaannya aman seperti
sekarang, apakah hukum qashar masih tetap berlaku? Maka Umar menjawabnya
dengan jawaban di atas
Dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha dia berkata:
فَرَضَ الله الصَّلاةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ في الحَضَرِ
وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّت صَلاةُ السَّفَرِ وَزِيدَ في صَلاةِ الحَضَرِ
“Dia awal kali Allah mewajibkan shalat, Dia mewajibkannya 2 rakaat 2
rakaat dalam keadaan mukim dan safar. Belakangan, shalat dalam keadaan
safar ditetapkan sebagaimana awalnya, dan shalat dalam keadaan mukim
ditambah (jadi 4 rakaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1090 dan Muslim no. 685)
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
فَرَضَ الله الصَّلاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُم – صلى الله عليه وسلم –
في الحَضَرِ أَربَعًا، وَفي السَّفَرِ رَكعَتَينِ، وَفي الخَوفِ رَكعَةً.
“Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian shallallahu alaihi
wasallam sebanyak 4 rakaat dalam keadaan mukim, 2 rakaat dalam keadaan
safar, dan 1 rakaat dalam keadaan takut (shalat khauf).”(HR. Muslim no.
687)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
خَرَجنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – مِن المَدِينَةِ
إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكعَتَينِ رَكعَتَينِ حَتَّى رَجَعَ، قُلتُ: كَم
أَقَامَ بِمَكَّةَ؟ قَالَ: عَشرًا
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Madinah
menuju Makkah, maka beliau shalat 2 rakaat 2 rakaat sampai beliau
pulang ke Madinah. Saya (murid Anas) bertanya. “Berapa lama beliau
menetap di Makkah?” dia menjawab, “10 hari.”(HR. Al-Bukhari no. 1081 dan
Muslim no. 693)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
صَلَّيتُ الظُّهرَ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – بِالمَدِينَةِ أَربَعًا وَبِذِي الحُلَيفَةِ رَكعَتَينِ
“Aku shalat zuhur bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam di Madinah 4
rakaat dan shalat di Zil Hulaifah 2 rakaat.” (HR. Al-Bukhari no. 1089
dan Muslim no. 690.
Berdasarkan hukumnya, safar terbagi menjadi:
a). Haram, safar untuk kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang Allah.
Termasuk di antaranya adalah safar seorang wanita sendirian tanpa
didampingi mahram.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ
الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah seorang wanita safar
kecuali bersama seorang mahram…”(H.R al Bukhari dan Muslim).
b) Makruh, seperti seorang yang safar sendirian.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْوَحْدَةِ أَنْ يَبِيتَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ
أَوْ يُسَافِرَ وَحْدَهُ
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shollallaahu‘alaihi wasallam
melarang dari bersendirian, yaitu seorang bermalam sendirian atau safar
sendirian (H.R Ahmad)
c). Mubah, seperti berdagang dengan cara yang halal.
d). Mustahab (disukai), seperti bersilaturrahmi.
e) Wajib, seperti safar untuk tujuan berhaji yang pertama bagi yang mampu.
Berapakah jarak minimum safar?
Terdapat perbedaan pendapat yang sangat banyak dari para Ulama’,
sampai-sampai Ibnul Mundzir menyatakan bahwa dalam masalah ini
(penentuan jarak minimum safar) terdapat hampir 20 pendapat. Namun,
beberapa pendapat yang masyhur di antaranya:
a). Sejauh jarak perjalanan 3 hari.
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, Sufyan atTsaury dan Abu Hanifah. Dalilnya:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
أَنْ تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا
إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوْ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا أَوْ
أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir safar 3 hari atau lebih kecuali bersama ayah, anaknya, suaminya,
saudara laki-lakinya, atau mahramnya” (H.R Muslim)
عَنْ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا
عَنْ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَتْ عَلَيْكَ بِابْنِ
أَبِي طَالِبٍ فَسَلْهُ فَإِنَّهُ كَانَ يُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّلِلْمُسَافِرِ
Dari Syuraih bin Hani’ beliau berkata: Aku mendatangi Aisyah bertanya
tentang mengusap 2 khuf. Aisyah berkata: Tanyakanlah kepada Ali bin Abi
Thalib karena ia pernah safar bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi
wasallam, maka kamipun menanyakan kepada beliau. Ali berkata: Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan batas pengusapan (khuf) 3 hari
3 malam bagi musafir…”(H.R Muslim)
Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa jarak perjalanan 1 hari adalah setara 2
barid = 24 mil = sekitar 43,2 km, sehingga jarak perjalanan 3 hari
adalah sekitar 129,6 km.
b) Sejauh jarak perjalanan 2 hari ( 4 barid).
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar (dalam sebagian riwayat),
Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad. Sedangkan dari Ulama’ abad ini yang
berpendapat demikian adalah Syaikh Bin Baz, Lajnah ad-Daaimah, Syaikh
Sholih alFauzan, dan Syaikh Abdullah Ar-Rajihi, Dalilnya:
لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
Janganlah seorang wanita melakukan safar sejarak perjalanan 2 hari kecuali bersama suami atau mahramnya (H.R al Bukhari).
Al-Bukhari menyatakan:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ
عَشَرَ فَرْسَخًا
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas – semoga Allah meridlai keduanya- melakukan
qoshor dan berbuka (tidak berpuasa) pada perjalanan 4 barid yaitu 16
farsakh (Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 231).
c) Tidak ada batasan jarak, selama sudah bermakna ‘safar’ maka terhitung safar.
Hal-hal yang membedakan safar dengan perjalanan biasa bisa terlihat dari
beberapa indikasi, di antaranya: perlunya membawa bekal yang cukup,
adanya hal-hal yang dipersiapkan secara khusus sebelum keberangkatan
(misal pengecekan kondisi kendaraan yang lebih intensif dibandingkan
jika dalam penggunaan yang biasa/normal), adanya kesulitan/kepayahan
menempuh perjalanan yang tidak didapati pada perjalanan biasa, dan
hal-hal lain semisalnya.
Pendapat tanpa batasan jarak minimum ini adalah pendapat Umar bin
al-Khottob, Ibnu Umar dalam sebagian riwayat, Anas bin Malik, Sa’id bin
al-Musayyib, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, As-Shon’aani,
Abdurrahman as-Sa’di, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalilnya
adalah keumuman ayat:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِفَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْتَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
“Jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat….(Q.S AnNisaa’:101).
Tidak terdapat hadits shohih maupun hasan yang secara tegas membatasi jarak minimum safar.
عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَالْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُأَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ عَنْقَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَثَلَاثَةِ
أَمْيَالٍ أَوْثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُالشَّاكُّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ
Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas
bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh –
keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R
Muslim)
1 mil = sekitar 1,6 km, sehingga 3 mil sekitar 4,8 km. Sedangkan 1 farsakh = 3 mil = sekitar 14,4 km.
عَنِ اللَّجْلاَجِ ، قَالَ : كُنَّانُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ
بْنِالْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَأَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ
فِيالصَّلاَة وَيَفْطُرُ
Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin
al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat
dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445).
Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa jarak di bawah 3 farsakh yang
disebutkan dalam hadits Anas maupun perbuatan Umar adalah jarak minimum
permulaan boleh mengqoshor sholat dan berbuka (tidak berpuasa), bukan
jarak total dari tempat asal ke tujuan. Sebagai contoh, ketika Nabi
melakukan perjalanan dari Madinah akan ke Mekkah, pada saat di
Dzulhulaifah beliau sudah mengqoshor sholat (riwayat AlBukhari dan
Muslim). Padahal jarak Madinah ke Dzulhulaifah adalah sekitar 6 mil atau
sekitar 9,6 km.
Dari 3 pendapat tentang jarak minimum safar, pendapat yang rajih (lebih
mendekati kebenaran) adalah pendapat ke-3 ini yang menyatakan bahwa
tidak ada jarak minimum batasan suatu perjalanan dikatakan safar.
Wallaahu a’lam.
Berapa lama waktu minimum seorang dikatakan safar?
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam hal berapa lama masa tinggal
seseorang di suatu tempat sehingga dianggap tetap dalam keadaan safar.
Beberapa pendapat yang masyhur dalam hal ini:
1. 4 hari.
Jika berniat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia bukan musafir lagi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Sama dengan pendapat pertama, namun hari keberangkatan dan hari kepulangan juga
dihitung, sehingga total 6 hari.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi ’i. Dalil pendapat pertama dan kedua adalah:
يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَبَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثًا
“Orang-orang yang berhijrah tinggal di Makkah setelah menyelesaikan manasik hajinya selama 3 hari” (H.R Muslim)
3. 15 hari, sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Imam Abu Hanifah.
4. 19 hari, pendapat dari Ibnu Abbas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاقَالَ أَقَامَ
النَّبِيُّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ تِسْعَةَعَشَرَ يَقْصُرُ
فَنَحْنُإِذَا سَافَرْنَا
تِسْعَةَ عَشَرَقَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَاأَتْمَمْنَا
Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Nabi shollallaahu
‘alaihi wasallam tinggal (di suatu tempat) selama 19 hari mengqoshor
sholat, maka kami jika safar selama 19 hari mengqoshor sholat jika lebih
dari itu kami sempurnakan sholat “ (H.R AlBukhari)
Setelah ulama 4 madzhab ini bersepakat bahwa ada batasan hari di mana
seorang musafir tidak boleh lagi mengqashar dan men-jama' sholatnya
setelah melewati batas itu, mereka berselisih pendapat tentang jumlah
hari yang menjadi batas rukhshoh itu.
Imam Ibnu Rusy dalam kitabnya bidayah Al-Mujtahid (138-139),menjelaskan
perbedaan ulama 4 madzhab dalam hal batasan jumlah hari rukhshoh bagi
seorang musafir.
1. Al-Hanafiyah: 14 hari. Hari ke-15 hilang rukhshoh dan mulai sholat sempurna tanpa jama' dan qashar.
2. Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah: 3 Hari. Setelah 3 hari (hari
keemapat) musafir harus sholat sempurna, tidakjama' dan tidak qashar.
3. Al-Hanabilah: 4 hari. Hari Ke-5 tidak ada lagi rukhshoh.
Al-Hanafiyah (14 Hari)
Imam Ibnu Abdin dalam hasyiyahnya (Radd Al-Muhtar 2/125) bahwa batasan
seseorang boleh qashar dan jama'sholat dalam keadaan musafir itu adalah
14 hari. Jadi ketika ia sudah meniatkan untuk singgal lebih dari 14
hari, maka di hari ke-15, ia sudah tidak bisa lagi mendapatkan rukhshoh
jama dan juga qasahr sholat.
Ini didasarkan pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika
datang ke Mekkah dari Madinah untuk pembebasan Mekkah (Fathu Makkah).
Bahwa beliau saw meng-qasharsholatnya sampai 14 hari di Mekah. (HR. Abu
Daud)
Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah (3 Hari)
Dalil yang digunakan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab shahih-nya bahwa Nabi saw menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari
untuk rukhshoh setelah mereka menunaikan hajinya.
لِلْمُهَاجِرِ إِقَامَةُ ثَلَاثٍ بَعْدَ الصَّدَرِ بِمَكَّةَ
"untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)" (HR Muslim)
Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau katakan:
"mukimnya Muhajir di Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka
jika melebihi itu, ia telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak
bisa dapat rukhshoh)"
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa
istinbath hukum dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir
jika berniat singgah/tinggal di kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih
berstatus sebagai musafir yang boleh jama' dan qashar sholat. Akan
tetapi jika melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.
Al-Hanabilah (4 Hari/21 Sholat)
Uniknya dalam madzhab ini adalah bahwa yang dijadikan ukuran bukanlah
hari melainkan sholat. Madzhab ini menetapkan bahwa batasan rukhshoh
bagi seorang musafir itu setelah ia melewati 21 kali waktu sholat, atau
kalau dihitung dalam hari menajdi 4 hari lebih 1 kali waktu sholat.
Ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/212) dan juga
Imam Al-Mardawi dalam Al-Inshaf(2/329). Dalilnya sama seperti yang
digunakan oleh madzhab Al-Syafiiyah dan AL-Malikiyah, hanya saja mereka
menghitungnya dengan hitungan jumlah sholat.
Imam Ibnu Qudamah Mengatakan:
وَإِذَا نَوَى الْمُسَافِرُ الْإِقَامَةَ فِي بَلَدٍ أَكْثَرَ مِنْ إحْدَى
وَعِشْرِينَ صَلَاةً، أَتَمَّ) الْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ - رَحِمَهُ
اللَّهُ -
"Jika seseorang musafir berniat untuk tinggal di suatu negeri lebih dari
21 kal waktu sholat, maka ia ketika itu ia harus sempurna sholatnya
(tidak jama qashar)" (Al-Mughni 2/212)
5. Tidak ada batasan minimum masa tinggal.
Pendapat yang rajih (lebih dekat pada kebenaran), Wallaahu a’lam,
pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada batasan waktu minimum. Selama
seseorang tidak berniat untuk menetap di tempat tersebut, maka ia tetap
dalam kondisi safar. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dan didukung oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin.
Karena memang tidak ada nash yang shohih dan shorih (tegas) yang
membatasinya. Jika disebutkan bahwa Ibnu Abbas melihat batasan 19 hari
karena pernah menyaksikan Nabi melakukan hal itu, bagaimana dengan
hadits dari Jabir bin Abdillah yang pernah menyaksikan Nabi mengqoshor
sholat selama berada di Tabuk 20 hari?
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُاللَّهِ صَلَّى
اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَعِشْرِينَ يَوْمًا
يَقْصُرُالصَّلَاةَ
Dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqoshor sholat” (H.R Ahmad,
Abu Dawud).
Demikian juga dengan yang terjadi pada Ibnu Umar yang terkurung salju di
Azerbaijan selama 6 bulan, senantiasa mengqoshor sholat.
Apa yang dimaksud dengan sholat qoshor?
Sholat qoshor adalah sholat wajib di saat safar berjumlah 2 rokaat untuk
sholat- sholat yang berjumlah 4 rokaat di waktu mukim (Dzhuhur, Ashar,
Isya’).
Masihkah pelaksanaan sholat qoshor relevan diterapkan di masa modern ini
di saat banyak kemudahan bagi musafir dan perjalanan tidak berat mereka
rasakan?
Ya, masih relevan. Karena 2 hal yang utama:
a). Firman Allah Ta’ala dalam surat Maryam ayat 64 “Dan sama sekali Tuhanmu tidak lupa…” (Q.S Maryam:64)
Sebagian Ulama menjelaskan bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tidak lupa
bahwa umat manusia diciptakan melalui zaman yang bermacam-macam. Ada
yang diciptakan pada saat keadaan teknologi masih minim, adapula yang
hidup di masa sebaliknya, saat sarana transportasi dan segenap fasilitas
yang ada memudahkan ia melakukan perjalanan jauh, sehingga tidak merasa
capek, lelah, dan berat. Namun Allah tidaklah mewahyukan kepada Nabinya
untuk menghapus rukhsah (kemudahan) bagi seseorang selama ia berstatus
sebagai musafir.
b) Firman Allah Ta’ala dalam surat AnNisaa’: 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْتَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْخِفْتُمْ أَنْ
يَفْتِنَكُمُالَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, tidak ada dosa bagi
kalian untuk mengqoshor sholat jika kalian khawatir diserang orang-orang
kafir…” (Q.S AnNisaa’:101).
Secara tekstual, nampak jelas bahwa alasan awal seorang boleh mengqoshor
sholat adalah jika dia dalam keadaan safar dan khawatir diserang orang
kafir. Bagaimana jika kekhawatiran diserang orang kafir itu telah
hilang? Pertanyaan semacam ini pernah ditanyakan oleh Ya’la bin Umayyah
kepada Umar bin alKhottob, Umarpun berkata bahwa ia juga pernah bertanya
demikian kepada Nabi tentang ayat itu, namun justru Nabi bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَاعَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Itu adalah shodaqoh Allah atas kalian, terimalah shodaqohNya” (H.R Muslim).
Maka, sebagaimana keadaan safar saat ini sudah tidak dicekam perasaan
takut, ataupun keadaannya lebih mudah dan ringan, tidak memberatkan,
mengqoshor sholat pada saat safar adalah shodaqoh Allah kepada kita yang
diperintahkan Nabi untuk diambil.
Apakah sholat qoshor boleh dilakukan dalam safar yang bukan untuk ketaatan?
Ya, untuk segala jenis safar, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, karena
keumuman dalil yang ada. Kata Ibnu Taimiyyah, karena secara asal memang
sholat adalah 2 rokaat. Aisyah – radliyallahu ‘anha menyatakan:
أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَافُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِفَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِوَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
“Sesungguhnya permulaan diwajibkan sholat adalah 2 rokaat, kemudian
ditetapkan pada sholat safar dan disempurnakan (ditambah) pada sholat
hadir (tidak safar) (H.R AlBukhari dan Muslim, lafadz Muslim).
Apa hukum mengqoshor sholat dalam safar?
Sunnah, dan jika dia menyempurnakan sholat (bukan karena sebagai makmum
yang mengikuti Imam mukim), hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan Nabi
Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengqoshor sholat
dalam safar.
مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًاإِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِرَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar
kecuali beliau sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali” (H.R Ahmad dari
Imron bin Hushain, dihasankan oleh alBaihaqy).
Apakah dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat?
Tidak dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat sebagaimana
tidak dipersyaratkan niat untuk mukim. Sehingga, seseorang yang sudah
masuk dalam suatu sholat, misalkan sholat Dzhuhur dalam keadaan safar,
karena dia biasa sholat 4 rokaat dan lupa sedang safar, di tengah sholat
saat belum menyelesaikan 2 rokaat dia teringat bahwa ia adalah musafir,
maka hendaknya ia menyelesaikan sholatnya dalam 2 rokaat saja. Tidak
dipersyaratkan sebelum masuk dalam sholat ia harus berniat sebagai
seorang musafir yang mengqoshor sholat (disarikan dari penjelasan Syaikh
al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).
Bolehkah mengqoshor sebelum meninggalkan daerah tempat tinggalnya?
Jika seseorang akan melakukan safar, dia tidak boleh mengqoshor ketika
masih berada di wilayah tempat tinggalnya. Sebagaimana Nabi belum mulai
mengqoshor sholat ketika masih berada di Madinah. Beliau sudah mulai
mengqoshor sholat setelah berada di Dzulhulaifah (berjarak sekitar 6 mil
= sekitar 9,6 km). Boleh pula seseorang mulai mengqoshor di tengah
perjalanan saat masih menempuh 3 mil, sekitar 4,8 km dari rumahnya
sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin alKhottob.
Bagaimana jumlah rokaat seorang musafir yang sholat di belakang seorang mukim?
Sama dengan jumlah rokaat Imam (disempurnakan).
عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَكُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍبِمَكَّةَ
فَقُلْتُ إِنَّا إِذَاكُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَاأَرْبَعًا وَإِذَا
رَجَعْنَا إِلَىرِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِقَالَ تِلْكَ سُنَّةُ
أَبِيالْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ
Dari Musa bin Salamah beliau berkata: Kami pernah bersama Ibnu Abbas di
Makkah, kemudian aku berkata kepada beliau: Sesungguhnya kami (musafir)
jika sholat bersama kalian sholat 4 rokaat, namun jika kami kembali ke
tempat (perkemahan) kami, kami sholat 2 rokaat. Ibnu Abbas berkata: Itu
adalah Sunnah Abul Qosim (Nabi Muhammad) shollallaahu ‘alaihi wasallam
(riwayat Ahmad).
Apakah seorang musafir masbuq juga harus menyempurnakan jumlah rokaatnya sama dengan imam?
Ya, jika ia masih sempat mendapati paling tidak 1 rokaat bersama Imam,
maka nanti ia sempurnakan sejumlah total rokaat yang sama dengan Imam.
Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rokaat, ia tambahi kekurangan
rokaat menjadi total rokaat yang dilakukan musafir. Contoh, seorang
masbuq mendapati Imam mukim sholat dzhuhur 4 rokaat. Jika ia bisa
mendapati minimal 1 rokaat, maka nanti setelah Imam salam ia sempurnakan
menjadi 4 rokaat. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rokaat, maka
ia hanya menambah kekurangannya menjadi total 2 rokaat. Seseorang masih
mendapati 1 rokaat jika ia masih sempat mandapati rukuk Imam. Sehingga,
seseorang musafir yang mendapati Imam setelah ruku’ di rokaat terakhir,
maka nanti ia sempurnakan sholatnya sebagaimana sholat musafir, tidak
terhitung tergabung bersama jama’ah.
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Barangsiapa yang mendapati 1 rokaat bersama Imam, maka ia telah mendapati sholat tersebut (H.R Muslim dari Abu Hurairah).
Bagaimana jika seorang musafir menjadi Imam, sedangkan makmumnya adalah orang mukim?
Makmum menambah kekurangan sholatnya. Contoh, jika Imam yang musafir
sholat Isya’ 2 rokaat, maka saat Imam salam, makmum mukim menambah 2
rokaat lagi sholatnya.
مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا
إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَوَإِنَّهُ
أَقَامَ بِمَكَّةَزَمَانَ الْفَتْحِ ثَمَانِيَعَشْرَةَ لَيْلَةً
يُصَلِّيبِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِرَكْعَتَيْنِ…إِلَّا الْمَغْرِبَ ثُمَّ
يَقُولُيَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوافَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِأُخْرَيَيْنِ
فَإِنَّا سَفْرٌ
Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar
kecuali sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali. Beliau tinggal di
Makkah pada Fathu Makkah 18 malam sholat bersama manusia 2 rokaat – 2
rokaat…kecuali Maghrib, kemudian (selesai salam) beliau berkata: Wahai
penduduk Makkah bangkitlah dan sholatlah 2 rokaat yang tersisa karena
kami adalah musafir” (HR Ahmad dari Imran bin Hushain).
Diperbolehkan Jama’ Taqdim
Mayoritas ulama membolehkan jama’ taqdim, berdasarkan:
1. Hadits-hadits jama’ di Arafah, di antaranya:
a. Dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Salim telah mengabarkan kepadaku
bahwasanya Al-Hajjaj bin Yusuf bertanya kepada Abdullah bin Umar , pada
tahun Al-Hajjaj memerangi Ibnu Zubair:
كَيْفَ تَصْنَعُ فِي الْمَوْقِفِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ سَالِمٌ: إِنْ
كُنْتَ تُرِيدُ السُّنَّةَ فَهَجِّرْ بِالصَّلَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ.
فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: صَدَقَ، إِنَّهُمْ كَانُوا يَجْمَعُونَ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي السُّنَّةِ. فَقُلْتُ لِسَالِمٍ:
أَفَعَلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ n؟ فَقَالَ سَالِمٌ: وَهَلْ تَتَّبِعُونَ
فِي ذَلِكَ إِلَّا سُنَّتَهُ؟
“Bagaimana engkau melakukan shalat di tempat wukuf pada hari Arafah?”
Salim berkata: “Jika engkau menginginkan As-Sunnah maka segerakanlah
shalat di awal waktu pada hari Arafah.” Abdullah bin Umar berkata:
“Benar. Mereka (para sahabat) menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar dalam
As-Sunnah.” Maka aku (Ibnu Syihab) berkata kepada Salim: “Apakah
Rasulullah melakukan demikian?” Lalu Salim berkata: “Bukankah kalian
tidak mengikuti dalam permasalahan itu kecuali sunnah beliau?” (Shahih
Al-Bukhari, 4/260)
b. Dari Jabir bin Abdillah , di dalamnya disebutkan: “Sehingga tatkala
matahari telah tergelincir, Rasulullah menuju tengah lembah kemudian
berkhutbah. Setelah itu:
فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Maka Bilal adzan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zhuhur, lalu
mengumandangkan iqamat dan shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat
(sunnah) di antara keduanya sedikitpun.” (Shahih Muslim, 8/170)
c. Dari Ibnu Umar , di dalamnya disebutkan:
حَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ رَاحَ رَسُولُ اللهِ
مُهَجِّرًا فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ
“Sehingga tatkala memasuki Zhuhur, Rasulullah pergi untuk mengerjakan
shalat di awal waktu. Kemudian beliau menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar
lalu berkhutbah kepada manusia.” (Sunan Abi Dawud, 1/445)
D. Hadits Ali:
أَنَّهُ كَانَ يَسِيْرُ حَتَّى إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَأَظْلَمَ نَزَلَ
فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَقُولُ: هَكَذَا رَأَيْتُ
رَسُولَ اللهِ n يَصْنَعُ
Bahwasanya dulu beliau (Ali) berjalan (safar), hingga ketika matahari
telah terbenam dan hari menjadi gelap, beliau singgah lantas mengerjakan
shalat Maghrib kemudian Isya. Beliau lalu berkata: “Demikianlah saya
melihat Rasulullah melakukannya.” (HR. Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id
Al-Musnad)
Asy-Syaikh Muqbil berkata: “Hadits ini minimal keadaannya hasan
lighairihi. Sehingga dengan ini hadits-hadits tentang jama’ taqdim telah
jelas tsabit (shahih) dari Rasulullah.” (Al-Jam’u baina Ash-Shalatain,
hal. 90)
Lihat pula Nailul Authar (2/486) dan Fathul Bari (2/679).
Diperbolehkan menjama’ shalat walaupun sedang singgah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits-hadits jama’ yang
mutlak, tidak terkait dengan safar yang terus berjalan atau sedang
singgah. Di antaranya adalah Mu’adz ibnu Jabal, yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’:
أَنَّ النَّبِيَّ أَخَّرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ ثُمَّ
خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ
فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ
“Bahwasanya Nabi mengakhirkan shalat di suatu hari pada perang Tabuk.
Kemudian beliau keluar, mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan cara
jama’. Lalu beliau masuk (ke dalam tempat istirahatnya), kemudian beliau
keluar lalu menjama’ shalat Maghrib dan Isya.”
Dua shalat dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing shalat dengan satu iqamat
Dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
a. Dua shalat yang dijama’ cukup dengan satu adzan dan masing-masing satu iqamat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Dasar yang mereka gunakan adalah hadits Jabir dalam Shahih Muslim yang
menyebutkan tatacara Nabi n mengerjakan haji wada’ tatkala di Arafah.
ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى
الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا –وَفِيهِ: حَتَّى إِذَا
أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ
وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
“Kemudian adzan, dan Rasulullah berdiri lalu shalat Zhuhur. Kemudian
berdiri lalu shalat Ashar. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di
antara keduanya sedikitpun.”
Di dalamnya disebutkan: “Sampai Rasulullah tiba di Muzdalifah, lalu
beliau shalat Maghrib dan Isya di sana dengan satu adzan dan dua iqamat.
Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikitpun.”
b. Sufyan Ats-Tsauri dan sekelompok ulama rahimahumullah yang lain
berpendapat cukup dengan satu iqamat untuk dua shalat. Dalil mereka
adalah riwayat dari Ibnu Umar:
أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ لَهُمَا
“Bahwasanya beliau menjama’ keduanya dengan satu iqamat untuk dua shalat tersebut.”
c. Mazhab Malik
Beliau berpendapat menggabungkan dua shalat dengan dua adzan dan dua
iqamat. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud dalam Shahih Al-Bukhari
bahwa Nabi n mengerjakan dua shalat, masing-masing dengan satu adzan
dan satu iqamat.
أَنَّهُ صَلَّى الصَّلَاتَيْنِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
“Bahwasanya beliau shalat (menggabungkan) dua shalat. Masing-masing shalat dengan satu adzan dan satu iqamat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar