Bagi sebagian umat Islam, jika lupa mengerjakan shalat atau bangun
kesiangan pada saat Shubuh mungkin akan memilih tidak shalat sama sekali
karena hal itu dianggap sudah melewati batas waktu shalat. Pilihan itu
diambil tidak lain karena ketidaktahuan akan pengetahuan agama dan lebih
suka mempertahankan tradisi "euceuk ti euceuk"(kata orang dari orang)
daripada mencari solusinya. Padahal jika mau membaca berbagai macam
literatur, sudah banyak ulama atau ahli fiqih yang membuat tulisan
mengenai hal ini. Apalagi dengan kemudahan akses internet dewasa ini
semakin memudahkan untuk mencari berbagai macam informasi yang
diperlukan.
Shalat adalah ibadah yang tidak bisa ditinggalkan dan diganti dengan
denda seperti puasa, yang bisa digantikan di lain hari atau dengan
fidyah. Shalat adalah ibadah khusus untuk mengingat Allah, sebagaimana
firman-Nya:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku."(QS, 20:14)
Lantas bagaimana jika kita lupa mengerjakan shalat, bagaimana solusinya?
Dalam hal meninggalkan sholat, semua ulama sepakat bahwa yang
meninggalkannya harus mengqadha’-nya kalau ia meninggalkannya karena
lupa atau tertidur. Ini bedasarkan hadits Nabi saw yang menang secara
eksplisit menyebutkan itu.
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Siapa yang lupa sholat (dan meninggalkannya), atau tertidur, maka
kafaratnya ialah ia harus mengerjakannya ketika ia ingat” (HR Muslim)
Sampai sini tidak ada masalah, tapi kemudian ulama berselisih paham
tentang orang yang meninggalkan sholat karena sengaja tanpa udzur,
apakah ia harus meng-qadha’-nya atau tidak.
[1] Tidak Ada Qadha’. Ini adalah pendapat madzab Zohiri dan didukung oleh Sheikh Ibnu Taimiyyah.
[2] Wajib Qadha’. Ini pendapat ulama fiqih 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
Kita akan bahasa dalil masing-masing kelompok ini mulai dari kelompok
yang mengatakan bahwa tidak ada qadha sholat, yaitu pendapat Imam Abu
Daud Al-Zohiri yang kemudian direkam oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya
Al-Muhalla, dan juga pendapat Sheikh Ibnu Taimiyyah.
[1] Tidak Ada Qadha’
Secara tegas, Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi mengatakan dalam kitabnya
Al-Muhalla, bahwa tidak ada yang namanya syariat qadha sholat kecuali
bagi yang lupa dan tertidur. Lalu apa yang harus dilakukan?
Yang harus dilakukan ialah memperbanyak istighfar, berbuat kebajikan,
memperbanyak sholat sunnah agar nanti timabangan kebaikannya meningkat
diakhirat.
Pekerjaan Sia-sia dan Tidak Diterima
Imam Ibnu Hazm dengan yakin bahwa tidak ada qadha sholat, karena tidak
ada syariatnya, dan itu hanya pekerjaan yang sia-sia. Bahkan, Sheikh
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan bahwa jika ia
melakukan qadha sholat, secara zahir itu sah dan bisa dikerjakan, tapi
sayangnya sholatnya secara diterima. Beliau mengatakan:
فَالْكَلَامُ فِي هَذَا مُتَّصِلٌ بِالْكَلَامِ فِيمَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ
وَآتَى الزَّكَاةَ نِفَاقًا أَوْ رِيَاءً ، فَإِنَّ هَذَا يُجْزِئُهُ فِي
الظَّاهِرِ ، وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ فِي الْبَاطِنِ
“Pembahasan masalah ini berhubungan dengan orang yang sholat dan
membayar zakat namun secara nifaq (munafiq) dan riya’, secara zahir itu
sah, tapi secara bathin itu tidak diterima!”
Kemudian, apa dalil kelompok ini sehingga mengatakan bahwa qadha sholat itu tidak ada?
Pertama: dengan dalil hadits diatas, bahwa yang dibolehkan qadha itu
ialah orang yang lupa dan tertidurm sedangkan orang yang sengaja itu
tidak termasuk dalam 2 golongan yang disebutkan dalam hadits tersebut,
maka tidak ada qadha baginya.
Kedua: Allah swt telah menentukan waktu bagi setiap sholat, seperti
waktu ashar sampai terbenam matahari, subuh sejak terbit fajar sampai
terbit matahari, dan seterusnya. Allah berfirmam:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya sholat bagi orang mukim ialah kewajiban yang sudah terwaktu” (An-Nisa’ 103)
Kalau orang dibolehkan meng-qadha’ sholat, lalu buat apa Allah swt
membuat batasan-batasan waktu masing-masing sholat? Seperti halnya haji
atau puasa, itu semua sudah ada waktunya tertentu. Tidak sah orang
berhaji kecuali di bulan dzulhijjah, dan tidak sah seorang berpuasa di
malam hari. Maka begitu juga sholat.
Ketiga: Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa semua sepakat kalau mengerjakan
sholat pada waktunya itu adalah sebuah ketaatan, dan meninggalkannya
ialah sebuah kemaksiatan. Jadi orang yang meninggalkan sholat secara
sengaja, ia berdosa karena itu maksiat.
Lalu bagaimana bisa sebuah maksiat diganti dengan sebuah ketaatan, yaitu sholat di selain waktunya?
Keempat: Allah swt dalam surat Al-Ma’un (4-5) mengancam orang-orang yang
meninggalkan sholat dengan wail (kecelakaan), bahkan dalam beberapa
tafsir dikatakan bahwa wail itu ialah nama salah satu lembah di neraka
jahannam.
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (.) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka Wail (celaka) bagi mereka yang sholat. Yang sholat tapi lalai akan sholatnya”
Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang makna wail itu sendiri, tapi
yang pasti bahwa mereka yang mengerjakan sholat tapi di luar waktu,
takni orang lalai itu mendapat ancaman. Dan kalau ada ancaman berarti
pekerjaan itu tidak diridhoi Allah swt, dan yang tidak diridhoi Allah
itu ialah pekerjaan yang haram.
Inilah pendapat Imam Ibnu Taimiyah, Beliau mengatakan:
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع
Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidaklah disyariatkan
baginya untuk mengqadhanya, dan tidak sah pula jika dia melakukannya,
tetapi hendaknya dia memperbanyak shalat sunahnya. (Fatawa Al Kubra,
5/320
Ini juga difatwakan Imam Ibnu Hazm, Beliau mengatakan:
وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها هذا لا يقدر على قضائها أبدافليكثر
من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزاته يوم القيامة وليتب وليستغفر الله
عزوجل
Adapun orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai keluar dari
waktunya, maka selamanya tidak bisa diqadha. Namun hendaknya dia
memperbanyak amal kebaikan, shalat sunah, dalam rangka memperberat
timbangan kebaikannya di Hari Kiamat nanti, dan hendaknya dia bertaubat
dan beristighfar kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Al Muhalla, 1/274-275)
Hujjah mereka adalah sebagai berikut:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَواتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59)
إِلاَّ مَنْ تابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صالِحاً فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئاً (60)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya
(dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam [19]: 59-60)
Ayat lain:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 135)
Jadi, menurut ayat-ayat ini, solusi dari kemaksiatan adalah bertaubat
kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak istighfar. Begitupula dalam konteks
meninggalkan shalat wajib secara sengaja, ditambah lagi orang tersebut
mesti menutupinya dengan memperbanya shalat sunah.
Dalilnya adalah,
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ
عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ
فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ
شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ
تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ
يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ.
“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada
Hari Kiamat adalah shalatnya. Jika bagus shalatnya maka dia telah
selamat dan beruntung. Jika rusak shalatnya maka dia akan menyesal dan
merugi. Jika shalat wajibnya ada kekurangan, maka Allah ‘Azza wa Jalla
berkata, ‘Lihatlah pada hamba-Ku shalat sunahnya. Sempurnakanlah
kekurangan pada yang wajib itu dengannya.’ Kemudian dihitunglah semua
amal perbuatannya dengan seperti itu juga.” (HR. At Tirmdzi (413),
katanya: hasan gharib. Abu Daud (864). Ad-Darimi (1395), Syaikh Husein
Salim Asad mengatakan: isnadnya shahih. Ahmad (9494). Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494) )
Nah, hadits ini menunjukkan bahwa kekurangan pada shalat wajib yang
luput dilaksanakan, bisa ditutupi dan disempurnakan oleh shalat sunah.
Imam Abu Muhammad bin Hazm telah membahas masalah ini panjang lebar.
Beliau pun menantang pihak yang mewajibkan qadha itu. Atas dasar apa
sehingga dibolehkan menqadha? Siapakah yang mewajibkan qadha itu,
syariat atau bukan? Di antara alasan lain yang dikemukakan Beliau adalah
bahwa shalat adalah ibadah yang sudah ditentukan waktunya. Jika adanya
qadha itu dibenarkan sehingga shalat bisa dilakukan setelah habis
waktunya maka adanya aturan waktu shalat yang spesifik akan menjadi
aturan (ketetapan) yang sia-sia dan tidak ada artinya.
Buat apa adanya aturan waktu pada masing-masing shalat, jika kemudian
boleh saja dilakukan di luar waktunya? Beliau juga menyebut bahwa
pendapat Beliau ini merupakan pendapat Umar bin al-Khaththab, Abdullah
bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman al-Farisi, Ibnu Mas’ud,
Muhammad bin Abu Bakar, Budail Al Uqaili, Muhammad bin Sirin, Mathrab
bin Abdullah, dan Umar bin Abdul Aziz. (Al Muhalla, 2/11)
[2] Wajib Qadha Sholat
Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama madzhab fiqih yang
muktamad, bahkan Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menyebutkan bahwa adanya
qadha sholat bai orang yeng meninggalkannya secara sengaja ialah Ijma’
(Konsensus). Karena ini Ijma’, maka tidak ada yang boleh menyelisihinya.
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal pun yang mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan sholat dengan sengaja itu kafir, status kafirnya masih
terhalang jika ia mau mengqadha sholatnya ketika sang Imam
memerintahkan, kalau tidak mau baru lah ia dihukumi kafir dan di bunuh.
Jadi ia masih harus meng-qadha sholatnya.
Imam Al-Showi dari kalangan Malikiyah mengatakan bahwa pendapat tidak
adanya qadha sholat bagi yang meninggalkan sholat secara sengaja ialah
pendapat yang syaadz (aneh) dalam litelatur fiqih.
Dalil kelompok ini ialah;
Pertama: Adapun pendapat pertama yang berpendapat wajib qadha bagi orang
yang bersengaja, diperkuat dengan dalil hadits. Hadits yang pertama
yang berbunyi:
عن ابي قتادة رضي الله عنه قال ذكروا النبي صلى الله عليه و سلم نومهم عن
الصلاة فقال انه ليس في النوم تفريط انما التفريط في اليقظة فإذا نسي أحدكم
صلاة او نام عنها فليصلّها إذا ذكرها (رواه النسائي و الترمذي و صححه)
Dari Abu Qatadah, dia berkata, (Shahabat-shahabat) menceritakan kepada
Nabi tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, lalu Nabi saw berkata,
Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang
dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena
itu, apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur,
maka shalatlah ketika ingat. (HR. an-Nasa'i dan at-Tirmidzi
menshahihkannya)
Memang benar yang diwajibkan qadha itu hanya orang yang lupa atau
tertidur, dan yang sengaja tidak ada. Tapi ingat bahwa dalam syariah
adalah Dalalah Al-Manthuq [دلالة المنطوق] dan Dalalah Al-Mafhuum [دلالة
المفهوم].
Manthuq (Teks)-nya memang tidak disebutkan, tapi Mafhuum (yang dipahami
dari konteks)-nya justru yang meninggalkan sholat dengan sengaja lebih
wajib meng-qadha. Ini yang disebut dengan Qiyas Jaliy [قياس جلي], kalau
yang meninggalkan karena lupa dan tertidur aja harus meng-qadha, padahal
itu tak sengaja, apalagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Maka
kewajiban qadha jauh lebih berat untuknya.
Sama seperti keharaman memukul orang tua, yang telah menjadi kesepakat
oleh seluruh ulama sejagad raya. Tapi apakah ada dalil keharamannya?
Tidak ada! Yang ada itu ialah haram berucap “Ah”kepada orang tua,
sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Isra ayat 23.
Tapi ulama kemudian mengambil kesimpulan dengan memahami konteks teks
yang ada, bukan hanya teks-nya saja. Kalau berkata “Ah” saja tidak
boleh, apalagi memukul yang jauh lebih menyakitkan.
Hadits kedua yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال ان النبي صلى الله عليه و سلم قال من
نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها فإن الله قال أقم الصلاة لذكري (رواه الجماعة
إلا البخاري و الترمذي)
Dari Abu Hurairah, dan Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa lupa satu
shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena sesungguhnya Allah telah
berfirman: Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku. (HR. al-Jama'ah
kecuali al-Bukhary dan at-Turmidzi)
Dari pengertian hadits di atas yang mana Rasulullah saw. memerintahkan
kepada orang yang tertidur dan terlupa untuk mengqadha shalatnya, dan
dengan cara qiyas lebih utama bagi mereka yang bersengaja. Begitu juga
dikatakan tidak ada tebusannya melainkan dengan mengqadha, menunjukkan
juga wajib qadha bagi orang yang bersengaja. Karena orang yang
bersengaja berdosa dan lebih utama mereka menebus dosanya dari orang
yang tidak berdosa. Pendapat ini dapat lagi diperkuat dengan hadits yang
ketiga yang berbunyi:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال ان عمر بن الخطاب جاء يوم الخندق بعد
ما غربت الشمس فجعل يسبّ كفار قريش و قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب فقال النبي صلى الله عليه و سلم و
الله ما صليتها فتوضأ فتوضأنا فصلى العصر بعد ما غربت الشمس ثم صلى بعدها
المغرب (رواه لبخاري و مسلم)
Jabir bin Abdillah beliauberkata: bahwasanya Sayidina Umar datang kepada
Rasulullah ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam matahari,
Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada
Rasulullah: Hai Rasulullah, saya hampir tidak shalat 'Ashar sampai
matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum
shalat 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat ke Balkan
maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi shalat 'Ashar
sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi shalat magrib. (H.R.
Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hadits di atas menggambarkan bahwa Umar bin Khatab dan kaum muslimin,
karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat dan
mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Karena itu kalau seandainya
tidakwajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak lagi
mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
Kenapa Hanya Orang Lupa dan Tertidur Yang Disebut?
Imam Badr Al-Diin Al-‘Ainy, seorang faqih Hanafiyah menjelaskan kenapa
sebab Nabi saw hanya menyebutkan orang tertidur dan lupa dalam hadits
tersebut, kenapa tidak langsung saja Nabi saw mengatakan; [من
تركها]“Siapa yang meninggalkan”, bukan dengan redaksi; “lupa atau
tertidur”?
Itu karena Nabi saw memperhatikan adab, karena meninggalkan sholat
secara sengaja bukanlah prilaku seorang muslim. Karena itu nabi
mengatakan seperti itu sebagai bentuk husnudzon (prasangka baik) kepada
muslim. Akan tetapi hukum yang terkandung di dalam hadits tersebut tidak
terbatas hanya untuk orang yang lupa atau tertidur, tapi justru untuk
semua yang meninggalkan sholat, sengaja atau tidak.
Kedua: Seorang muslim ketika masuk waktu sholat, maka sholat itu menjadi
kewajiban buat dirinya, menjadi tanggungan yang harus diselesaikan, dan
kewajiban itu tidak akan gugur sampai ia melaksanakannya. Walaupun
waktunya telah lewat, kewajiban sholat masih menempel kepadanya karena
itu sama sekali ia belum melaksanakannya.
Sama seperti hutang, kewajiban menlunasi hutang tersebut tidak gugur
sampai ia melunasinya, walaupun telah lewat temponya lama. Sholat pun
demikian, ia menempel dalam diri seorang muslim dan tidak gugur sampai
ia melaksanakannya.
Kenapa disamakan dengan hutang?
Nabi saw yang menyamakannya dengan hutang. Ingat bagaimana hadits Nabi
saw yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Muslim dalam kitab
shahihnya?
عن ابن عباس ان امرأة من جهينة جاءت الى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت
أمي نذرت ان تحجّ حتى ماتت أفأحجّ عنها؟ قال حجّي عنها أرأيت لو كان أمك
دين اكنت قاضيه أقضو الله فالله أحقّ بالوفاء (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya seorang wanita dari suku
Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia bertanya: bahwasanya
ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum membayarkan
nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya itu,
yakni naik haji? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti
dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar
utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar. (H.R.
Imam Bukhari)
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak Allah, termasuk di
antaranya shalat yang tertinggal, baik karena terlupa atau sengaja,
karena perintah dalam hadits itu umum.
Ia menanyakan perihal kewajibannya tersebut, karena ketika seorang sudah
bernadzar, maka ia sama saja mewajibkan sesuatu yang dinadzarinya itu
untuk dilakukan walaupun sejatinya tidak wajib.
Dalam riwayat lain di Shahih Muslim disebutkan dengan redaksi cerita
yang berbeda tapi sama tentang kewajiban, yaitu tentang kewajiban puasa
yang ditinggal oleh ibunya, kemudian nabi menjawab dengan jawaban yang
sama pada hadits diatas.
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ
“Bagaimana jika ibumu itu punya hutang, apakah kau akan melunasinya?”,
ia menjawab: “ya!”, Nabi meneruskan: “Maka begitu juga hutang kepada
Allah, itu jauh lebih berhak untuk dilunasi!” (HR Muslim 1936)
Jadi kewajiban itu sama seperti hutang, yang tidak bisa dilunasi kecuali
dengan melunasinya yaitu dengan melaksanakannya. Dan menganalogikan
kewajiban dengan hutang bukanlah karangan ulama, akan tetapi Nabi saw
sendiri yang mencontohkan.
Ketiga: Meng-Qadha’ sholat di luar waktunya ialah bukan dimaksud dengan
mengganti maksiat dengan ketaatan. Bukan itu! Meng-qadha’ sholat ialah
melakukan kewajiban, yaitu kewajiban ketika seeorang tidak bisa
melakukan kewajiban di waktunya yang tepat. Karena tidak bisa melakukan
sholat pada waktunya, ia berdosa. Tapi ia berkewajiban qadha’.
Kalau memang mengganti kemaksiatan dengan ketaatan tercela sebagaimana
disebutkan oleh kelompok pertama, tapi kenapa mereka mengharuskan orang
yang meninggalkan sholat dengan perbanyak istighfar dan sholat sunnah?
Bukankah itu juga ketaatan? Kalau begitu ini menjadi pertanyaan balik
kepada mereka. Kenapa mereka mengganti kemaksiatan (meninggalkan sholat)
dengan istighfar yang merupakan sebuha ketaatan?
Keempat: Allah swt berfirman dalam Thaha ayat 14:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“dan dirikanlah sholat untuk mengingatku”.
Imam Al-Qurthubi, seorang Ahli tafsir bermadzhab Malikiyah yang membahas
tafsir dalam kitabnya dengan pendekatan hukum fiqih ini menjelaskan
bahwa ayat ini secara jelas mewajibkan seseorang yang meninggalkan
sholat secara sengaja untuk meng-qadha’-nya.
Karena ini perintah yang jelas untuk mengingat Allah swt, maksudnya
ialah mengingat Allah swt dengan sholat. Maka yang belum sholat belum
mengingat Allah swt. Seorang muslim tidak dikatakan mengingat Allah swt
sampai ia sholat, karena itu sholat menjadi wajib, walapun sudah di luar
waktu.
Adapun pengkhususan orang yang tidur dan lupa sebagaimana dalam hadits,
itu bukan pengkhususan kewajiban, akan tetapi itu khusus peniadaan dosa.
Orang yang tertidur atau lupa, mereka tidak berdosa akan tetapi tetap
wajib qadha’, dan yang meninggalkan sholat dengan sengaja, ia berdosa
karena itu maksiat, dan tetap wajib qadha. Bagaimana tidak? toh yang
lupa dan tertidur saja wajib qadha, apalagi yang sadar!
WAKTU MENG-QADHA SHALAT YANG DITINGGALKAN
Adapun waktu meng-qadha shalat adalah sesegera mungkin saat seseorang
ingat. Kalau, misalnya tidak melakukan shalat subuh kemudian ingat pada
saat solat dzuhur, maka ia harus mendahulukan shalat qadha-nya yakni
solat subuh, baru kemudian shalat dhuhur. Kecuali apabila waktu shalat
dhuhur-nya sangat sempit sehingga kalau mendahulukan qadha maka
dhuhurnya akan ketinggalan. Dalam kasus seperti ini, maka shalat dhuhur
didahulukan.
Imam Nawawi (Yahya bin Syaraf Abu Zakariya An Nawawi) dalam kitabnya
Syarh an-Nawawi 'ala-l Muslim شرح النووي على مسلمmengomentari hadits
seputar qodho solat demikian:
حاصل المذهب : أنه إذا فاتته فريضة وجب قضاؤها ، وإن فاتت بعذر استحب
قضاؤها على الفور ويجوز التأخير على الصحيح . وحكى البغوي وغيره وجها : أنه
لا يجوز وإن فاتته بلا عذر [ ص: 308 ] وجب قضاؤها على الفور على الأصح ،
وقيل : لا يجب على الفور ، بل له التأخير ، وإذا قضى صلوات استحب قضاؤهن
مرتبا ، فإن خالف ذلك صحت صلاته عند الشافعي ومن وافقه سواء كانت الصلاة
قليلة أو كثيرة
Kesimpulan madzhab (atas hadits qadha): bahwasanya apabila tertinggal
satu solat fardhu, maka wajib mengqadh-nya. Apabila tertinggal shalat
karena udzur, maka disunnahkan mengqadha-nya sesegera mungkin tapi boleh
mengakhirkan qadha menurut pendapat yang sahih.
Imam Baghawi dan lainnya menceritakan suatu pendapat: bahwasanya tidak
boleh mengakhirkan qadha. Kalau lalainya solat tanpa udzur, maka wajib
mengqadha sesegera mungkin menurut pendapat yang lebih sahih.
Menurut pendapat lain, tidak wajib menyegerakan qadha. Artinya, boleh
diakhirkan. Dan apabila meng-qadha beberapa solat fardhu, maka
disunnahkan mengqadha-nya secara urut. Apabila tidak dilakukan secara
berurutan, maka solatnya tetap sah menurut Imam Syafi'i dan yang sepakat
dengannya baik solat yang tertinggal sedikit atau banyak.
HUKUM QADHA SHALAT YANG SENGAJA DITINGGAL BERTAHUN-TAHUN
Ulama berbeda pendapat dalam kasus orang yang tidak sh`lat secara sengaja berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
PENDAPAT PERTAMA: TIDAK WAJIB QADHA SHALAT YANG SENGAJA DITINGGLA BERTAHUN-TAHUN
Tapi, diharuskan bertaubat nasuha dan banyak melakukan shalat sunnah apabila memungkinkan. Berdasarkan hadits:
أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة صلاته فإن كان أتمها كتبت له تامة و أن
لم يكن أتمها قال الله لملائكته : انظروا هل تجدون لعبدي من تطوع فتكملون
بها فريضته ؟ ثم الزكاة كذلك ثم تؤخذ الأعمال على حسب ذلك
Artinya: Perbuatan yang pertama dihisab (dihitung untuk diminta
pertanggungjawaban) pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya
seseorang sempurna, maka ditulis sempurna. Apabila tidak, maka Allah
akan berkata pada malaikat: "Lihatlah apakah dia melakukan shalat sunnah
yang dapat menyempurnakan kekurangan shalat fardhunya?"
Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Ibnu Hazm dalam Al-Mahalli (II/235-244) berkata:
وأمّا من تعمّد ترك الصلاة حتى خرج وقتها، فهذا لا يقدر على قضائها أبدا،
فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع، ليثقل ميزانه يوم القيامة وليستغفر الله
عزّ وجلّ
Artinya: Adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat, maka dia tidak
akan mampu menggantinya selamanya, maka hendaknya dia memperbanyak
berbuat baik yaitu shalat sunnah, dan mohon ampun pada Allah.
PENDAPAT KEDUA: WAJIB QADHA SHALAT YANG DITINGGAL BERTAHUN-TAHUN
Pendapat kedua ini berdasarkan pada hadits sahih riwayat Bukhari Muslim (muttafaq alaih)
فدين الله أحق أن يقضى
Artinya: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.
Adapun cara meng-qadha yang ditinggal begitu lama ada beberapa cara.
1. Menurut madzhab Maliki, cara mengqadha-nya adalah setiap hari
mengqadha dua hari shalat yang ditinggal. Dilakukan terus menerus setiap
hari sampai yakin qadha-nya sudah selesai.
2. Menurut Ibnu Qudamah, hendaknya dia mengqadha setiap hari semampunya.
Waktunya terserah, boleh siang atau malam. Sampai dia yakin (menurut
perkiraan) bahwa semua shalat yang ditinggalkan sudah diganti. Ibu
Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata:
إذَا كَثُرَت الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ, مَا لَمْ
يَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ, أَمَّا فِي بَدَنِهِ
فَأَنْ يَضْعُفَ أَوْ يَخَافَ الْمَرَضَ, وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ
يَنْق؎طِعَ عَنْ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ, بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ
مَعَاشِهِ, أَوْ يُسْتَضَرُّ بِذَلِكَ. وَقَدْ نَصَّ أَحْمَدُ عَلَى
مَعْنَى هَذَا. فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ
يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ. قَالَ أَحْمَدُ فِي
رِوَايَةِ صَالِحٍ, فِي الرَّجُلِ يُضَيِّعُ الصَّلَاةَ: يُعِيدُ حَتَّى
لَا يَشُكَّ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ بِمَا قَدْ ضَيَّعَ. وَيَقْتَصِرُ عَلَى
قَضَاءِ الْفَرَائِضِ, وَلَا يُصَلِّي بَيْنَهَا نَوَافِلَ, وَلَا
سُنَنَهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاتَتْهُ أَرْبَعُ
صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ , فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ فَصَلَّى
الظُّهْرَ, ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ, ثُمَّ أَمَرَهُ
فَأَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ, ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى
الْعِشَاءَ. وَلَمْ يُذْكَرْ أَنَّهُ صَلَّى بَيْنَهُمَا سُنَّةً,
وَلِأَنَّ الْمَفْرُوضَةَ أَهَمُّ, فَالِاشْتِغَالُ بِهَا أَوْلَى, إلَّا
أَنْ تَكُونَ الصَّلَوَاتُ يَسِيرَةً, فَلَا بَأْسَ بِقَضَاءِ سُنَنِهَا
الرَّوَاتِبِ, لِأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاتَتْهُ صَلَاةُ
الْفَجْرِ, فَقَضَى سُنَّتَهَا قَبْلَهَا.
Arti ringkasan: Wajib mengqodho shalat yang ditinggal secara sengaja
dalam waktu lama, berbulan-bulan atau bertahun-tahun, sampai lupa
hitungan persisnya. Adapun caranya adalah dengan mengqadha
berturut-turut tanpa diselingi shalat sunnah seperti yang pernah
dilakukan Nabi saat ketinggalan 4 waktu shalat pada perang Khandaq.
Jangan lupa untuk selalu memohon ampun atas shalat-shalat yang
ditinggalkan. Karena shalat adalah pilar kedua utama dalam Islam setelah
Dua Syahadat.
KESIMPULAN HUKUM QADHA SHALAT YANG DITINGGAL BERTAHUN-TAHUN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai
lupa hitungan persisnya dan dia dalam keadaan sehat, maka hendaknya dia
(a) bertaubat dan (b) meng-qodho seluruh shalat yang ditinggal setiap
hari semampunya sampai selesai; (c) memperbanyak shalat sunnah untuk
mengganti kekurangan.
Namun, apabila dia sudah tidak sehat lagi dan menimbulkan sakit kalau
mengqodho semua yang ditinggalkannya, maka dia dapat mengikuti pendapat
yang tidak mewajibkan qadha shalat yang ditnggal secara sengaja.
HUKUM MENGQADHA (QODHO) SHALAT ORANG SUDAH MENINGGAL DUNIA (WAFAT)
Orang yang meninggalkan shalat karena sakit kemudian dia mati, maka
menurut pendapat dalam madzhab Hanafi, hukumnya wajib membayar fidyah
untuk setiap shalat yang ditinggalkan. Besarnya adalah 1 mud (1 mud =
675 gram atau 0.688 liter).
Berdasarkan hadits Nabi :
لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ
Artinya: Seseorang tidak harus berpuasa atau shalat untuk orang lain, akan tetapi hendaknya ia memberi makan (fidyah).
As-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth mengatakan,
إذا مات وعليه صلوات يطعم عنه لكل صلاة نصف صاع من حنطة، وكان محمد بن
مقاتل يقول أولا: يطعم عنه لصلوات كل يوم نصف صاع على قياس الصوم، ثم رجع
فقال: كل صلاة فرض على حدة بمنزلة صوم يوم وهو الصحيح
Arti kesimpulan: Kalau orang meninggal punya hutang shalat, maka wajib membayar fidyah untuk setiap shalat yang ditinggalkan.
Abu Bakar Al-Ibadi Al-Hanafi mengatakan dalam Al-Jauharah
والصلاة حكمها حكم الصيام على اختيار المتأخرين، وكل صلاة بانفرادها معتبرة
بصوم يوم هو الصحيح احترازا عما قاله محمد بن مقاتل أنه يطعم لصلوات كل
يوم نصف صاع على قياس الصوم، ثم رجع عن هذا القول وقال: كل صلاة فرض على
حدة بمنزلة صوم يوم هو الصحيح
Arti kesimpulan: Hukumnya shalat sama dengan hukumnya puasa. Yakni, harus membayar fidyah apabila ditingalkan.
Sebagian ulama madzhab Syafi'i juga berpendapat serupa. Dimyathi dalam Hasyiah I'anah at-Talibin mengatana
من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية.. وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا
Artinya: Barangsiapa meninggal dunia dan punya hutang shalat maka tidak
wajib qadha dan fidyah, akan tetapi menurut pendapat banyak ulama
Syafi'i, wajib membayar fidyah 1 mud untuk setiap shalat yang
ditinggalkan.
PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN QADHA SHALAT
Mayoritas ulama tidak membolehkan mengqadha-kan shalat orang yang
meninggal. Namun sebagian ulama membolehkan berdasarkan pada hadits
sahih riwayat Bukhari sbb:
أن ابن عمر رضى الله عنهما أمر امرأة جعلت أمها
على نفسها صلاة بقباء - يعنى ثم ماتت -فقال : صلى عنها
Artinya: Ibnu Umar pernah memerintahkan seorang perempuan yang bernadzar
untuk shalat di Quba' kemudian meninggal (sebelum melaksanakan nadzar
tersebut). Ibnu Umar berkata: Shalatlah untuknya.
Takhtimah
Pada asalnya wajib melaksanakan sholat fardhu seluruhnya di waktu yang sudah ditetapkan syariat berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ
الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.Kemudian apabila
kamu telah merasa aman,maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman. (QS an-Nisaa’/4: 103).
Tidak boleh seorang muslim mengakhirkan sholat hingga keluar waktunya,
karena itu melanggar batasan Allah subhanahu wata’ala dan termasuk dosa
besar. Apabila melakukannya dengan sengaja dan tanpa alasan yang
diperkenankan syariat maka dia berdosa hingga bertaubat dan memperbaiki
amalannya di masa setelah taubat. Apabila mengakhirkannya hingga keluar
waktu dengan adanya alasan syar’i yang diperbolehkan, seperti lupa,
ketiduran dan sejenisnya, maka ia sholat ketika hilang alasan udzur
tersebut. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sabda beliau:
«مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: {أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي} [طه: 14]
Siapa yang lupa sholat maka hendaknya sholat ketida ingat, karena Allah
berfirman: Dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS Thaha : 14) (HR
Muslim).
Misalnya kita lupa shalat dhuhur dan baru ingat ketika shalat ashar
tiba, maka kita sholat ketika ingat tersebut di waktu ashar. Apabila
ingat sebelum sholat ashar maka didirikan sebelum sholat Ashar secara
urutan waktu dengan cara sholat zhuhur dulu empat rakaat lalu salam dan
takbir lagi untuk sholat ashar empat rakaat seperti biasanya. Apabila
ingatnya setelah selesai melakukan sholat ashar maka dilakukan ketika
ingat secara langsung. Caranya melaksanakan sholat zhuhur empat rakaat
secara sempurna ketika ingat.
Apabila jumlah sholat yang terlupakan melebihi satu sholat, maka
hendaknya sholat secara urut ketika ingat dan tidak menundanya pada esok
harinya pada waktu yang sejenisnya. Misalnya seorang lupa sholat zhuhur
dan ashar hingga masuk waktu maghrib, maka dia mengerjakan dulu sholat
zhuhur empat rakaat hingga selesai, lalu bangun mengerjakan sholat ashar
empat rakaat hingga selesai dan diteruskan dengan sholat maghribnya.
Tidak melakukan sholat zhuhur yang lupa tersebut menunggu zhuhur esok
harinya.
Dasar amalan ini adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
حُبِسْنَا يَوْمَ الْخَنْدَقِ عَنِ الصَّلَاةِ، حَتَّى كَانَ بَعْدَ
الْمَغْرِبِ بِهَوِيٍّ مِنَ اللَّيْلِ، حَتَّى كُفِينَا، وَذَلِكَ قَوْلُ
اللَّهِ تَعَالَى: {وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ، وَكَانَ
اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا} [الأحزاب: 25] قَالَ: «فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالًا، فَأَقَامَ صَلَاةَ الظُّهْرِ
فَصَلَّاهَا، وَأَحْسَنَ صَلَاتَهَا، كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي
وَقْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ، فَصَلَّاهَا وَأَحْسَنَ
صَلَاتَهَا، كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُ
فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ، فَصَلَّاهَا كَذَلِكَ»
Kami terhalang ketika perang Khindak dari sholat hingga selesai waktu
maghrib masuk malam hari hingga terhenti (peperangan). Itulah turun
firman Allah: Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan. dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.(QS
al-Ahzab/33: 25) Abu Said berkata: Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memanggil Bilal kemudian beliau iqamah sholat zhuhur dan
Rasulullah pun sholat dan memperbagus sholatnya sebagaimana beliau biasa
melakukannya di waktunya. Kemudian memerintahkan Bilal dan iqamah
sholat ashar, lalu beliau sholat ashar dan memperbagus sholatnya
sebagaimana beliau biasa melakukannya di waktunya. Kemudian
memerintahkan Bilal dan beriqamah maghrib lalu beliau melakukan sholat
maghrib demikian juga. (HR Ahmad).
Di sini menunjukkan bahwa cara sholatnya sesuai dengan tata cara yang
biasa dan sudah ada tanpa perubahan. Sehingga sholat zhuhurnya tetap
dengan tidak dikeraskan bacaannya walaupun dikerjakan di luar waktunya.
Sedangkan orang yang meninggalkan sholat atau mengakhirkannya hingga
keluar waktunya dengan sengaja dan tanpa alasan udzur yang diperbolehkan
syari’at maka wajib baginya bertaubat dan memperbaiki keadaannya tanpa
ada qadha. Apabila disebabkan karena lalai maka wajib mengqadhanya sama
dengan lupa atau tidak tahu.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar