Dalam istilah fikih islam, Shalat gerhana disebut Shalat Kusuf (صَلاَةُ
الْكُسُوْفِ) atau Shalat Khusuf (صَلاَةُ اْلخُسُوْفِ). Kusuf dan Khusuf
keduanya bermakna sama yaitu gerhana. Namun secara bahasa, orang Arab
sering menggunakan Kusuf untuk gerhana matahari sementara istilah Khusuf
digunakan untuk gerhana bulan (lihat kitab An-Nihayah Fi Ghoribi
Al-Hadits Wa Al-Atsar).
Pembedaan ini tidak bersifat mengikat dan kaku. Orang boleh menggunakan
Kusuf untuk matahari dan Khusuf untuk bulan sebagaimana Khusuf boleh
dipakai untuk matahari dan Kusuf untuk bulan. Hadis dalam Shahih Bukhari
sendiri memakai kata Khusuf untuk menyebut gerhana matahari.
Hukum Shalat gerhana
Hukum Shalat gerhana adalah Sunnah Muakkad tanpa membedakan apakah
gerhana matahari maupun gerhana bulan, dalam kondisi safar maupun Muqim.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Shalat gerhana hanya disunnahkan
untuk gerhana matahari sementara gerhana bulan tidak dengan beralasan
Nabi SAW tidak pernah Shalat gerhana bulan, maka pendapat ini tertolak
oleh Hadis berikut;
صحيح البخاري (4/ 186)
عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ
إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ
وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
“Dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana
di hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang
berkata; Dia (matahari) mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka
Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat
di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena
kematian atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka
berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal) kembali” (H.R.Bukhari)
Hadis di atas jelas menyebut gerhana matahari dan bulan. Perintah untuk
Shalat gerhana tidak dikhususkan untuk gerhana matahari. Karena itu
sunnahnya Shalat gerhana berlaku untuk gerhana matahari sekaligus
gerhana bulan. Diriwayatkan, Ibnu Abbas Shalat gerhana bulan di Bashroh
mengimami penduduknya dan mengatakan bahwa beliau melihat Rasulullah SAW
melakukannya.
Untuk gempa, gunung meletus, banjir, angin kencang dan tanda-tanda alam
yang lain, maka tidak disyariatkan Shalat karena Nash yang ada hanya
untuk gerhana. Tanda-tanda alam yang lain tidak bisa diqiyaskan karena
tidak ada Qiyas dalam ibadah.
Sunnah Berjamaah
Shalat gerhana sunnah dilakukan secara berjamaah. Dalilnya adalah Hadis berikut;
صحيح البخاري (4/ 163)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ
“Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; Matahari
mengalami gerhana pada masa hidup Nabi SAW. Maka beliau keluar menuju
masjid lalu membariskan orang-orang dibelakang beliau “ (H.R.Bukhari)
Lafadz “فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ” (lalu membariskan orang-orang
dibelakang beliau) menunjukkan Nabi SAW membariskan kaum Muslimin
dibelakangnya untuk membuat Shof Jamaah. Karena itu Hadis ini menjadi
Dalil kesunnahannya. Namun Shalat Munfarid (sendirian) juga sah.
Dasarnya adalah perintah mutlak dari Nabi SAW yang memerintahkan Shalat
gerhana pada Hadis sebelumnya, yaitu lafadz “وَصَلُّوا” (Shalatlah
kalian). Perintah “Shalatlah kalian” ini bersifat mutlak, bisa dilakukan
berjamaah sebagaimana bisa dilakukan sendirian. Muslim yang
melakukannya secara berjamaah berarti telah melaksanakan Hadis tersebut
sebagaimana muslim yang melakukannya Munfarid juga telah melaksanakan
Hadis tersebut.
Keikutsertaan Wanita dalam Shalat Gerhana
Wanita diizinkan ikut Shalat gerhana, karena Aisyah dan Asma ikut Shalat
gerhana saat Rasulullah SAW menyelenggarakan Shalat gerhana.
صحيح البخاري (4/ 453)
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
وَهِيَ تُصَلِّي قَائِمَةً وَالنَّاسُ قِيَامٌ فَقُلْتُ مَا شَأْنُ
النَّاسِ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا إِلَى السَّمَاءِ فَقُلْتُ آيَةٌ
فَقَالَتْ بِرَأْسِهَا أَيْ نَعَمْ
“Dari Asma’ beliau berkata; Aku masuk menemui Aisyah sementara dia
sedang Shalat sambil berdiri dan orang-orang juga berdiri. Maka aku
bertanya “Orang-orang kenapa?” Maka Aisyah memberi isyarat dengan
kepalanya ke arah langit (menunjukkan bahwa terjadi gerhana matahari).
Maka aku bertanya; ayat?maka dia menjawab dengan isyarat kepalanya; ya”
(H.R.Bukhari)
Waktu pelaksanaan
Awal waktu saat Shalat gerhana mulai diizinkan adalah ketika gerhana
mulai terjadi. Pada saat itu Shalat gerhana sudah boleh dilakukan. Jika
pelaksanaannya sebelum terjadi gerhana, lalu ditengah-tengah Shalat,
baru gerhananya terjadi maka shalatnya tidak sah karena Shalat tersebut
dilakukan sebelum masuk waktu. Hal ini sama dengan orang yang Shalat
Dhuhur jam 10 pagi atau Shalat ashar jam 13.00. Akhir waktunya ditandai
ketika matahari/bulan kembali normal.
Dalam rentang waktu tersebut Shalat gerhana sah dilakukan. Seorang
muslim bisa memilih di awal waktu, ditengahnya atau di akhir. Jika dia
Shalat di akhir waktu, lalu ditengah Shalat gerhana sudah lenyap, maka
Shalatnya tetap disempurnakan dan dihitung sah, karena dia telah
mengawali Shalat pada waktunya. Dalil yang menunjukkan waktu pelaksanaan
Shalat gerhana dimulai saat gerhana dan habis saat gerhana lenyap
adalah Hadis sebelumnya yaitu;
صحيح البخاري (4/ 186)
عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ
إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ
وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
“Dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana
di hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang
berkata; Dia (matahari) mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka
Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat
di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena
kematian atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka
berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal) kembali” (H.R.Bukhari)
Lafadz “فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا” (Jika kalian melihatnya) menunjukkan
awal waktu karena pada saat terjadi gerhana, baru Shalat disyariatkan,
sementara lafadz “حَتَّى يَنْجَلِيَ”( sampai terang (normal) kembali)
menunjukkan akhir waktu karena diawali Harf ‘hatta” yang menunjukkan
batas tujuan akhir.
Jika gerhana berbenturan dengan Shalat yang lain, misalnya Shalat Jumat,
Shalat Ied, Shalat Istsqo dll, maka yang didahulukan adalah yang paling
wajib, dan yang lebih kuat kesunnahannya.
Jika gerhana terjadi pada waktu yang dilarang untuk Shalat, misalnya
terjadi sesudah Ashar, atau sesudah Shubuh, atau saat matahari tepat di
atas kepala, maka Shalat gerhana tidak disyariatkan. Karena waktu-waktu
yang dilarang dipakai untuk Shalat bersifat umum untuk semua Shalat
termasuk Shalat gerhana.
Tempat Pelaksanaan
Disunnahkan Shalat gerhana dilakukan di Masjid karena Rasulullah SAW
melakukannya di Masjid. Kesunnahan ini tidak membedakan apakah Shalat
gerhananya dilakukan berjamaah ataukah Munfarid.
صحيح البخاري (4/ 163)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ
“Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; Matahari
mengalami gerhana pada masa hidup Nabi SAW. Maka beliau keluar menuju
masjid lalu membariskan orang-orang di belakang beliau “ (H.R.Bukhari)
Jika dilakukan tidak di masjid misalnya di rumah, lapangan, halaman dll, maka tetap sah karena masjid bukan syarat keabsahannya.
Adzan dan Iqomat
Tidak disyariatkan Adzan dan Iqomat untuk mengawali Shalat gerhana
tetapi cukup menyerukan الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ Dasarnya adalah Hadis
berikut;
صحيح البخاري – مكنز (4/ 256، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – قَالَ لَمَّا
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
نُودِىَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
“Dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata; Tatkala matahari mengalami
gerhana di masa Rasulullah SAW maka diumumkan ‘Assholata Jami’ah”
(H.R.Bukhari)
Jumlah Rokaat
Jumlah Rokaat Shalat gerhana adalah dua. Dasarnya akan difahami dari sejumlah Hadis yang akan disebutkan di bawah
Tatacara Pelaksanaan
Untuk memudahkan dalam memahami, tatacara pelaksanaan Shalat gerhana akan dijelaskan dalam bentuk urutan sebagai berikut;
1. Niat. Cukup menyengaja dalam hati, tidak harus dilafalkan.
2. Takbiratul ihram
3. Membaca doa iftitah. Doa iftitah yang dibaca bebas, bisa memilih yang
pendek, pertengahan maupun yang panjang asalkan didasarkan pada riwayat
yang shahih. Doa iftitah dibaca pelan
4. Membaca Ta’awudz. Ta’awudz juga dibaca dengan pelan
5. Membaca surat Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah dibaca dengan keras
6. Membaca surat. Jika mampu membaca surat Al-Baqoroh atau surat lain
yang panjangnya kira-kira sama. Jika tidak mampu surat Al-Baqoroh, maka
bebas memilih surat yang lain, baik yang panjang maupun yang pendek.
7. Ruku’. Ruku’ dilakukan dengan lama, kira-kira selama orang membaca
100 ayat. Bacaan Tasbih saat Rukuk bebas asalkan didasarkan pada riwayat
yang shahih
8. I’tidal. Pada saat ini, bacaan Tasmi’ (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) Dilafalkan
9. Membaca Al-Fatihah kedua. Selesai membaca Tasmi’ tangan disedekapkan
lagi lalu membaca Al-Fatihah untuk yang kedua kali. Inilah yang
membedakan dengan Shalat-Shalat biasa. Jika pada Shalat biasa setelah
I’tidal langsung Sujud, maka pada Shalat gerhana setelah I’tidal berdiri
lagi untuk membaca.
10. Membaca surat. Jika mampu membaca surat Ali Imran atau surat lain
yang panjangnya kira-kira sama. Jika tidak mampu surat Ali Imran, maka
bebas memilih surat yang lain baik yang panjang maupun yang pendek.
11. Ruku’. Ruku’ dilakukan dengan lama, tetapi lebih pendek sedikit
daripada Rukuk yang pertama. Bacaan Tasbih saat Rukuk bebas asalkan
didasarkan pada riwayat yang shahih
12. I’tidal. Pada saat ini, bacaan Tasmi’ (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) Dilafalkan
13. Sujud. Setelah I’tidal dan membaca Tasmi’ , Sujud langsung
dilakukan. Sujud juga diusahakan lama. Sujud dilakukan dua kali yang
disela-selai duduk diantara dua Sujud sebagaimana Shalat biasa
14. Berdiri dari Sujud untuk melakukan Rokaat yang kedua. Pada Rokaat
yang kedua ini yang dilakukan sama persis dengan Rokaat yang pertama,
hanya saja durasi waktunya lebih pendek. Al-Fatihah dan surat dibaca,
lalu Rukuk, lalu I’tidal lalu membaca lagi Al-Fatihah dan surat lalu
Rukuk lalu I’tidal. Sebagaimana dalam Rokaat pertama dilakukan dua kali
berdiri dan dua kali Rukuk, maka pada Rokaat yang kedua ini juga
dilakukan dua kali berdiri dan dua kali Rukuk.
15. Sujud. Setelah I’tidal, maka gerakan dilanjutkan dengan Sujud dua
kali yang disela-selai duduk diantara dua Sujud. Sujud pada Rokaat yang
kedua ini juga lama, tetapi lebih pendek daripada Sujud pada Rokaat
pertama
16. Salam
Dalil dari urutan ini adalah Hadis berikut yang didukung dan diperjelas dengan Hadis-Hadis yang lainnya;
صحيح مسلم (4/ 443)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ
فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً
طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ رَفَعَ
رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ
الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا هُوَ
أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو
الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى مِثْلَ
ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ
“Dari Aisyah istri Nabi SAW beliau berkata; Matahari mengalami gerhana
pada masa hidupnya Rasulullah SAW . Maka beliau keluar menuju masjid
kemudian berdiri lalu bertakbir sementara orang-orang berbaris di
belakang beliau. Kemudian Rasulullah SAW membaca (bacaan) lama. Lalu
bertakbir, lalu Rukuk lama. Kemudian beliau mengangkat kepalanya lalu
mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ.
Lalu beliau berdiri kemudian membaca dengan panjang tetapi lebih pendek
darpada bacaan yang pertama. Kemudian beliau bertakbir lalu Rukuk dengan
lama tetapi lebih pendek daripada Rukuknya yang pertama. Kemudian
berkata سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
kemudian bersujud. Kemudian beliau melakukan hal itu pada Rokaat yang
lain (yang kedua) hingga beliau menggenapi empat Rukuk dan empat Sujud.
Dan matahari telah menjadi terang (normal) sebelum beliau selesai.
(H.R.Muslim)
صحيح البخاري (16/ 202)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ خَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ مَعَهُ
فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ
Dari Abdullah Bin Abbas bahwasanya beliau berkata; Matahari mengalami
gerhana pada masa Rasulullah SAW . Maka Rasulullah SAW Shalat bersama
orang-orang, lalu beliau berdiri lama sekitar (membaca) surat
Al-Baqoroh” (H.R.Bukhari)
Tentang ketentuan Al-Fatihah dan surat dibaca dengan Jahr (keras) maka Dalilnya adalah Hadis berikut;
صحيح مسلم (4/ 445)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَهَرَ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya pada saat Shalat gerhana” (H.R.Muslim)
سنن النسائي – مكنز (5/ 423، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ صَلَّى
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَجَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ
كُلَّمَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ».
“Dari Aisyah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau Shalat empat kali
Rukuk dalam empat kali Sujud dan membaca dengan keras bacaannya. Setiap
beliau mengangkat kepalanya beliau mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ (H.R.An-Nasai)
Adapun riwayat yang mengesankan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca dengan keras, misalnya riwayat berikut;
سنن أبى داود (3/ 415)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُسِفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَقَامَ فَحَزَرْتُ
قِرَاءَتَهُ فَرَأَيْتُ أَنَّهُ قَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ
“Dari Aisyah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di masa
Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW keluar Shalat mengimami orang-orang,
lalu beliau berdiri. Aku memperkirakan bacaan beliau, kukira beliau
membaca surat Al-Baqoroh (H.R.Abu Dawud)
سنن الترمذى (2/ 422)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كُسُوفٍ لَا نَسْمَعُ لَهُ صَوْتًا
“Dari Samuroh bin Jundab beliau berkata; Rasulullah SAW mengimami kami
dalam Shalat gerhana yang mana kami tidak mendengar suara beliau (H.R.
At-Tirmidzi)
Maka maknanya adalah; Aisyah tidak mendengar bacaan Nabi SAW dengan
jelas karena posisi beliau berada di bagian belakang. Demikian pula
Samuroh, bisa difahami bahwa beliau berada di Shof bagian paling
belakang sehingga tidak mendengar suara Nabi SAW. Namun Nabi SAW tetap
membaca dengan keras meskipun akhirnya tidak semua Jamaah sanggup
mendengar bacaan beliau.
Rukuk dalam Shalat Gerhana Bisa Ditambah
Dalam deskripsi tatacara yang dijelaskan sebelumnya, bisa disimpulkan
bahwa tiap Rokaat dilakukan dua kali Rukuk. Jumlah ini bisa ditambah
sehingga tiap Rokaat diizinkan melakukan Rukuk tiga kali atau empat
kali. Ketentuan ini didasarkan pada Hadis berikut;
صحيح مسلم (4/ 448)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
“Dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW Shalat enam kali Rukuk dan empat kali Sujud” (H.R.Muslim)
Enam kali Rukuk dalam dua Rokaat bermakna tiap Rokaat dilakukan tiga kali Rukuk.
صحيح مسلم (4/ 459)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حِينَ كَسَفَتْ الشَّمْسُ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ
سَجَدَاتٍ
“Dari Ibnu Abbas beliau berkata; Ketika matahari mengalami gerhana,
Rasulullah SAW Shalat delapan kali Rukuk dalam empat kali Sujud
(H.R.Muslim)
Delapan kali Rukuk dalam dua Rokaat bermakna tiap Rokaat dilakukan empat kali Rukuk.
Khutbah Shalat Kusuf
Disunnahkan setelah selesai Shalat Kusuf, Imam melakukan khutbah. Dasarnya adalah Hadis berikut;
صحيح البخاري (4/ 159)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ … ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ
الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ
قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا
يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ثُمَّ قَالَ يَا
أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ أَنْ
يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ
لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ
كَثِيرًا
“Dari Aisyah bahwasanya beliau berkata:…. Kemudian beliau berpaling
sementara matahari telah menjadi terang (normal). Maka beliau berkhutbah
di hadapan orang-orang. Beliau memuji Allah dan menyanjungnya kemudian
berkata; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara
ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang atau hidupnya. Jika kalian melihat hal itu, maka berdoalah
kepada Allah, Shalatlah dan bershodaqohlah. Kemudian beliau bersabda;
Wahai ummat Muhammad. Tidak ada seseorang yang lebih pencemburu daripada
Allah ketika (melihat) hamba laki-lakinya berzina atau hamba
perempuannya berzina. Wahai ummat muhammad, demi Allah seandainya kalian
mengetahui apa yang kuketahui pastilah kalian sedikit tertawa dan
banyak menangis” (H.R.Bukhari).
Khutbah yang dilakukan cukup satu kali, tidak perlu dua kali dengan
mengqiyaskan pada khutbah Jum’at. Jumlah khutbah cukup sekali karena
dhohir Hadis di atas memang hanya sekali. Lagipula, dalam urusan ibadah
tidak boleh ada Qiyas.
Amalan Sunnah Saat Gerhana
Selain Shalat, amalan lain yang disyariatkan saat terjadi gerhana adalah
berdoa, dzikir, istighfar, shodaqoh, membebaskan budak dan semua
amal-amal Taqorrub lainnya. Dasarnya adalah riwayat berikut;
صحيح البخاري (4/ 184)
عَنْ أَبِي مُوسَى …فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
“Dari Abu Musa:….Jika kalian melihat hal itu maka bersegeralah dengan
gentar untuk mengingatnya, berdoa kepadanya dan meminta ampun kepadanya”
(H.R.Bukhari)
مسند أبي عوانة (2/ 106)
عن أسماء قالت إن كنا لنؤمر بالعتق عند الخسوف
“Dari Asma’ beliau berkata; Kami diperintahkan membebaskan (budak) pada saat gerhana” (H.R.Abu ‘Awanah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar