Kedudukan menjadi imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa adalah
sebuah keutamaan besar. Bahkan ia adalah do’a orang-orang yang sholeh.
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS. Al Furqon
(25) : 74]
Menjadi imam dalam sholat adalah merupakan salah satu cakupan dari ayat
di atas. Namun sebagian orang –Allahu a’lam- karena terlalu bersemangat
dalam meraih kedudukan yang mulia ini, mereka tidak segan-segan meraih
posisi ini padahal ia tidaklah layak untuk itu dan masih ada orang yang
layak untuk itu.
Oleh karena itulah kami memilih topik pembahasan kali ini mengenai
masalah yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu manakah yang lebih
berhak menjadi imam seorang qori’ atau seorang yang fakih tentang
hukum-hukum (terutama sholat)? Dari kedua hal ini jelaslah bagi kita
mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam kedua hal tersebut
tidaklah layak menjadi imam. Semisal orang yang hafalannya sedikit dan
bacaannya buruk maka orang yang demikian tidaklah layak menjadi imam.
Apalagi jika hafalannya sedikit, bacaanya buruk dan tidak tahu bagaimana
hukum-hukum (terutama sholat) maka orang yang demikian ini tidaklah
layak menjadi imam. Maka sekali lagi penulis sampaikan topik pembahasan
ini adalah manakah yang lebih utama untuk menjadi imam seorang qori’
yang hafalannya banyak atau orang yang fakih tentang hukum (terutama
sholat) namun hafalannya tidak terlalu banyak.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan yang dimaksud dengan qori’ adalah
orang yang paling bagus bacaannya, sebagian ulama’ dari mazhab Hambali
mengatakan, yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling banyak
hafalannya. Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan, “Aku katakan pendapat
sebagian ulama’ mazhab hambali inilah yang benar sesuai dengan dhohir
hadits-hadits tentang hal ini akan tetapi dengan syarat bacaan Al
Qur’annya benar dan sempurna makhrojul hurufnya”.
Berkaitan dengan masalah ini para ulama’ berbeda pendapat, mereka secara umum memiliki dua pendapat pokok.
[Pendapat Pertama, Qori’ yang Lebih Utama Menjadi Imam]
Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan
para pengikut mazhab Beliau, al Imam Sufyan Ats Tsauriy dan Al Imam
Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Dalil mereka adalah :
[1]. Hadits Abu Sa’id al Khudriy rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً
فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ »
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Jika kalian
berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan sholat berjamaah) makan
hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya
(qori’) menjadi imam”.
[HR. Muslim juz 1, hal. 464]
[2]. Hadits Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ وَأَكْثَرُهُمْ قِرَاءَةً.
فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً . فَإِنْ
كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوًاءً فَأَكْبَرُهُمْ سَنًّا .
"Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling pandai di antara
mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur'an) dan yang paling banyak
bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an
sama, maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling
dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka
yang paling tua umurnya di antara mereka".[HR. Muslim juz 1, hal. 465]
[3]. Hadits Amr bin Salamah,
صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، وَصَلُّوا كَذَا فِى حِينِ كَذَا ،
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ ، فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ ،
وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنً
“Sholatlah kalian pada keadaan demikian, Sholatlah kalian pada keadaan
demikian, jika telah datang waktu sholat maka hendaklah salah seorang
dari kalian beradzan dan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling
banyak hafalan Al Qur’annya menjadi imam”
[Pendapat Kedua, Orang yang Fakih yang Lebih Utama Menjadi Imam]
Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Malik dan Syafi’i
dan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa pendapat yang diambil oleh al
Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Mereka mengambil
pendapat ini berdasarkan dalil sebagai berikut.
[1]. Mungkin saja orang yang menggantikan imam dalam sholat orang yang
tidak tidak tahu apa yang dilakukannya untuk menggantikan imam dalam
sholat kecuali orang yang fakih. Maka orang yang fakih lebih utama.
[2]. Para ulama ini menjawab/berargumentasi dengan hadits yang dibawakan
kelompok ulama sebelumnya bahwa orang yang paling banyak hafalan Al
Qur’annya di masa sahabat adalah orang yang paling fakih. Karena para
sahabat tidaklah mereka membaca sepuluh ayat hingga mereka memamahi
maknanya dan kandungan (salah satunya adalah fikih/hukum) yang ada pada
ayat-ayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama terdahulu sebelumnya
membantah argumen di atas dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam, (فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ
بِالسُّنَّةِ) hadits ini menunjukkan lebih utamannya orang yang banyak
hafalannya menjadi imam secara mutlak.
[3]. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menunjuk Abu Bakar rodhiyallahu
‘anhu menjadi imam bagi para sahabat untuk menggantikan beliau padahal
Abu Bakar bukanlah sahabat yang paling banyak hafalannya diantara para
sahabat. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas
dengan mengatakan bahwa pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pada
Abu Bakar untuk menggantikan beliau mengimami para sahabat merupakan
isyarat agar beliau menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
menjadi kholifah, dan kholifah lebih utama untuk menjadi imam walaupun
ada orang yang lebih banyak hafalannya.
Penulis Shahih Fiqh Sunnah mengatakan, “Pendapat yang rojih/kuat adalah
pendapat yang mendahulukan orang yang banyak hafalannya menjadi imam
daripada orang yang fakih, akan tetapi dengan syarat orang yang banyak
hafalannya tersebut memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum seputar
sholat. Jika ia bukan orang yang demikian maka orang yang banyak
hafalannya semisal keadaan di atas tidaklah diutamakan menjadi imam
dengan sepakat para ulama’.
Sahabat Nabi saw. yang paling banyak memahami kitab Al-Qur'an adalah
orang yang paling banyak pengetahuannya terhadap fiqih. Karena mereka
membaca ayat Al-Qur'an dan mempelajari hukum-hukumnya. Oleh karena
shalat itu memerlukan keabsahan kepada bacaan Al-Qur'an dan fiqih, maka
orang yang ahli membaca Al-Qur'an dan ahli fiqih harus didahuuan
daripada selainnya.
Jika salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai membaca Al-Qur'an
dan lebih pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada lainnya.
Jika salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam bidang fiqih,
sedang yang lain lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih pandai
fiqih adalah lebih utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut
terjadi sesuatu kejadian yang memerlukan kepada ijtihad.
Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:
Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah
orang yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang
lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan
inilah pendapat yang lebih kuat.
Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang
lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di
masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu
hijrahnya.
Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang
yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia
keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya
adalah lebih utama.
Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua
umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya
di masyarakat, kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini
berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah
bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي وَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ .
"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan
shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan untuk kamu
sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami
kamu sekalian".
Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena orang yang
lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.
Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah umur dalam masuk
agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran, kemudian
masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam
Islam.
Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.
Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang yang berhijrah
dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka.
Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka
sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan
adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung
madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya.
Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya di
masyarakat.
Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan di atas
berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama
menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang
diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw.
bersabda:
لاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلاَ سُلْطَانِهِ وَلاَ يَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki
lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang
laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain,
kecuali dengan izinnya".
Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka
penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih
berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut.
Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah
yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak
tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena
majikan tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si
budak belian.
Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka
si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak
dalam mengatur rumah tersebut.
Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam
masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam.
Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang
shalat dalam masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta
beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau
lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"
Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau
dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah
lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia
adalah pemimpin sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang
dipimpin; sehingga mendahulukan pemimpin adalah lebih utama.
Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim
adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam,
maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan
jika orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam
jumlah rakaat.
Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka
lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan,
sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna.
Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama.
Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih
utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina
menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada
anak zina.
Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka
menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang
tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia
tidak melihat hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat
melihat juga memiliki kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari
najis.
Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama.
Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah
lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak
shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada
hal-hal yang dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak
shalat.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَقُوْلُ:
ثَلاَ ثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ صَلاَةً: مَنْ تَقَدَّمَ قَوْمًا
وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ. وَ رَجُلٌ أَتَى الصَّلاَةَ دِبَارًا، وَ
الدّبَارُ اَنْ يَأْتِيَهَا بَعْدَ اَنْ تَفُوْتَهُ، وَرَجُلٌ اعْتَبَدَ
مُحَرَّرَهُ. ابو داود
Dari Abdullah bin 'Amr ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah
bersabda, "Ada tiga golongan yang Allah tidak mau menerima shalat
mereka, yaitu : Orang yang mengimami suatu kaum sedang mereka (orang
yang diimami tersebut) benci kepadanya, dan seseorang melaksanakan
shalat yang sudah bukan waktunya, yaitu dia melaksanakan shalat setelah
waktu shalat tersebut hilang, dan orang yang menjadikan orang merdeka
sebagai budak". [HR. Abu Dawud Juz I, hal 162]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ
تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُءُوْسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ اَمَّ قَوْمًا
وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ، وَ امْرَأَةٌ بَاتَتْ وَ زَوْجُهَا عَلَيْهَا
سَاخِطٌ، وَ اَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ. ابن ماجه
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Ada tiga golongan
yang tidak terangkat shalat mereka di atas kepala mereka meskipun satu
jengkal (yakni tidak diterima shalat mereka), yaitu : Seseorang yang
mengimami suatu kaum sedang mereka (yang diimami itu) benci kepadanya,
dan seorang isteri yang bermalam sedang suaminya marah kepadanya, dan
dua orang yang saling memutus persaudaraan". [HR. Ibnu Majah juz 1, hal.
311, sanadnya shahih]
قَالَ مَالِكٌ بْنُ حُوَيْرِثٍ، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ
زَارَ قَوْمًا فَلاَ يَؤُمَّهُمْ، وَ لْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ. ابو
داود
Berkata Malik bin Huwairits : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda, "Barangsiapa yang mengunjungi suatu kaum, maka janganlah
mengimami mereka, dan hendaklah mengimami mereka salah seorang dari kaum
itu". [HR. Abu Dawud 1 : 163]
Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa tuan rumah
atau orang yang berkuasa di daerah itu lebih berhak menjadi imam,
kecuali bila mereka mempersilahkan orang lain untuk mengimaminya.
عَنْ اَبِى عَلِيّ اْلمِصْرِيّ قَالَ: سَافَرْنَا مَعَ عُقْبَةَ بْنِ
عَامِرٍ اْلجُهَنِيّ فَحَضَرَتْنَا الصَّلاَةُ فَاَرَدْنَا اَنْ
يَتَقَدَّمَنَا، قَالَ، قُلْنَا: اَنْتَ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ ص
وَ لاَ تَتَقَدَّمُنَا. قَالَ: اِنّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ:
مَنْ اَمَّ قَوْمًا فَاِنْ اَتَمَّ فَلَهُ التَّمَامُ وَ لَهُمُ
التَّمَامُ، وَ اِنْ لَمْ يُتِمَّ فَلَهُمُ التَّمَامُ وَ عَلَيْهِ
اْلاِثْمُ. احمد
Dari Abu 'Ali Al-Mishriy, ia berkata : Kami pernah bepergian bersama
'Uqbah bin 'Amir Al-Juhaniy, kemudian datang waktu shalat, lalu kami
menghendaki salah seorang dari kami untuk maju menjadi imam. (Abu ‘Ali)
berkata : Lalu kami berkata, “Kamu saja (ya ‘Uqbah bin ‘Amir), yang
termasuk shahabat Rasulullah SAW, kenapa tidak mau maju (untuk mengimami
kami)?”. ‘Uqbah bin ‘Amir berkata : Sesungguhnya aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa mengimami suatu kaum, jika ia
menyempurnakan shalat itu (shalat dengan baik), maka kesempurnaan itu
(pahalanya) bagi imam dan bagi mereka (para makmum). Dan jika imam itu
tidak menyempurnakan (shalatnya tidak baik), maka bagi mereka (para
makmum) mendapat (pahala) shalat dengan sempurna, sedang imam tersebut
mendapatkan dosa". [HR. Ahmad juz 4, hal. 154]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ اَمَّ
قَوْمًا فَلْيَتَّقِ اللهَ، وَ لْيَعْلَمْ اَنَّهُ ضَامِنٌ مَسْؤُوْلٌ
لِمَا ضَمِنَ، وَ اِنْ اَحْسَنَ كَانَ لَهُ مِنَ اْلاَجْرِ مِثْلُ اَجْرِ
مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ
شَيْئًا، وَ مَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَهُوَ عَلَيْهِ. الطبرانى فى الاوسط
Dari Abdullah bin 'Umar, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah
bersabda, "Barangisapa mengimami suatu kaum, maka hendaklah takut
kepada Allah dan hendaklah mengetahui bahwa dia sebagai orang yang
bertanggungjawab dan akan ditanya tentang apa yang menjadi
tanggungjawabnya. Jika dia memperbagus (didalam shalatnya), maka dia
mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang shalat dibelakangnya
tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan apa-apa yang berupa
kekurangan (shalatnya tidak baik) maka yang demikian itu menjadi
tanggungjawabnya". [HR. Thabrani dalam Al-Ausath, dlaif, karena di dalam
sanadnya ada Mu’arik bin ‘Ibad]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: يُصَلُّوْنَ لَكُمْ،
فَاِنْ اَصَابُوْا فَلَكُمْ وَ لَهُمْ، وَ اِنْ اَخْطَئُوْا فَلَكُمْ وَ
عَلَيْهِمْ. البخارى
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
"(Imam-imam itu) shalat untuk kamu sekalian. Jika mereka itu benar (di
dalam shalatnya), maka (pahalanya) untuk kalian dan untuk mereka. Dan
jika mereka itu berbuat salah (didalam shalatnya), maka kalian
mendapatkan pahala shalat itu dan mereka mendapatkan dosanya". [HR.
Bukhari juz 1, hal. 170]
Tata Tertib Dalam Shalat Berjama'ah
1. Hal-hal Yang Dilakukan Imam Sebelum Shalat Berjama'ah
Memperingatkan dan mengatur para makmum untuk merapikan shaff
عَنْ اَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: سَوُّوْا
صُفُوْفَكُمْ فَاِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ. مسلم
Dari Anas bin Malik, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Ratakanlah
shaff kalian, karena sesungguhnya meratakan shaff itu termasuk dari
kesempurnaan shalat". [HR. Muslim, juz 1, hal. 324]
عَنْ اَنَسٍ عَنِ النَّبِيّ ص: سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَاِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ اِقَامَةِ الصَّلاَةِ. البخارى
Dari Anas dari Nabi SAW (beliau bersabda), “Ratakanlah shaff kalian,
karena sesungguhnya meratakan shaff itu termasuk dari mendirikan
shalat”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 177]
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص
يَقُوْلُ: لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ اَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ
وُجُوْهِكُمْ. مسلم
Dari An-Nu'man bin Basyir, ia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda, "Sungguh kalian akan meratakan shaff kalian, atau (jika
tidak mau) Allah akan merubah diantara wajah-wajah kalian". [HR. Muslim,
juz 1, hal. 324]
عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَتَخَلَّلُ
الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ اِلىَ نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُوْرَنَا وَ
مَنَاكِبَنَا وَ يَقُوْلُ: لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ،
وَ كَانَ يَقُوْلُ: اِنَّ اللهَ وَ مَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى
الصُّفُوْفِ اْلاَوَّلِ. ابوداود
Dari Al-Bara' bin 'Azib, ia berkata : "Adalah Rasulullah SAW mendatangi
barisan shaff dari sudut ke sudut, beliau meratakan dada-dada kami dan
bahu-bahu kami sambil bersabda, "Janganlah kalian maju mundur, yang
menyebabkan maju mundurnya hati kalian pula”. Dan beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat atas ahli shaff
yang pertama". [HR. Abu Dawud juz 1, hal. 178].
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: اُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَاَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ
اللهِ ص بِوَجْهِهِ فَقَالَ: اَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَ تَرَاصُّوْا
فَاِنّى اَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى. البخارى
Dari Anas, ia berkata : Shalat telah diiqamati, lalu Rasulullah SAW
menghadap kepada kami dengan wajahnya lalu bersabda, “Luruskanlah shaff
kalian dan rapatkanlah, karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari
balik punggungku”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 176]
عَنْ اَبِى مَسْعُوْدٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَمْسَحُ
مَنَاكِبَنَا فِى الصَّلاَةِ وَ يَقُوْلُ: اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا
فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ لِيَلِنِى مِنْكُمْ اُولُو اْلاَحْلاَمِ وَ
النُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
مسلم
Dari Abu Mas'ud, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW meratakan
pundak-pundak kami dikala membetulkan shaff untuk shalat seraya
bersabda, "Luruskanlah shaff, janganlah kamu berselisih (satu maju ke
muka dan yang lain mundur ke belakang) yang menyebabkan berselisih pula
hatimu. Hendaklah dekat kepadaku orang-orang yang mempunyai akal dan
kepandaian diantara kalian, kemudian orang-orang yang dibawahnya,
kemudian orang-orang yang dibawahnya". [HR. Muslim, juz 1, hal. 323]
عَنْ اَنَسٍ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَاِنّى
اَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى، وَ كَانَ اَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ
بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَ قَدَمَهُ بِقَدَمِهِ. البخارى
Dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Luruskanlah shaff kalian
karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”.
(Anas berkata) dan seseorang dari kami menempelkan bahunya dengan bahu
temannya, dan tapak-kakinya dengan tapak kaki temannya. [HR. Bukhari juz
1, hal. 177]
عَنْ سِمَاكٍ قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيْرٍ قَالَ: كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ ص يُسَوّى صُفُوْفَنَا اِذَا قُمْنَا لِلصَّلاَةِ، فَاِذَا
اسْتَوَيْنَا كَبَّرَ. ابو داود
Dari Simak, ia berkata : Saya mendengar Nu’man bin Basyir berkata,
“Dahulu apabila kami akan shalat, Rasulullah SAW meratakan shaff kami,
dan apabila shaff sudah rata, barulah beliau bertakbir”. [HR. Abu Dawud
juz 1, hal. 178]
2. Hal-hal Yang Dilakukan Imam Di Dalam Shalat Berjama'ah
Imam supaya menyaringkan Takbiratul Ihram, agar makmum mengetahui bahwa imam telah memulai shalat.
Menyaringkan/menjahrkan bacaan Al-Fatihah dan surat/ayat Al-Qur'an pada
shalat Maghrib, 'Isyak dan Shubuh, serta shalat-shalat berjama'ah yang
dituntunkan membaca jahr yang lain.
Menyaringkan Takbir-takbir serta bacaan I'tidal, dan Salam sehingga
makmum mengetahui adanya perubahan-perubahan dari rukun ke rukun
lainnya.
Menjaga kesempurnaan shalat tersebut, baik bacaannya yang teratur, tidak
tergesa-gesa, tuma'ninahnya, dan terutama kekhusyu'annya yang merupakan
jiwa dari shalat itu, ini semua mengingat bahwa imam menjadi pemimpin
dan yang bertanggung jawab atas makmumnya.
3. Hal-hal Yang Dilakukan Imam Sesudah Shalat Berjama'ah
Disunahkan bagi imam, setelah selesai shalat untuk menghadap makmum .
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا صَلَّى صَلاَةً اَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ. البخارى
Dari Samurah bin Jundab, ia berkata, "Adalah Nabi SAW apabila selesai
shalat, beliau menghadap kepada kami". [HR. Bukhari juz 1, hal. 205]
عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كُنَّا اِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ
رَسُوْلِ اللهِ ص اَحْبَبْنَا اَنْ نَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِهِ فَيُقْبِلُ
عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ. مسلم و ابو داود، فى نيل الاوطار
Dari Baraa' bin 'Azib, ia berkata, "Apabila kami shalat dibelakang
Rasulullah SAW kami senang berada di bagian kanan beliau. Karena
(setelah selesai shalat) beliau menghadap kepada kami". [HR. Muslim dan
Abu Dawud, dalam Nailul Authar, Juz 2, hal. 348]
Perlu pula mendapat perhatian bahwa hendaknya seorang imam itu mengerti
benar keadaan makmumnya, karena mengingat bahwa mungkin diantara mereka
ada yang telah lanjut usia atau lemah ataupun orang-orang yang mempunyai
keperluan. Maka bila demikian hendaknya imam berlaku bijaksana, yaitu
tidak memanjangkan bacaan atau memilih surat yang panjang-panjang,
tetapi mencukupkan dengan membaca bacaan yang ringan pada setiap
rukunnya tanpa mengurangi ketertiban dan tuma'ninah shalat itu sendiri.
عَن اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اِذَا اَمَّ اَحَدُكُمُ
النَّاسَ فَلْيُخَفّفْ فَاِنَّ فِيْهِمُ الصَّغِيْرَ وَ اْلكَبِيْرَ وَ
الضَّعِيْفَ وَ اْلمَرِيْضَ، فَاِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلّ كَيْفَ
شَآءَ. مسلم
Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Apabila seseorang
dari kamu mengimami orang banyak, hendaklah ia meringankannya karena
diantara mereka ada yang anak kecil, ada yang sudah tua, ada yang lemah,
dan ada pula yang sakit, akan tetapi apabila ia shalat sendirian, maka
bolehlah ia shalat sebagaimana ia suka". [HR. Muslim juz 1, hal. 341]
عَن اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اِذَا صَلَّى
اَحَدُكُمُ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفّفْ فَاِنَّ فِى النَّاسِ الضَّعِيْفَ وَ
السَّقِيْمَ وَ ذَا اْلحَاجَةِ. مسلم
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Apabila
seseorang diantara kalian shalat mengimami orang banyak, hendaklah ia
meringankannya, karena diantara mereka ada yang lemah, ada yang sakit,
dan ada yang mempunyai keperluan". [HR. Muslim juz 1, hal. 341]
Imam tidak boleh mengkhususkan doa baginya, lalu diamini oleh para makmum sekalian
Dasar mengenai hal yang di maksud adalah sebuah hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لا يحل لرجل يؤمن بالله واليوم الاخر أن يؤم قوما الا بأذنهم ولا يختص نفسه بدعوة دونهم فأن فعل فقد خانهم
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk mengimami sekelompok orang tampa izin mereka. Dan janganlah ia
mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri tampa melibatkan orang lain.
Kalau ia melakukan hal itu juga, maka ia telah berkhianat kepada mereka.
Dari hadis diatas dapat di fahami apabila seorang imam berdo’a kepada
Allah maka seorang imam yang berkualitas harus melibatkan jama’ahnya
dalam berdo’a. Artinya harus menggunakan domir jama’ atau plural. Maka
imam pun harus memahami koidah ilmu bahasa arab supaya dapat memahami
mana kalimat untuk sendiri atau kata ganti orang pertama tunggal dan
mana kalimat untuk menunjukkan kata ganti buat jama’ah disekitar imam
sholat.
Diatas sudah dijelaskan definisi imam, dimana imam artinya adalah orang
yang diikuti atau yang dikedepankan dalam satu urusan. Nabi adalah imam
segala imam. Khalifah adalah imam bagi rakyat Islam. Al Qur’an adalah
imam bagi kaum muslimin. Komandan adalah imam bagi tentara. Berarti imam
harus menjadi contoh bagi seluruh makmum disekitarnya. Apalagi dalam
melaksanakan sholat sangat hati-hati melaksanakannya karena akan diikuti
oleh makmum. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya imam itu diangkat
untuk dijadikan sebagai ikutan, maka jangan kalian melakukan yang
berlawanan dengannya.. Bahwa yang dimaksud dengan berlawanan dalam hadis
itu adalah dalam ucapan dan perbuatan. Sebagaimana dijelaskan dalam
riwayat hadis lain :
أنّما جعل الأمام ليؤتم به, فأذا كبّر فكبّروا ولاتكبروا حتى يكبر, وأذا
ركع فاركعوا ولا تركعوا حتى بركع, وأذا قال سمع الله لمن حمده فقولوا :
أللهمّ ربنا لك الحمد, وأذا سجد فاسجدوا ولا تسجدوا حتى يسجد, وأذا صلى
قائما فصلوا قياما, وأذا صلى قاعدا فصلوا قعودا أجمعون
Sesungguhnya imam itu diangkat untuk dijadikan sebagai ikutan. Apabila
imam bertakbir, maka bertakbirlah, dan janganlah kalian bertak bir
sebelum imam bertakbir. Apabila ia telah mulai ruku’, maka ruku’lah, dan
jangan kalian ruku’ sebelum ia ruku’. Apabila ia mengatakan
“sami’allahu liman hamidah”, maka ucapkanlah: “Rabbana lakal hamdu”.
Kalau ia mulai sujud, maka sujudlah, janganlah kalian sujud sebelum ia
sujud. Kalau imam sholat dengan berdiri, maka sholatlah sambil berdiri.
Kalau ia sholat sambil duduk, sholatlah kalian semua sambil duduk juga.
Dari hadis diatas dapat kita fahami bahwa setiap gerakan imam dalam
sholat akan selalu diikuti oleh makmumnya. Maka dengan demikian, sangat
dibutuhkan imam yang berkualitas, yakni imam yang sangat bagus bacaan Al
Qur’annya dan imam yang sangat memahami tata cara sholat, sehingga
gerakan sholatnya sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam hadisnya yang sudah dijelaskan oleh para ulama dalam
bidangnya masing-masing.
Disamping seorang imam shalat memiliki keilmuan dalam bidang Al Qur’an
dan As Sunnah maka juga harus memiliki kemampuan bela diri agar sehat
mental dan jasmaninya.
Kalau kita melihat kembali pada zaman Rasulullah, dimana beliau dan para
sahabatnya memiliki kekuatan fisik, agar supaya mampu menghadapi
musuh-musuh Islam. Kekuatan fisik yang dimiliki oleh Rasul dan para
sahabatnya menjadi modal yang sangat manfaat untuk menyebarkan agama
Islam. Contoh dari Rasul dan para sahabat tersebut juga menjadi
pelajaran penting buat para ulama kita sampai saat ini. Dimana para
ulama kita dahulu mereka sangat menguasai ilmu bela diri. Masih ingatkah
kita dimana para pengusir penjajah adalah para kiyai dan santrinya?
Otomatis mereka mempunyai kemampuan ilmu bela diri.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, disamping para ulama kita mengajarkan
ilmu agama dan juga mereka pun mengajarkan ilmu bela diri (Pencak Silat)
selepas mengaji di Masjid, Surau dan langgar, sehingga para murid atau
santri memiliki keterampilan bela diri untuk membela bangsa dari
cengkraman penjajah, yaitu colonial belanda dan jepang.
Makmum Pada Imam Beda Madzhab
Bahwa persoalan bermakmum kepada orang yang menganut madzhab yang
berbeda memang acapkali mengemukan di kalangan masyarakat bawah.
Perbedaan antara imam dan makmum itu sebenarnya perbedaan dalam
soalfuru`.
Meskipun perbedaan ini menyangkut soal furu` tetapi faktanya menimbulkan
kebingungan tersendiri bagi umat dibawah. Kebingunan ini lahir karena
shalatnya imam dalam keyakinan imam adalah sah, tetapi dalam pandangan
makmum dianggap tidak sah, atau sebaliknya.
Misalnya, imam dalam shalat tidak membaca basmalah, padahal dalam
madzhab syafi’i basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah. Atau
dalam soal wudlu, di mana menurut pendapat madzhab syafi’i, wudlu itu
harus tertib, tetapi imam dalam melakukan wudlu tidak tertib. Menurut
imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat
empat pendapat.
اَلْاِقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ
يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ
الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ
وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا
تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ
الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ
عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:
“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti
orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang
mengikuti madzhab hanafi, atau maliki yang tidak membaca basmalah ketika
membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat
kepada Nabi saw, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan
semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut
keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena
terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-halfuru`. Dalam konteks
ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)
Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Qaffal.
Menurut al-Qaffal bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab adalah sah
secara mutlak. Kesahan ini dilihat dari sudut pandangan imam itu
sendiri.
Artinya, karena imam menyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah,
maka shalat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa
harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.
أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ
“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh
al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat kedua menyatakan tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat
yang dianut oleh Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasan yang dikemukan adalah
jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai syarat atau
kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan
adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak
dianggap melakukannya.
وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ
اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ
وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ
“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu
Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita
syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajbannya maka ia
seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h.
182)
Dari pendapat kedua ini maka lahirlah pendapat ketiga yang menyatakan
bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap oleh madzhab makmum telah
melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah bermakmum kepada
imam tersebut. Namun apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai
syarat bagi kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum, atau makmum
meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.
وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ
صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي
تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ
“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat
kesahan shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan
sesuatu yang kami anggap sebagai kesahan shalat atau kita meragukan
dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Selanjutnya adalah pendapat yang keempat. Pendapat ini menyatakan bahwa
jika imam telah terbukti secara nyata meninggalkan sesuatu yang dianggap
terkait dengan kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum maka tidak
sah bermakmum kepadanya.
Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan seluruh hal yang menjadi
kesahan shalat menurut pendapat madzhabnya makmum atau diragukannya,
maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh Abu
Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli
Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i.
وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ
اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ
وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ
تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ
وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ
“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Abu
Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli
Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab syafi’i). (Pendapat ini
menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu
yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak sah bermakmum
kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua
hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita
meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya merupakan pendapat yang
saling berkaitkelindan. Jadi, empat pendapat tersebut bisa diringkas
jadi dua. Yaitu, pendapat yang menyatakan sah secara mutlak, dan
pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum itu
bisa secara mutlak ketika imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau
disyaratkan dalam shalat menurut madzhabnya makmum. Namun jika,
ternyata imam melakukan apa yang diwajib atau disyaratkan menurut
madzhabnya makmum maka sah bermakmum kepadanya.
Penjelasan ini dapat membantu untuk menjawab pertanyaan mengenai shalat
jumatan dengan orang yang tidak mensyaratkan adanya empat puluh orang
mukim. Karena jumlah empat puluh orang merupakan syarat kesahan shalat
jumat maka shalat jumat anda tentu tidak sah karena tidak terpenuhi
jumlah tersebut. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka
shalat anda sah dan boleh.
Sedang mengenai perbedaan dalam niat antara imam dan makmum sepanjang
yang kami ketahui tidak ada persoalan. Tetapi jika ternyata dalam
pelaksanaan shalat diketahui secara pasti bahwa imam misalnya tidak
membaca basmalah, sedangkan anda mengikuti pendapat yang menyatakan
bahwa basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah maka shalat anda
tidak sah.
Dalam kondisi seperti ini maka sebaiknya anda bermakmum dengan orang
yang sepaham dengan anda, jika tidak ditemukan maka shalat munfarid.
Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah.
Dari penjelasan yang kami kemukakan dapat dipahami bahwa inti
permasalahannya bukan terletak pada apakah imam menganut madzhab yang
berbeda atau tidak. Tetapi apakah imam telah memenuhi apa yang menjadi
syarat-rukun atau kewajiban yang kita yakini atau tidak.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar