Shalat jum’at hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an,
as-Sunnah, dan ijma’ ulama. Adapun dalil dari al-Qur’an adalah firman
Allah Subhanahu wata’ala surah Al Jum'ah ayat 9.
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan kepadamu shalat jum'at,
maka bergegaslah untuk mengingat Allah dan tinggalkan daganganmu.
Segi pendalilan dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah
Subhanahu wata’ala memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang
dituntut oleh perintah adalah perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah
sesuatu diharuskan bergegas selain untuk hal yang wajib. Dalam ayat di
atas, Allah Subhanahu wata’ala juga melarang berjual beli ketika azan
Jum’at telah dikumandangkan agar seseorang tidak tersibukkan dari
Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak wajib, tentu Allah Subhanahu wata’ala
tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158, Ibnu
Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara tegas menunjukkan
wajibnya shalat jum’at, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ الا
أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ
مَرِيْضٌ
Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah,
kecuali atas empat (golongan) yaitu budak sahaya, wanita, anak kecil,
atau orang yang sakit.
Hukum shalat jum'at bagi laki-laki
Maka berdasarkan hadits di atas jelas bahwa hukum shalat jumat bagi laki-laki adalah wajib dengan dilakukan secara berjamaah.
Hukum shalat jum'at bagi wanita
Dari hadits di atas pula, disimpulkan bahwa shalat jum'at tidak
diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita
melaksanakan shalat jum'at bersama imam shalat jum'at maka shalatnya sah
sah saja.
Keutamaan Sholat Jum'at
Sholat Jum’at mempunyai banyak keutamaan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1- Yang menghadiri sholat jum’at dengan memperhatikan adab-adabnya, maka
akan dicatat setiap langkahnya sebagai amalan satu tahun yang mencakup
pahala puasa dan bangun malam. Hal ini berdasarkan hadist Aus bin Aus
ats Tsaqafi bahwasanya dia pernah mendengar Rosulullah saw bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة وغسل وبكر وابتكر ودنا واستمع وأنصت كان له بكل خطوة يخطوها أجر سنة صيامها وقيامها
“ Barang siapa yang mandi hari jum’at dan menyuci ( kepalanya ), lalu
bersegera dan bergegas, dan mendekati imam, dan mendengarkan khutbah
serta diam, maka dia akan mendapatkan pada setiap langkahnya bagaikan
pahala amalan satu tahun, termasuk pahala puasa dan pahala sholat malam.
“ ( Hadist Shohih Riwayat Tirmidzi, Abu Dau, Ibnu Majah, Nasai )
2- Barang siapa yang bersegara datang ke masjid untuk melaksanakan
sholat Jum’at seakan-akan dia telah bersedekah dan berkurban dengan
kurban yang besar. Hal ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah r.a
bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح فكأنما قرب بدنة و من راح في
الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشا
أقرن ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة ومن راح في الساعة
الخامسة فكأنما قرب بيضة فإذا خرج الإمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر
“ Barang siapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian
pergi ( ke masjid ) pada waktu yang pertama, maka seakan-akan dia
berkurban dengan seekor unta. Dan barang siapa yang datang pada waktu
kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor sapi. Dan barang
siapa yang datang pada waktu yang ketiga, maka seakan-akan dia berkurban
dengan seekor domba yang bertanduk. Dan barang siapa yang datang pada
waktu yang keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam.
Dan barang siapa yang datang pada waktu yang kelima, maka seakan-akan
dia berkurban dengan sebutir telur. Maka, jika imam telah keluar,
malaikatpun bergegas untuk mendengarkan khutbah.” ( HR Bukhari dan
Muslim )
3- Orang yang melakukan sholat Jum’at sesuai dengan adab-adabnya, maka
Allah akan mengampuninya selama sepuluh hari. Dalilnya adalah hadist Abu
Hurairah r.a, bahwasanya nabi Muhammad saw :
من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بينه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومن مس الحصى فقد لغا
“ Barang siapa yang berwudhu, lalu melakukannya dengan sebaik-baiknya,
lalu datang untuk melakukan sholat jum’at, kemudian dia mendengar dan
memperhatikan khutbah, niscaya akan diampuni dosa-dosa ( kecil ) yang
dilakukannya antara jum’at itu dan jum’at berikutnya ditambah dengan
tiga hari. Dan barang siapa yang bermain-main dengan kerikil, maka
sia-sialah jum’atnya. “ ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah r.a lainnya, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
الصلوات الخمس ، و الجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر
“ Sholat lima waktu, dan Jum’at yang satu ke Jum’at yang berikutnya
serta satu Romadhan ke Romadhan yang berikutnya dapat menghapus
dosa-dosa kecil, selama dosa-dosa besar dijauhi. “ ( HR Muslim )
Kepada siapa saja sholat Jum’at diwajibkan ?
Jawaban :
Sholat Jum’at wajib bagi setiap muslim, baligh, berakal, laki-laki dan
merdeka. Dalilnya adalah hadist Thariq bin Syihab r.a bahwasanya
Rosulullah saw bersabda :
الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة : عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض
“ Sholat Jum’at itu sesuatu yang wajib bagi setiap muslim secara
berjama’ah kecuali empat golongan : hamba sahaya, wanita, anak kecil dan
orang sakit. “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud )
Hukuman apa yang akan diterima bagi orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at ?
Jawaban :
Orang yang meninggalkan kewajiban sholat Jum’at dengan sengaja tanpa
udzur syar’I, maka akan ditutup hatinya, sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
لينتهين أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين
“ Hendaklah orang-orang yang sering meninggalkan sholat Jum’at segera
menghentikan kebiasaan mereka itu, atau Allah akan mengunci mati hati
mereka sehingga mereka termasuk golongan orang-orang yang lemah “ ( HR
Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan hadits Abu Ja’ad ad-Damuri bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
من ترك الجمعة ثلاث مرات تهاونا بها طبع الله على قلبه
“ Barang siapa meninggalkan Jum’at tiga kali karena meremehkannya, maka
Allah akan mengunci mati hatinya . “ ( Hadist Shohih Riwayat Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai,
Jumlah Jama'ah dalam Sholat Jum'at
Shalat Jum’at wajib dilaksanakan secara berjama’ah. Dalilnya adalah Hadis Nabi;
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي
جَمَاعَةٍ [سنن أبى داود 3/ 265]
Dari Thariq bin Syihab dari Nabi saw beliau bersabda; (Shalat ) Jum’at
adalah haq yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah . (H.R.Abu
Dawud)
Lafadz فِي جَمَاعَةٍ (secara berjama’ah ) Cukup lugas menunjukkan bahwa
diantara syarat sah Shalat Jum’at adalah harus dilaksanakan secara
berjama’ah. Jika Shalat Jum’at dilakukan secara individu, maka Shalat
Jum’at tersebut tidak sah.
Namun, ketika dikatakan berjama’ah , maka hal ini tidak berarti harus
terealisasi jumlah tertentu. Hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang
memerintahkan jumlah tertentu baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
Shahabat maupun Qiyas. Karena itu jumlah berapapun asalkan terealisasi
sifat Jama’ah secara bahasa sudah cukup untuk membuat Shalat Jum’at
dipandang sah. Dengan demikian, peserta Shalat Jum’at berjumlah 100
orang sah, 50 orang sah, 10 orang sah, 5 orang sah dst. Hanya saja
disyaratkan jumlah minimalnya 3 orang, karena hanya dengan jumlah 3
orang saja sebuah kumpulan bisa disebut Jama’ah secara bahasa. Jumlah 2
orang tidak cukup, karena jumlah 2 bukanlah Jama’ah secara bahasa.
Keabsahan Shalat Jama’ah dengan makmum satu orang tidak bisa dijadikan
dalil bahwa Jama’ah itu minimal 2 orang, karena penyebutan Jama’ah
dua orang pada Shalat lima waktu, atau dua orang pada Shalat sunnah
didasarkan pada Nash Hadis, bukan pengertian secara bahasa. Jadi
penyebutan Jama’ah pada kasus Shalat Jama’ah dengan makmum satu orang
pada Shalat 5 waktu atau Shalat sunnah adalah bentuk Takhsish
(pengkhususan) pengertian Jama’ah secara bahasa.
Lafadz Jama’ah dalam Hadis dimaknai secara bahasa, karena tidak ada
makna Syara’ terhadap lafadz Jama’ah yang tepat dipakai dalam konteks
ini , dan tidak ada pula makna istilah (urf). Berdasarkan kaidah Ushul
Fikih, lafadz dalam Nash, jk tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i,
dan tidak bisa dimaknai pula dengan makna Urfi/Isthilahi, maka lafadz
Nash tersebut wajib dimaknai secara bahasa. Oleh karena lafadz Jama’ah
dalam Hadis tersebut tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i atau
Urfi, maka Hadis tersebut harus dimaknai dengan makna Jama’ah secara
bahasa. Makna Jama’ah secara bahasa adalah jumlah 3 ke atas. Dengan
demikian, Shalat Jum’at wajib ditunaikan secara Jama’ah dengan jumlah
minimal peserta 3 ke atas.
Adapun riwayat yang menyatakan jumlah tertentu, yaitu 40 orang agar
Shalat Jum’at dipandang sah, misalnya riwayat yang berbunyi;
عن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كُنْتُ قَائِدَ
أَبِى حِينَ كُفَّ بَصَرُهُ فَإِذَا خَرَجْتُ بِهِ إِلَى الْجُمُعَةِ
فَسَمِعَ الأَذَانَ بِهَا اسْتَغْفَرَ لأَبِى أُمَامَةَ أَسْعَدَ بْنِ
زُرَارَةَ. فَمَكَثْتُ حِينًا أَسْمَعُ ذَلِكَ مِنْهُ فَقُلْتُ : إِنَّ
عَجْزًا أَنْ لاَ أَسْأَلَهُ عَنْ هَذَا فَخَرَجْتُ بِهِ كَمَا كُنْتُ
أَخْرُجُ فَلَمَّا سَمِعَ الأَذَانَ بِالْجُمُعَةِ اسْتَغْفَرَ لَهُ
فَقُلْتُ : يَا أَبَتَاهُ أَرَأَيْتَ اسْتِغْفَارَكَ لأَسَعْدَ بْنِ
زُرَارَةَ كُلَّمَا سَمِعْتَ الأَذَانَ بِالْجُمُعَةِ قَالَ : أَىْ بُنَىَّ
كَانَ أَسْعَدُ أَوَّلَ مَنْ جَمَّعَ بِنَا بِالْمَدِينَةِ قَبْلَ
مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى هَزْمٍ مِنْ حَرَّةِ
بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ الْخَضَمَاتُ قُلْتُ : وَكَمْ
أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ : أَرْبَعُونَ رَجُلاً . [السنن الكبرى للبيهقي
وفي ذيله الجوهر النقي 3/ 176]
Dari Abdurrahman Bin Ka’b Bin Malik beliau berkata; aku adalah penuntun
jalan ayahku pada saat beliau menjadi buta. Jika aku membawa beliau
untuk Shalat Jum’at lalu beliau mendengar Adzan maka beliau memintakan
ampun untuk Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Maka selama beberapa saat aku
mendengar hal itu dari beliau, kemudian aku bergumam; sesungguhnya
sebuah kelemahan jika aku tidak menanyakan hal ini kepada beliau. Maka
aku keluar membawa beliau sebagaimana biasanya. Tatkala beliau mendengar
Adzan Jum’at beliau memintakan ampun untuknya. Maka aku bertanya; Wahai
ayah, kenapa engkau beristighfar untuk As’ad bin Zurarah setiap kali
engkau mendengar Adzan Jum’at? Beliau menjawab; wahai putraku, As’ad
adalah orang yang pertama kali menyelenggarakan Shalat Jum’at bersama
kami sebelum kedatangn Rasulullah SAW pada sebuah tanah rendah dari
tanah tak berpasir milik Bani Bayadhoh di kawasan tempat berair yang
bernama Al- Khodhomat. Aku bertanya; berapa jumlah kalian waktu itu?
Beliau menjawab; empat puluh lelaki.
Maka jumlah 40 yang disebutkan dalah riwayat di atas tidak lebih merupakan;
وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)
Jumlah 40 orang itu tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan
keabsahan Shalat Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang
menunjukkan bahwa jumlah 40 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi
syarat jumlah minimal. Hal ini sama saja dengan misalnya riwayat
Rasulullah SAW Shalat Dhuhur secara berjamaah dengan Makmum sebanyak
30, lalu shalat Ashar dengan makmum 20, lalu Shalat Maghrib dengan
Makmum 50. Kita tidak bisa mengatakan bahwa syarat sah Jama’ah Dhuhur
jumlah minimal makmumnya 30, Ashar 20, dan Maghrib, 50 orang. Semua itu
adalah peristiwa tertentu yang bersifat kebetulan yang tidak dimaksudkan
sebagai syarat pengikat keabsahan sebuah ibadah. Jika jumlah orang
dijadikan syarat keabsahan sebuah hukum syara, maka hal itu harus
dinyatakan dalil dalam bentuk syarat, bukan kejadian yag bersifat
kebetulan. Misalnya syarat saksi zina minimal 4 orang, syarat saksi
melihat hilal minimal 1 orang, syarat saksi nikah minimal 2 orang
dst…semua jumlah dalam saksi ini dinyatakan dengan jelas dalam Nash
dalam bentuk syarat yang mengikat, bukan kejadian yang diriwayatkan
secara kebetulan.
Adapun hadis Jabir yang berbunyi
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (3/ 177)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ
إِمَامًا ، وَفِى كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةٌ وَفِطْرٌ
وَأَضْحًى
“Dari Jabir beliau berkata; Telah berlaku Sunnah bahwa setiap tiga
(orang diangkat) seorang Imam, dan setiap empat puluh (orang) ke atas
(dilaksanakan) shalat Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adha”
Maka hadis ini Dhoif (lemah) karena ada seorang perawi yang bernama
Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman Al-Qurosyi. Al-Baihaqy mengatakan bahwa
hadis seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah.
Lagipula, riwayat yang menyebutkan jumlah 40 itu terjadi sebelum Shalat
Juma’t diwajibkan. Karena Shalat Jum’at baru diwajibkan setelah
turunnya Surat Jumu’ah. Oleh karena riwayat yang menyebut 40 orang
tersebut terjadi sebelum diwajibkannya Shalat Jum’at, maka riwayat
tersebut tidak bisa dijadikan dasar mewajibkan jumlah tertentu untuk
menentukan keabsahan Shalat Juma’t. Tidak boleh menjadikan sesuatu yang
tidak wajib sebagai dasar kewajiban yang wajib, karena hukum baru
selalu menasakh (menghapus) semua hukum lama.
Termasuk pula riwayat yang dijadikan dalil bahwa peserta Shalat Jum’at minimal 12 orang seperti riwayat berikut;
صحيح مسلم (4/ 352)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ إِذْ قَدِمَتْ عِيرٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَابْتَدَرَهَا
أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ
يَبْقَ مَعَهُ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
{ وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba
datanglah suatu Kafilah dagang ke Madinah, maka para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bergegas mendatanginya hingga tidak tersisa
lagi orang yang bersamanya kecuali dua belas orang. Di antara mereka
ada Abu Bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini: “Dan apabila mereka
melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya.,.” (H.R.Muslim)
jumlah 12 yang disebutkan dalam riwayat di atas juga tidak lebih;
وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)
sehingga tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat
Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa
jumlah 12 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi syarat jumlah
minimal.
Jadi, tidak ada ketentuan jumlah tertentu yang menjadi syarat keabsahan
shalat Jumat. Syarat yang jelas berdasarkan dalil terkait jumlah
hanyalah syarat berjamaah, dan secara bahasa syarat tersebut terealisasi
dengan jumlah minimal tiga orang. Namun pendapat jumlah minimal harus
40 orang adalah pendapat yang Islami, yang dikemukakan Mujtahid-Mujtahid
berkelas seperti Assyafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya. Demikian
pula pendapat minimal 12 orang seperti yang dianut madzhab Maliki.
Karena itu sah secara Syar’i jika ada diantara kaum muslimin mengambil
pendapat ini dalam kapasitasnya sebagai salah satu Ijtihad yang Syar’i.
Wallohu A'lam
Bagaimana bila hari ied (Idul Fitri dan Idul Adha) jatuh atau bertepatan dengan hari Jumat? Apakah shalat jumatnya bisa gugur?
Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama:
Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah
menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil
dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci
pintu hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Ancaman
keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ
أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan
berjama’ah kecuali empat golongan: (1) budak, (2) wanita, (3) anak
kecil, dan (4) orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq
bin Syihab. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih)
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang
sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu
wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu
dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah
melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang
nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ
ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ
فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ
الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ
أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan
hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum
khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia.
Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari
‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu
shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka
silakan dan telah kuizinkan.” (HR. Bukhari no. 5572)
Pendapat Kedua:
Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘ied boleh tidak menghadiri
shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan
shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat
Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut
hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini
terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan
Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata,
“Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid
bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ
اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى
الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu
dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian
Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau
melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan
shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.” (HR. Abu Daud
no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Asy Syaukani dalam As-Sailul Jaror (1: 304) mengatakan bahwa hadits ini
memiliki syahid (riwayat penguat). Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (4: 492)
mengatakan bahwa sanad hadits inijayyid (antara shahih dan hasan, pen.).
‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373)
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan,
pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
Intinya, hadits di atas bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari seorang tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabbah, ia berkata,
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ
أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ
إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ
فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
“Ibnu Az-Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah
shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu
shalat Jum’at Ibnu Az-Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat
sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu ‘Abbas
tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas.
Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan ajaran
Nabi (ashobas sunnah).” (HR. Abu Daud no. 1071. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika sahabat mengatakan ashobas
sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al-Khattab melakukan seperti apa yang
dilakukan oleh Ibnu Az-Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan
perbuatan Ibnu Az-Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah
mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh
tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat
lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini. (Lihat Shahih Fiqh
As-Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1: 596, Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kesimpulan Jika Ied Jatuh Pada Hari Jum'at
– Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak
menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari
para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi
pendapat ini.
– Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan
shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’
(perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti
ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan
perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
– Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak
shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui
(yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu
memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun
siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu
pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil
keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang
melakukan hal yang sama.
– Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya
orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied
bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca
surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at
pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ
وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ
حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى
يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa membaca dalam dua ‘ied
dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka
haditsul ghosiyah”.” An-Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika
hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat
tersebut di masing-masing shalat. (HR. Muslim no. 878)
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al-A’laa dan
Al-Ghasiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di
masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
– Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri
shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur
sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut
menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai
gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).
- Azan hendaklah dikumandangan di masjid-masjid yang diadakan shalat
Jumat saja, tidak disyariatkan bagi yang melaksanakan shalat Zhuhur.
- Pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jumat dan shalat Zhuhur gugur
bagi yang telah menghadiri shalat ied adalah pendapat yang tidak benar.
Pendapat ini adalah pendapat yang nyleneh atau aneh (gharib) karena
menyelisihi tuntunan, juga menggugurkan kewajiban tanpa dalil. Masa
jadinya, shalat dalam sehari jadi empat waktu? Intinya, shalat Zhuhur
tetap ada bagi yang tidak menghadiri shalat Jumat ketika paginya telah
menghadiri shalat ied.
Wallohu A'lam
Hukum Vareasi Dalam Bacaan Al-Qur'an
Sejak masa diturunkan Al-Qur’an variasi bacaan sudah ada bahkan
Rasulullah sendiri menyatakan hal itu. Namun demikian bukan berarti umat
Islam boleh membaca seenaknya sesuai dialek dan kemauan mereka. Variasi
bacaan tersebut telah ditetapkan sejak masa Rasulullah saw sehingga
umat Islam mendapatkan keleluasaan dalam memahami teks Al-Qur’an dengan
tetap memperhatikan bacaan yang sudah di akui kebenarannya oleh
Rasulullah saw sendiri. ukan merupakan rekayasa dan ciptaan para imam.
Hal ini dapat kita lihat dalam riwayat berikut ini :
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ
فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي
لَا تُطِيقُ ذَلِكَ - ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ
أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا
تُطِيقُ ذَلِكَ - ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ
فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي
لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا (رواه مسلم : 1357
–صحيح مسلم –- بَاب بَيَانِ أَنَّ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
وَبَيَانِ مَعْنَاهُ - الجزء :4 – صفحة : 257 )
Ubay bin Ka’b, bahwa Nabi saw bersabda : Jibril datang kepadanya seraya
berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan satu huruf. Nabi bersabda : Saya minta ma’af dan ampunan
kepada Allah, sesungghnya umatku tidak mampu untuk itu. Jibril datang
untuk kedua kalinya seraya berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu
membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf. Nabi bersabda :
Saya minta ma’af dan ampunan kepada Allah, sesungghnya umatku tidak
mampu untuk itu. Jibril datang untuk ketiga kalinya seraya berkata :
Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan
tiga huruf. Nabi bersabda : Saya minta ma’af dan ampunan kepada Allah,
sesungghnya umatku tidak mampu untuk itu. Jibril datang untuk keempat
kalinya seraya berkata : Sesungghnya Allah menyuruhmu membacakan
Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf yang manapun
mereka membacanya maka sungguh bacaan itu benar. (HR.Muslim : 1357,
Shahih Muslim, Bab Bayani Annal-Qur’an ‘alaa sab’ah ahruf wa bayaani
ma’naah, juz 4, hal. 257)
Tidak mengapa mengkombinasikan berbagai variasi bacaan/Qiro’at Al-Qur’an
yang Mutawatir pada saat Tilawah, tanpa membedakan apakah Tilawah
tersebut di dalam Shalat ataukah diluar Shalat, dalam satu Rokaat
ataukah dalam dua Rokaat asalkan kombinasi variasi Qiro’at tersebut
dibaca dalam kapasitas Tilawah, bukan riwayat Qiro’at. Namun, jika
kombinasi variasi Qiro’at tersebut membuat makna menjadi rusak, atau
membuat adanya penambahan lafadz Al-Qur’an, maka yang demikian
terlarang.
Al-Qur’an turun dalam tujuh huruf. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (15/ 391)
عنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ
أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah
bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan
kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jibril telah membacakan padaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali
kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga
berakhirlah dengan Tujuh huruf yang berbeda).” (H.R. Bukhari)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan Al-Qur’an kepada
para shahabat dengan tujuh huruf itu untuk memudahkan mereka dalam
membaca, karena para shahabat terdiri dari berbagai macam kabilah yang
mana dialek satu kabilah kadang berbeda dengan dialek kabilah yang lain.
Dengan adanya aktivitas penyebaran Al-Qur’an, periwayatan dan seleksi
terhadap riwayat-riwayat bacaan Al-Qur’an maka para ulama merumuskan
bahwa Qiro’at Al-Qur’an yang Mutawatir (yang tercakup dalam kandungan
maka hadis bahwa Al-Qur’an turun dalam tujuh huruf) jumlahnya ada
sepuluh yaitu Qiro’at Imam Nafi’ (wafat 169 H), Ibnu Katsir (wafat 120
H), Abu ‘Amr (wafat 154 H), Ibnu ‘Amir (wafat 118 H), ‘Ashim (wafat 127
H), Hamzah (wafat 156 H), Al-Kisa’I (wafat 189 H), Abu Ja’far (wafat 130
H), Ya’qub Al-Hadhromy (wafat 205 H), dan Kholaf Al-Bazzar (wafat 229
H). Tujuh Qiro’at Imam yang pertama yaitu Qiro’at Imam Nafi’, Ibnu
Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir , ‘Ashim, Hamzah, dan Al-Kisa’I disebut
dengan istilah Qiro’at Sab’ah/ اْلقِرَاآتُ السَّبْعَةُ (Qiro’at yang
tujuh) sementara Qiro’at tujuh Imam ini ditambah tiga Imam sisanya yaitu
Abu Ja’far, Ya’qub Al-hadhromy dan Kholaf Al-Bazzar disebut dengan
istilah Qiro’at ‘Asyroh/ اْلقِرَاآتُ اْلعَشْرُ (Qiro’at yang sepuluh).
Sepuluh macam Qiro’at ini boleh dibaca berdasarkan Qiro’at masing-masing
Imam maupun dikombinasikan antara satu Qiro’at dengan Qiro’at yang
lainnya.
Dalil yang menunjukkan bolehnya mengkombinasikan Qiro’at adalah hadis berikut ini:
صحيح مسلم (4/ 257)
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ
عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ
أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ
الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ
الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ
مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ
جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ
أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا
عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا
Dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada
di sungai kecil Bani Ghifar. Kemudian beliau didatangi Jibril ‘Alaihis
salam seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk
membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan).”
Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” kemudian Jibril
datang untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan dua
huruf.” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Lalu Jibril
mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tiga
huruf.” Beliau bersabda “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Kemudian Jibril
datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh
huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka
bacaan mereka benar.” (H.R. Muslim)
Ucapan malaikat jibril yang disampaikan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى
سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada
umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan
untuk membaca, maka bacaan mereka benar.”
Ucapan tersebut menunjukkan yang jadi standar kebolehan membaca Qiro’at
Al-Qur’an adalah pembuktian bahwa bacaan Qiro’at tersebut termasuk tujuh
huruf. Selama bisa dibuktikan bahwa suatu Qiro’at memang benar
didapatkan dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berarti
Qiro’at tersebut termasuk tujuh huruf yang diajarkan Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Jika suatu Qiro’at telah terbukti termasuk
tujuh huruf maka membacanyapun bisa dibenarkan. Tidak ada syarat dalam
Nash bahwa Qiro’at yang dibaca haruslah yang diriwayatkan satu jalur
saja. Penegasan bahwa huruf manapun yang dipakai untuk membaca bisa
dibenarkan menunjukkan bahwa mengkombinasikan bacaan Qiro’at termasuk
bisa dibenarkan karena bermakna membaca Al-Qur’an dengan huruf-huruf
yang diturunkan Allah.
Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (15/ 459)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ
حَدِيثِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ
الْقَارِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ
فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ
كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى
سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي
سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ
السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ
تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا
هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ
ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا
أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنْهُ
Dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair
dari hadits Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari`
bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, Pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin
Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan
bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara
bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka aku pun ingin
segera menyergapnya di dalam Shalat, namun aku menunggunya hingga
selesai salam kemudian memukul bagian atas dadanya seraya bertanya,
“Siapa yang membacakan surat ini padamu?” Ia menjawab, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan
padanya, “Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah membacakan surat -yang telah aku
dengar ini darimu- padaku.” Maka aku pun segera membawanya menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar orang ini membaca surat Al
Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan
sungguh, Anda telah membacakan surat Al Furqan padaku.” Akhirnya beliau
bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya
bacaan yang telah aku dengan sebelumnya. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Seperti inilah surat itu diturunkan.”
Kemudian beliau bersabda lagi: “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun
membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau
bersabda: “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: “Al Qur`an diturunkan dengan
tujuh huruf, karena itu bacalah mana yang mudah darinya.”(H.R.
Bukhari)
Sabda Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
bacalah mana yang mudah darinya.”
Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut lebih jelas
lagi bahwa yang jadi standar adalah Qiro’at yang mudah bagi seorang
Mukallaf. Jadi, selama suatu Qiro’at telah bisa dibuktikan bahwa memang
Qiro’at tersebut diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(tanpa memperdulikan Imam siapapun yang mengajarkannya) maka itu semua
adalah Al-Qur’an dan seorang Mukallaf boleh memilih membaca dengan
mencukupkan diri pada Qiro’at satu Imam, atau mengkombinasikan varisi
bacaan berbagai Imam. Semuanya boleh karena tetap merealisasikan
perintah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca Al-Qur’an
dengan Qiro’at yang dipandang mudah bagi Mukallaf.
Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas yang
memerintahkan agar terikat dengan Qiro’at salah satu Imam. Sudah
diketahui bahwa di zaman Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
tidak ada istilah Qiro’at Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr,
dll..istilah-istilah tersebut muncul sebagai hasil proses perkembangan
dan kematangan ilmu-ilmu islam yang muncul untuk menjaga, memerinci,
mengklasifikasi, mensistematisasi, dan memperdalam ajaran islam yang
terpancar dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Di zaman Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk membaca Al-Qur’an hanya satu yang
dibuktikan: Qiro’at tersebut diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ , sebagaimana tampak pada peristiwa perselisihan antara Umar
bin Al-Khatthab dan Hisyam bin Hakim bin Hizam, baik pembuktian itu
dengan mengkonfirmasi langsung pada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ maupun dengan kepercayaan terhadap shahabat-shahabat besar
yang mengajarkannya.
Sejarah para Imam Qiro’at dalam mempelajari ilmu Qiro’at dan
mengajarkannya juga menunjukkan bahwa standar mereka dalam menerima
Qiro’at dan membacanya adalah pembuktian bahwa Qiro’at tersebut memang
berasal dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Setelah belajar
pada puluhan guru, maka mereka menyimpulkan bacaan Qiro’at yang
dipandang paling kuat riwayatnya kemudian baru diajarkan tanpa pernah
ada fikiran terikat dengan Qiro’at guru tertentu. Riwayat belajat Imam
Nafi’ misalnya menunjukkan hal tersebut. Adz-Dzahabi menulis;
سير أعلام النبلاء (7/ 337)
وَرَوَى: إِسْحَاقُ المُسَيِّبِيُّ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: أَدْرَكْتُ
عِدَّةً مِنَ التَّابِعِيْنَ، فَنَظَرْتُ إِلَى مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ
اثْنَانِ مِنْهُم، فَأَخَذتُهُ، وَمَا شَذَّ فِيْهِ وَاحِدٌ تَرَكتُهُ،
حَتَّى أَلَّفْتُ هَذِهِ القِرَاءةَ.
“Ishaq Al-Musayyiby meriwayatkan dari Nafi’ beliau berkata: Aku sempat
bertemu (untuk belajar Qiro’at) dengan sejumlah Tabi’in. Maka aku
melihat Qiro’at yang disepakati oleh dua orang diantara mereka, lalu aku
mengambilnya. Yang hanya diriwayatkan satu orang maka aku tinggalkan.
Hingga aku menetapkan Qiro’at (yang aku ajarkan) ini” (Siyari A’lami
An-Nubala’, vol 7 hlm 337)
Konon Imam Nafi’ belajar pada sekitar 70 Tabi’in. Tidak semua Qiro’at
gurunya diambil. Penuturan beliau sendiri, Qiro’at yang beliau ambil
adalah Qiro’at yang disepakati dua guru. Yang hanya diriwayatkan satu
guru tidak diambil. Dengan model seleksi seperi inilah Imam Nafi’
menetapkan bacaannya yang kemudian terkenal dengan nama Qiro’at Imam
Nafi’.
Kebolehan mengkombinasi variasi-variasi Qiro’at ini tidak membedakan
apakah dilakukan di dalam Shalat maupun di luar Shalat, juga tidak
membedakan apakah dilakukan dalam satu Rokaat ataukah dua Rokaat. Hal
itu dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan kondisi
antara di dalam Shalat ataukah di luar Shalat dan dalam satu Rokaat
ataukah dalam dua Rokaat. Karena itu, ketentuannya kembali ke hukum
asal, yakni keumuman bolehnya membaca Al-Qur’an dalam tujuh huruf
manapun yang dipandang paling mudah bagi Mukallaf.
Ibnu Taimiyah berkata;
الفتاوى الكبرى (2/ 186)
يَجُوزُ أَنْ يَقْرَأَ بَعْضَ الْقُرْآنِ بِحَرْفِ أَبِي عَمْرٍو،
وَبَعْضَهُ بِحَرْفِ نَافِعٍ، وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي رَكْعَةٍ أَوْ
رَكْعَتَيْنِ، وَسَوَاءٌ كَانَ خَارِجَ الصَّلَاةِ أَوْ دَاخِلَهَا
“boleh membaca sebagian Al-Qur’an dengan huruf (Qiro’at) Abu ‘Amr
sementara sebagian yang lainnya dengan huruf (Qiro’at) Nafi’. Tidak
dibedakan apakah hal tersebut dilakukan dalam satu Rokaat ataukah dua
Rokaat, dan juga tidak dibedakan apakah dilakukan di luar Shalat ataukah
di dalamnya ” (Al-Fatawa Al-Kubro, vol 2 hlm 186)
Ibnu Al-‘Aroby juga berkata dalam kitabnya Ahkamu Al-Qur’an;
أحكام القرآن لابن العربي (4/ 477)
إذَا ثَبَتَتْ الْقِرَاءَاتُ ، وَتَقَيَّدَتْ الْحُرُوفُ فَلَيْسَ
يَلْزَمُ أَحَدًا أَنْ يَقْرَأَ بِقِرَاءَةِ شَخْصٍ وَاحِدٍ ، كَنَافِعٍ
مِثْلًا ، أَوْ عَاصِمٍ ؛ بَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْرَأَ الْفَاتِحَةَ
فَيَتْلُو حُرُوفَهَا عَلَى ثَلَاثِ قِرَاءَاتٍ مُخْتَلِفَاتٍ ؛ لِأَنَّ
الْكُلَّ قُرْآنٌ
Jika Qiro’at-Qiro’at telah terbukti (dari Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) dan (variasi-variasi) hurufnya telah terkontrol,
maka tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk membaca hanya dengan
Qiro’at satu orang (Imam) saja, misalnya Nafi’ atau ‘Ashim. Bahkan boleh
membaca Al-Fatihah lalu membaca huruf-hurufnya dengan tiga macam
Qiro’at yang berbeda, karena semuanya adalah Al-Qur’an” (Ahkamu
Al-Qur’an, vol 4 hlm 477)
Hanya saja, kebolehan mengkombinasikan berbagai variasi Qiro’at tersebut
diikat syarat dalam kapasitas Tilawah, bukan riwayat. Jika pembacaan
Qiro’at kombinasi tersebut dilakukan dalam kapasitas riwayat
(meriwayatkan bacaan Qiro’at) maka hal tersebut hukumnya haram, karena
termasuk dusta, yakni menisbatkan bacaan Qiro’at yang tidak pernah
dimiliki Imam tertentu.
Namun, jika kombinasi Qiro’at tersebut merusak makna, maka hal tersebut
hukumnya haram karena Al-Qur’an telah turun dengan makna yang sempurna.
Jika kombinasi bacaan Al-Qur’an ternyata mengubah makna, maka bacaan
tersebut tidak bisa disebut Al-Qur’an dan tidak bisa dikatakan bacaan
yang bersifat Tauqifi. Sebagai contoh misalnya bacaan dalam ayat surat
Al-Baqoroh berikut ini;
{فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ} [البقرة: 37]
“maka Adam menerima dari Robbnya kalimat-kalimat” (Al-Baqoroh; 37)
Ayat dalam surat Al-baqoroh di atas, menurut Qiro’at ‘Ashim dibaca
dengan merofa’kan lafadz Adam/ آدَم (mendhommahkan huruf terakhirnya)
dan menashobkan lafadz Kalimat/ كَلِمَات(mengkasrotainkan huruf
terakhirnya) . Namun, menurut Qiro’at Ibnu Katsir, ayat di atas dibaca
dengan menashobkan lafadz Adam/ آدَم (memfathahkan huruf terakhirnya)
dan merofa’kan lafadz Kalimat/ كَلِمَات (mendhommatainkan huruf
terakhirnya) sehingga menjadi dibaca;
{فَتَلَقَّى آدَمَ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٌ} [البقرة: 37]
“maka kalimat-kalimat dari Robbnya mendapati Adam” (Al-Baqoroh; 37)
Jika variasi bacaan-bacaan ini dikombinasikan, dengan cara lafadz Adam/
آدَم dibaca dengan Rofa’ dan lafadz Kalimat/ كَلِمَات juga dibaca
dengan Rofa’ sehingga ayatnya menjadi berbunyi;
{فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٌ} [البقرة: 37]
Atau dikombinasikan dengan cara lafadz Adam/ آدَم dibaca dengan Nashob
dan lafadz Kalimat/ كَلِمَات juga dibaca dengan Nashob sehingga ayatnya
menjadi berbunyi;
{فَتَلَقَّى آدَمَ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ} [البقرة: 37]
Maka kombinasi seperti ini menjadi terlarang karena jelas merusak makna.
Bahasa Arab tidak bisa mentoleransi I’rob seperti itu karena bermakna
menjadikan dua lafadz sama-sama sebagai Fa’il (pelaku) atau Maf’ul bih
(obyek penderita).
Termasuk juga terlarang jika kombinasi tersebut membuat adanya
penambahan lafadz Al-Qur’an. Misalnya ayat dalam surat Al-Fatihah
berikut ini;
{مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة: 4]
“yang menguasai hari pembalasan” (Al-Fatihah; 4)
Lafadz malik/ مَالِكِ menurut Qiro’at ‘Ashim, Al-Kisai, Ya’qub
Al-Hadhromy dan Kholaf Al-Bazzar dibaca dengan memunculkan Alif (ada
Maddnya), namun Qiro’at Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah
dan Abu Ja’far membaca dengan membuang Alif sehingga menjadi;
{مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة: 4]
Jika dua Qiro’at ini dikombinasikan dengan membaca dua-duanya dalam satu ayat, misalnya membaca;
{مَالِكِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الفاتحة: 4]
Maka cara kombinasi seperti ini terlarang karena bermakna menambahi
lafadz Al-Qur’an sehingga tidak bisa disebut Al-Qur’an. Dikecualikan
jika pembacaan tersebut untuk maksud mengajar atau belajar, bukan
Tilawah. Jika dimaksudkan untuk mengajar atau menghafal dalam konteks
belajar, maka hal tersebut boleh sebagai salah satu uslub/teknik
mengefektifkan aktivitas belajar- mengajar.
Ibnu Al-Jazary berkata dalam kitabnya An-Nasyr Fi Al-Qiro’at Al-‘Asyr;
النشر في القراءات العشر (1/ 30)
إن كانت إحدى القراءتين مترتبة على الأخرى فالمنع من ذلك منع تحريم كمن
يقرأ ( فتلقى آدم من ربه كلمات ) بالرفع فيهما أو بالنصب آخذا رفع آدم من
قراءة غير ابن كثير ورفع كلمات من قراءة ابن كثير ونحو ( وكفلها زكريا )
بالتشديد مع الرفع أو عكس ذلك ونحو ( أخذ ميثاقكم ) وشبهه مما يركب بما لا
تجيزه العربية ولا يصح في اللغة ، وأما ما لم يكن كذلك فإنا نفرق فيه بين
مقام الرواية وغيرها ، فإن قرأ بذلك على سبيل الرواية فإنه لا يجوز أيضاً
من حيث إنه كذب في الرواية وتخليط على أهل الدراية ، وإن لم يكن على سبيل
النقل بل على سبيل القراءة والتلاوة فإنه جائز صحيح وقبول لا منع منه ولا
حظر وإن كنا نعيبه على أئمة القراءات العارفين باختلاف الروايات من وجه
تساوي العلماء بالعوام لا من وجه أن ذلك مكروه أو حرام ، إذ كل من عند الله
نزل به الروح الأمين على قلب سيد المرسلين تخفيفا عن الأمة ، وتهوينا على
أهل هذه الملة ، فلو أوجبنا عليهم قراءة كل رواية على حدة لشق عليهم تمييز
القراءة الواحدة وانعكس المقصود من التخفيف وعاد بالسهولة إلى التكليف
(dalam mengkombinasikan Qiro’at) Jika salah satu Qiro’at berefek bagi
Qiro’at yang lain (mengubah makna), maka larangan terhadap Qiro’at
demikian adalah larangan yang bersifat haram sebagaimana orang yang
membaca ayat فتلقى آدم من ربه كلماتdengan merofa’kan lafadz آدم dan
كلمات atau menashobkan keduanya,dengan mendasarkan Qiro’at yang
merofa’kan lafadz آدم dari (Imam-Imam Qiro’at) selain Ibnu Katsir
sementara merofa’kan lafadz كلماتdengan mengambil Qiro’at Ibnu Katsir.
Juga seperti ayat وكفلها زكريا dengan mentasydidkan (huruf Fa’) disertai
(I’rob) Rofa’ atau sebaliknya. Juga seperti ayat أخذ ميثاقكم dan
semisalnya, yakni dengan kombinasi yang tidak bisa dibenarkan oleh
bahasa Arab, dan tidak benar secara bahasa. Jika (kombinasinya) tidak
demikian, maka kami membedakan antara konteks riwayat dan selainnya.
Jika membaca (kombinasi) tersebut dalam konteks meriwayatkan (Qiro’at)
maka hal itu juga tidak boleh karena hal tersebut termasuk kedustaan dan
mengacaukan orang yang memahami ilmu ini. Jika membaca (kombinasi)
tersebut dalam konteks Tilawah maka hal itu boleh, sah dan diterima
tidak ada yang melarang. Meskipun kami memandang tidak baik jika hal itu
dilakukan Imam-Imam Qiro’at yang mengetahui perbedaan-perbedaan
riwayat. Kritikan ini dari segi kesamaan para Imam tersebut dengan orang
awam, bukan dari segi bahwa hal tersebut makruh atau haram. Karena
semuanya berasal dari Allah yang diturunkan malaikat Jibril kepada hati
Sayyidil Mursalin (Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) untuk
meringankan umatnya dan memudahkan pemeluk Millah ini. Jika kami
mewajibkan kepada mereka membaca Qiro’at setiap riwayat secara
tersendiri, maka aktivitas membedakan Qiro’at tersebut akan
menyusahkan mereka. Dengan demikian terjungkirlah maksud meringankan,
dan yang mudah kembali menjadi susah” (An-Nasyr Fi Al-Qiro’at Al-‘Asyr,
vol.1 hlm 30)
Fathy Al- ‘Abidy telah membahas masalah ini secara lebih mendalam dalam
karyanya yang hampir mencapai 500 halaman dan menjadi disertasi gelar
doktoral beliau dengan judul الْجَمْعُ بِالْقِرَاءَاتِ الْمُتَوَاتِرَةِ
.
Pembacaan Dhomir dalam surat Al-Fath ayat 10
{إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ
اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى
نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا } [الفتح: 10]
Dhomir Huwa/هُوَ dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan harokat
Dhommah sebagaimana juga boleh dibaca dengan Harokat Kasroh. Dua-duanya
adalah bacaan yang benar baik secara Ilmu Qiroat maupun ilmu bahasa
Arab.
Ayat yang disebutkan dalam lafadz lengkapnya adalah sebagai berikut;
{إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ
اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى
نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا } [الفتح: 10]
Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah . tangan Allah di atas tangan mereka ,
Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya
kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Al-Fath;10)
Lafadz عَلَيْه dalam ayat tersebut boleh dibaca dengan mendhommahkan
huruf Ha’ (عَلَيْهُ) sebagaimana boleh juga dibaca dengan
mengkasrohkannya (عَلَيْهِ). Dua-duanya adalah bacaan yang benar karena
keduanya adalah Qiroat yang Mutawatir. Bacaan dengan mendhommahkan huruf
Ha’ (عَلَيْهُ) adalah Qiroat Hafsh dan Az-Zuhry, sementara bacaan
dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ) adalah Qiroat Jumhur, yaitu Qiroat
Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah, Al-Kisai, Abu
Ja’far, Ya’qub Al-Hadhromy, dan Kholaf Al-Bazzar.
Hukum asal Qiroat adalah Tauqifi, artinya diperoleh berdasarkan riwayat. Allah berfirman;
{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ}
[القيامة: 16 – 18]
16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya .
17. Sesungguhnya atas tanggungankulah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Aku telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah; 16-18)
Ayat di atas menjadi dalil bahwa bacaan/Qiroat Al-Quran adalah Tauqifi
dan tidak boleh dikarang-karang. Allah memerintahkan kepada Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam agar mengikuti bacaan malaikat Jibril, dan
hanya mengikuti tanpa berkreasi. Bacaan tersebutlah yang diajarkan
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada shahabat dan dan di
ajarkan para shahabat kepada para Tabi’in demikian seterusnya hingga
sampai ke zaman kita sekarang ini.
Hanya saja, tidak benar jika membayangkan bahwa variasi bacaan Al-Qur’an
hanya satu. Variasi bacaan Quran itu banyak karena Al-Quran turun dalam
tujuh huruf. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (15/ 391)
عنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ
أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah
bahwa Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma telah menceritakan
kepadanya bahwa; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jibril telah membacakan padaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali
kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga
berakhirlah dengan Tujuh huruf yang berbeda).” (H.R. Bukhari)
Muslim juga meriwayatkan;
صحيح مسلم (4/ 257)
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ قَالَ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ
عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ
أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ
الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ
الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ
مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ
جَاءَهُ الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ
أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا
عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا
dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada
di sungai kecil Bani Ghifar. Kemudian beliau didatangi Jibril ‘Alaihis
salam seraya berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk
membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan).”
Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” kemudian Jibril
datang untuk kedua kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan dua
huruf.” Beliau pun bersabda: “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Lalu Jibril
mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tiga
huruf.” Beliau bersabda “Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu.” Kemudian Jibril
datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan Al Qur`an kepada umatmu dengan tujuh
huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka
bacaan mereka benar.” (H.R.Muslim)
Kisah Qiroat Umar juga menunjukkan hal ini. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (15/ 459)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ
حَدِيثِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ
الْقَارِيِّ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ
فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ
كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى
سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي
سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ
السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ
تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا
هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ
ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا
أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنْهُ
dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair
dari hadits Al Miswar bin Makhzamah dan Abdurrahman bin Abd Al Qari`
bahwa keduanya mendengar Umar bin Al Khaththab berkata, Pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pernah mendengar Hisyam bin
Hakim bin Hizam membacakan surat Al Furqan, maka aku pun mendengarkan
bacaannya dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara
bacaan) yang begitu banyak, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka aku pun ingin
segera menyergapnya di dalam shalat, namun aku menunggunya hingga
selesai salam kemudian memukul bagian atas dadanya seraya bertanya,
“Siapa yang membacakan surat ini padamu?” Ia menjawab, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan
padanya, “Kamu telah berdusta. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah membacakan surat -yang telah aku
dengar ini darimu- padaku.” Maka aku pun segera membawanya menghadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar orang ini membaca surat Al
Furqan dengan cara baca yang belum pernah Anda ajarkan padakku. Dan
sungguh, Anda telah membacakan surat Al Furqan padaku.” Akhirnya beliau
bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya
bacaan yang telah aku dengan sebelumnya. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Seperti inilah surat itu diturunkan.”
Kemudian beliau bersabda lagi: “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun
membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian beliau
bersabda: “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: “Al Qur`an diturunkan dengan
tujuh huruf, karena itu bacalah mana yang mudah darinya.”
(H.R.Bukhari)
Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengan jelas menunjukkan bahwa
Qiroat Al-Quran itu tidak hanya satu variasi, tetapi lebih dari satu dan
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan umatnya membaca
salah satu dari variasi-variasi Qiroat tersebut. Dengan adanya fakta
sejarah pengumpulan Al-Quaran dan periwayatannya maka para ulama
merumuskan tiga syarat agar sebuah Qiroat bisa diterima: a.sesuai dengan
Mushaf Utsmani b.sesuai dengan bahasa Arab, dan c. sanadnya Shahih.
Berdasarkan hal ini, bisa ditegaskan kembali bahwa Lafadz عَلَيْه dalam
ayat tersebut boleh dibaca dengan mendhommahkan huruf Ha’ (عَلَيْهُ)
sebagaimana boleh juga dibaca dengan mengkasrohkannya (عَلَيْهِ) karena
keduanya Qiroat yang Mutawatir. Yang semisal dengan ini ada dalam surat
Al Kahfi. Allah berfirman;
{وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ} [الكهف: 63]
“Tidak ada yang membuatku lupa selain Syetan” (Al-Kahfi; 63)
Lafadz أَنْسَانِيهُ bisa dibaca dengan mendhommahkan “Hu” (أَنْسَانِيهُ) bisa juga dengan mengkasrohkannya (أَنْسَانِيهِ).
Ibnu Mujahid berkata dalam kitabnya As-Sab’ah;
السبعة في القراءات (ص: 603)
قوله ومن أوفى بما عهد عليه الله 10 قرأ حفص عن عاصم عليه مضمومة الهاء
وقرأ الباقون عليه بكسر الهاء وهو قياس رواية أبى بكر عن عاصم
Firman Allah; ومن أوفى بما عهد عليه الله , Hafsh dari ‘Ashim membaca
dengan mendhommahkan Ha’ dan Qurro’ yang lain membacanya dengan
mengkasrohkan Ha’ dan bacaan ini adalah Qiyas Riwayat Abu Bakr dari
‘Ashim (As-Sab’ah, hlm 603)
Ini adalah penjelasan dari segi ilmu Qiroat.
Adapun penjelasan dari segi bahasa, maka Lafadz عَلَيْهُ dalam ayat
tersebut asalnya adalah kata عَلى dan هُوَ kemudian kata ini digabung
sehingga menjadi عَلَيْهُ. Kata هُوَ sendiri dalam bahasa Arab adalah
kata yang tergolong kelompok Dhomir (kata ganti), yakni Dhomir untuk
orang ketiga tunggal yang maskulin. Dhomir, dalam bahasa Arab ada dua
macam; Dhomir Munfashil dan Dhomir Muttashil. Dhomir Munfashil adalah
Dhomir yang berdiri sendiri, terpisah dari kata lain seperti أَنَا
(saya), نَحْنُ (kami/kita), هُوَ (dia, maskulin, tunggal), dll. Dhomir
Muttashil, adalah Dhomir yang bersambung/bergabung dengan kata lain
seperti كَتَبْتُ (saya menulis), إِنَّنِيْ (sesungguhnya saya),
كِتَابُهُ (bukunya). Jika dhomir berupa Dhomir Muttashil, maka dia tidak
akan lepas dari tiga posisi yaitu a.Posisi Rofa’ (Nominatif, pelaku,
subyek, inti kalimat dan yang semakna) b.Posisi Nashob (Akusitif, obyek
penderita, dan yang semakna) dan c.Posisi Jarr (geminitif, kepemilikan,
dan yang semakna dengannya). Lafadz عَلَيْهُ dalam ayat tersebut dalam
kajian ilmu Nahwu/I’rob digolongkan sebagai Dhomir Muttashil posisi
Jarr/Geminitif karena bersambung dengan salah satu Harf Jarr, yaitu
lafadz عَلى
Hukum asal pengharokatan huruf Ha’ Dhomir adalah didhommah tanpa
membedakan apakah Harokat huruf sebelumnya adalah Dhommah, Fathah,
Kasroh, maupun Ya’ yang disukun. contoh;
هذا كِتاَبُهُ
Ini adalah bukunya
قَرَأْتُ كِتَابَهُ
Saya membaca bukunya
أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهُ
Saya memegang bukunya
غَضِبْتُ عَلَيْهُ
Saya marah kepadanya
Tampak pada contoh-contoh di atas huruf Ha’ pada kata kitabuhu,
kitabahu, bikitabihu, dan ‘alaihu, semuanya didhommah dan itu adakah
pengharokatan yang benar karena merupakan pengharokatan hukum asal.
Namun, jika harokat sebelum Ha’ Dhomir adalah Kasroh dan Ya’ yang
disukun, maka yang lebih afdhol dan lebih baik (tetapi tidak harus)
adalah mengubah harokat Dhommah menjadi Kasroh. Hal itu dikarenakan
harokat Kasroh “senafas” dengan harokat Kasroh dan Ya’ yang disukun
sehingga pengucapannya lebih ringan. Berbeda jika memilih harokat hukum
asal, yaitu Dhommah. Harokat Dhommah jika dikombinasi dengan Kasroh atau
Ya’ yang disukun terasa berat dilidah untuk mengucapkannya karena tidak
“senafas”. Jadi pada contoh diatas, ungkapan;
أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهُ
Saya memegang bukunya
غَضِبْتُ عَلَيْهُ
Saya marah kepadanya
Afdholnya dibaca dengan;
أَمْسَكْتُ بِكِتَابِهِ
Saya memegang bukunya
غَضِبْتُ عَلَيْهِ
Saya marah kepadanya
Sibawaih berkata;
الكتاب – لسيبويه (ص: 382، بترقيم الشاملة آليا)
باب ما تكسر فيه الهاء التي هي علامة الإضمار
اعلم أن أصلها الضم وبعدها الواو؛ لأنها في الكلام كله هكذا؛ إلا أن تدركها
هذه العلة التي أذكرها لك. وليس يمنعهم ما أذكر لك أيضاً من أن يخرجوها
على الأصل.
فالهاء تكسر إذا كان قبلها ياءٌ أو كسرة؛ لأنها خفية كما أن الياء خفية
Bab mengkasrohkan huruf Ha’ Dhomir
Ketahuilah, hukum asal (pengharokatan)nya adalah Dhommah yang disusul
Wawu karena huruf Ha’ tersebut dalam semua ucapan demikian itu (cara
mengucapkannya). Kecuali ada sebab yang saya sebutkan pada Anda. Namun
mereka (orang-orang Arab) tidak terhalangi untuk membacanya keluar dari
kaidah asal yang telah saya sebutkan. Huruf Ha’ dhomir dikasrohkan jika
didahului Ya’ (yang disukun) atau Kasroh karena Kasroh ringan
sebagaimana Ya’ juga ringan (Al-Kitab, hlm 382)
Wallohu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar