Entri Populer

Selasa, 18 Februari 2020

Penjelasan Tentang Waktu Sholat Wajib


Shalat sebagai kewajiban yang diwajibkan Allah kepada ummat Islam, sebanyak lima kali sehari semalam, ditetapkan dengan berwaktu. Hal ini ditegaskan-Nya dalam firman-Nya sbb:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
 
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa 103)
Berkata Asy-Syinqithiy rahimahullah :

ذكر في هذه الآية الكريمة أن الصلاة كانت ولم تزل على المؤمنين كتابا، أي: شيئا مكتوبا عليهم واجبا حتما موقوتا
“Dalam ayat yang mulia ini, Allah ta’ala menyebutkan bahwa shalat telah dan akan senantiasa menjadi kewajiban bagi orang-orang mukmin, yaitu : sesuatu yang ditetapkan atas mereka dengan wajib dan sesuai dengan ketentuan waktunya” [Adlwaaul-Bayan, 1/279].
Pelaksanaan shalat tersebut telah diatur oleh Allah baik dari segi waktu, tata-cara pelaksanaan dan bacaannya sehingga umat Islam tidak diberi hak untuk merubah, yang sering disebut dengan ibadah mahdlah (khusus). Waktu-waktu yang ditentukan itu, dalam fiqih Islam dikenal dengan:
1.    Dhuhur
2.    Ashar
3.    Maghrib
4.     Isya
5.    Subuh
Dalam menentukan waktu-waktu shalat, kemudian kita dapat mencari dengan menggunakan melihat sinar matahari berdasar rotasi bumi, yang melahirkan bayangan dan cahaya beraneka ragam. Hal ini ditegaskan dalam al- Quran, yang diperjelas oleh hadis-hadis Rasulullah saw. 
Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.
Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]‎

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud: 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang, yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghirb dan Isya`.‎

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.
Dalam menentukan batasan-batasan waktu sholat, para fuqoha’ berpedoman pada ayat-ayat Qur’an dan hadist Nabi, diantaranya:

     وسبح بحمد ربك قبل طلوع الشمس وقبل غروبها ومن انائ اليل فسبح واطرف النهار لعلك ترضىى
“dan bertasbihlah  dengan memuji nama tuhanmu, sebelum terbir matahari (subuh) dan sebelum terbenamnya (ashar dan dhuhur), dan bertasbih pulalah di waktu-waktu malam hari (isya’), dan ujung siang (maghrib), supaya kamu merasa senang”.(Q.S.Thaha:130)‎

عن عبد الله بن عمر ورضي الله عنهما قال,ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:وقت الظهراذا زلت الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضر العصر,ووقت العصرما لم تصفرالشمس, ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق, ووقت صلاةالعشاء الى نصف الليل الاوسط, ووقت الصلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم تطلع الشمس. (رواه مسلم)
Dari Abdullah ibn Amar ra. Berkata: “bersabda Rasul SAW: Waktu dhuhur ialah apabila tergelincir matahari ke arah barat dan terus berlanjut sehingga menjadi bayangan seseorang sama panjangnya, selama belum lagi datang waktu ashar. Dan waktu ashar sejak habisnya waktu dhuhur hingga matahari belum kuning. Dan waktu maghrib, selama belum hilang mega merah dan waktu isya hingga separuh malam yang pertama dan waktu subuh dari terbit fajar selama belum lagi terbit matahari,” (HR.muslim)
عن جابر بن عبدالله قال ان النبى صلى الله عليه وسلم جاءه جبريل عليه السلام  فقال له قم فصله فصلى الظهر حتى زالت الشمس ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه المغرب فقال قم فصله فصلى المغرب حين وجبت الشمس ثم جاءه العشاء فقال قم فصله فصلى العشاء حين غاب الشفق ثم جاءه الفجر فقال قم فصله فصلى  الفجر حين برق الفجر وقال سطع البحر ثم جاءه بعد  الغد للظهر فقال قم فصله فصلى الظهر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه ثم جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل او قال ثلث الليل فصلى العشاء حين جاءه حين اسفر جدا فقال قم فصله فصلى الفجر ثم قال ما بين هذين الوقتين وقت (رواه احمد والنسائ والترمذى ينحوه)
“Dari jabir bin Abdullah r.a berkata; telah datang kepada nabi SAW. Jibril a.s lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat dhuhur di kala matahari tergelincir,kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat maghrib di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi di waktu isya’ lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat isya’ di kala  mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu dhuhur, lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat di kala  bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat ashar di kala bayang – bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ di kala telah lalu separoh malam, atau ia berkata: telah hilang sepertiga malam. Kemudian nabi shalat isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembayanglah, kemudian nabi shalat fajar. Kemudian jibril berkata: saat dua waktu itu adalah waktu shalat.” HR Ahmad. Nasai. Tirmidzi.

دَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ جَاءَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ الْمَغْرِبَ فَقَامَ فَصَلَّاهَا حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ سَوَاءً ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ الشَّفَقُ جَاءَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ الْعِشَاءَ فَقَامَ فَصَلَّاهَا ثُمَّ جَاءَهُ حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ فِي الصُّبْحِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ فَقَامَ فَصَلَّى الصُّبْحَ ثُمَّ جَاءَهُ مِنْ الْغَدِ حِينَ كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَيْهِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الصُّبْحَ فَقَالَ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ
Artinya: Jabir bin Abdullah meriwayatkan, bahwa Nabi Saw pernah didatangi Jibril alaihis salam, ketika matahari sudah tergelincir, lalu ia berkata kepada Nabi: Berdirilah hai Muhammad, shalat dhuhurlah ketika matahari sudah tergelincir. Lalu ia berhenti, hingga ketika bayangan seseorang itu sudah setinggi badannya, ia pun datang lagi untuk shalat ashar, seraya berkata: Berdirilah hai Muhammad, shalat asharlah. Lalu ia diam, hingga apabila matahari sudah terbenam, ia datang lagi seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat maaghrib. Nabi Saw pun berdiri, lalu shalat maghrib ketika matahari sudah benar-benar terbenam dengan sempurna. Kemudian ia diam, hingga apabila cahaya merah sudah hilang ia datang lagi seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat isya. Lalu Nabi Saw pu berdiri untuk mengerjakan shalat isya. 
Kemudian ia datang lagi ketika fajar subuh menyingsing, seraya mengatakan:
Berdirilah hai Muhammad untuk shalat. Lalu Nabi Saw berdiri untuk shalat subuh. Kemudian esoknya Jibril datang lagi ketika bayangan seseorang setinggi badannya, seraya mengatakan: Berdirilah hai Muhammad untuk shalat. Lalu beliau shalat dhuhur. Kemudian esoknya Jibril datang lagi ketika bayangan seseorang setinggi badannya, seraya mengatakan: Berdirilah hai Muhammad untuk shalat. Lalu beliau shalat ashar. Kemudian Jibril datang lagi pada waktu maghrib yaitu ketika matahari sudah terbenam dalam satu waktu (sama dengan kemarennya), tanpa meninggalkan tempat, seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat, lalu beliau pun shalat maghrib. Kemudian ia datang lagi waktu isya ketika sepertiga malam yang pertama telah berlalu, seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat, lalu Nabi Muhammad Saw shalat isya. Kemudian ia datang lagi subuh ketika cahaya pagi sudah terang benderang, seraya mengatakan: Berdirilah untuk shalat, lalu beliau shalat subuh. Akhirnya Jibril mengatakan: Antara dua inilah waktu (shalat) itu seluruhnya. (HR an-Nasai no. 523).
Rasulullah SAW bersabda :
اَمَّنِيْ جِبْرِيْلُ عِنْدَالْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلّٰى بِيَّ الظُّهْرَحِيْنَ زَالتِ الشَّمْسُ وَالْعَصْرَحِيْنَ كَانَ ظِلُّ الشَّيْءِمِثْلِهُ وَالْمَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ وَالْعِشَاءَحِيْنَ غَابَ الشَفَقُ وَالْفَجْرَحِيْنَ سَطَعَ الْفَجْرُفَلَمَّاكَانَ الْغَدُصَلّٰى بِيَّ الظُّهْرَحِيْنَ صَارَظِلُّ كُلِّ شَيْءٍمِثْلَهُ وَالْعَصْرَحِيْنَ صَارَظِلُّ كُلِّ شَيْءٍمِثْلَيْهِ وَالْمَغْرِبَ حِيْنَ اَفْطَرَالصَّائِمُ والْعِشَاءَعِنْدَثُلُثِ اللَّيْلِ وَالْفَجْرَحِيْنَ اَصْفَرَوَقَالَ هٰذَاوَقْتُ الْاَنْبَيَاءِمِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَابَيْنَ هٰذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ. رواه أبوداودوغيره
Artinya : “Saya telah dijadikan imam oleh Jibril di Baitullah dua kali, maka ia shalat bersama saya; shalat dzuhur ketika tergelincir matahari, shalat asar ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, shalat maghrib terbenam matahari, shalat isya ketika terbenam syafaq, dan shalat subuh ketika fajar bercahaya. Maka besoknya shalat pulalah ia bersama saya; shalat dzuhur ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, shalat asar ketika bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya, shalat maghrib ketika orang berbuka puasa, shalat isya ketika sepertiga malam, dan shalat subuh ketika menguning cahaya pagi. Lalu Jibril berkata, ‘Inilah waktu shalat nabi-nabi sebelum engkau, dan waktu shalat ialah antara dua waktu ini’.” (Riwayat Abu Dawud dan lain-lainnya)

وَقْتُ الظُّهْرِاِذَازَلَتِ الشَّمْسُ مَالَمْ يَحْضُرِالْعَصْرِ. رواه مسلم.
Artinya: “Waktu Dzuhur ialah apabila tergelincir matahari ke sebelah barat, selama belum datang waktu Asar.” (Riwayat Muslim)

وَقْتُ الْعَصْرِمَالَمْ تَغْرُبِ الشَّمسُ. رواه مسلم.
Artinya: “Asar waktunya sebelum terbenam matahari.” (Riwayat Muslim)
وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ. رواه مسلم.
Artinya: “Maghrib waktunya sebelum hilang syafaq.” (Riwayat Muslim)

لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ اِنَّمَاالتَّفْرِيْطُ عَلٰى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَحَتّٰى يَدْخُلِ وَقْتُ الْاُخْرٰى. رواه مسلم.
Artinya: “Tidur itu tidak sia-sia, tetapi sesunguhnya yang sia-sia ialah orang yang tidak shalat hingga masuk pula waktu shalat yang lain.” (Riwayat Muslim)
Pengertian hadis ini ialah, apabila habis waktu Dzuhur datanglah waktu Asar, dan seterusnya, kecuali antara Subuh dengan shalat Dzuhur, karena ada dalil yang lain.
Rasululla SAW bersabda :

وَقْتُ صَلَاةِ الصُبْحِ مِنْ الطُلُوْعِ الْفَجْرِمَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ. رواه مسلم.
Artinya: “Waktu shalat Subuh ialah dari terbit fajar selama belum terbit matahari.” (Riwayat Muslim)
Yang lebih utama hendaklah mengerjakan shalat di awal waktunya, dan haram men-ta-khir-kan (melalaikan) shalat sampai habis waktunya; makruh tidur sesudah masuk waktu shalat, sedang ia belum shalat.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
Shalat Dhuhur
Makna Dhuhur adalah waktu zawal (tergelincirnya matahari). Dan yang dimaksud dengan zawal adalah :

ميل الشمس عن كبد السماء إلى المغرب.
“Tergelincirnya matahari dari pusat/tengah langit ke arah barat” [Mishbaahul-Muniir,Majmuu’ 3/24, dan Al-Mughniy 1/372 – melalui ‎Shahih Fiqhis-Sunnah 1/237].
Waktu mulai tergelincirnya matahari adalah waktu dimulainya shalat Dhuhur. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Dinamakan ‘Dhuhur’ karena ia merupakan shalat pertama yang dilakukan oleh malaikat Jibril bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :

أن جبريل أتى النبي صلى الله عليه وسلم يعلمه مواقيت الصلاة فتقدم جبريل ورسول الله صلى الله عليه وسلم خلفه والناس خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس
“Bahwasannya Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada beliau tentang waktu-waktu shalat. Lalu Jibril maju ke depan (mengimami) dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di belakang beliau (untuk melaksanakan shalat berjama’ah), dan para shahabat berdiri di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 513; shahih].
Para ulama berbeda pendapat mengenai berakhirnya waktu Dhuhur. Yang rajih adalah ketika bayangan benda sama dengan tingginya, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ‎radliyallaahu ‘anhuma di atas.
Mengenai hadits Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy radlyallaahu ‘anhuma :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس وكان الفيء قدر الشراك ثم صلى العصر حين كان الفيء قدر الشراك وظل الرجل
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melaksanakan shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir dimana panjang bayangan sama dengan tali sandal, lalu beliau mengerjakan shalat ‘Ashar saat panjang bayangan sama dengan tali sandal dan tinggi orang” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 524; shahih].
Maka maksud hadits tersebut adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuhur di akhir waktu dan selesai pada panjang bayangan sama dengan tingginya. Saat itulah waktu ‘Ashar masuk.
Mengakhirkan pelaksanaan shalat Dhuhur – asal tidak sampai keluar dari waktunya – adalah disunnahkan saat cuaca panas, sebagaimana hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأراد المؤذن أن يؤذن للظهر، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (أبرد). ثم أراد أن يؤذن، فقال له: (أبرد). حتى رأينا فيء التلول، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن شدة الحر من فيح جهنم، فإذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة).
“Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya panas yang amat sangat (di waktu siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang terasa teramat panas, maka tundalah shalat hingga dingin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 539, Muslim no. 616, Ibnu Khuzaimah no. 328, At-Tirmidzi no. 158, dan yang lainnya].
Shalat ‘Ashar
‘Ashar : Dimutlakkan untuk waktu sore hingga matahari berwarna kemerah-merahan, yang saat itu merupakan akhir waktu siang. Shalat ini juga disebut sebagai shalat Wusthaa.
Allah ta’ala berfirman :

حَافِظُواْ عَلَى الصّلَوَاتِ والصّلاَةِ الْوُسْطَىَ وَقُومُواْ للّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karean Allah (dalan shalatmu) dengan khusyu” [QS. Al-Baqarah : 238].
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda saat perang Khandaq :

ملأ الله عليهم بيوتهم وقبورهم نارا كما شغلونا عن صلاة الوسطى حتى غابت الشمس
”Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api neraka, sebagaimana mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan shalat wusthaa hingga matahari terbenam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4111].
Dalam lafadh Muslim disebutkan :

شغلونا عن الصلاة الوسطى صلاة العصر ملأ الله بيوتهم وقبورهم نارا ثم صلاها بين المغرب والعشاء
”Mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan shalat wusthaa; (yaitu) shalat ‘Ashar. Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api neraka. Kemudian beliau mengerjakannya antara Maghrib dan ‘Isya”. [Diriwayatkan oleh Muslim no. 627].‎
Awal waktu ‘Ashar adalah dimulainya panjang bayangan sama dengan tinggi benda. Ini adalah madzhab jumhur ‘ulama, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah mempunyai pendapat lain ketika ia menyatakan bahwa waktu ‘Ashar dimulai ketika panjang bayangan dua kali tinggi benda.
Asy-Syinqithiy menukil :
وشذ أبو حنيفة رحمه الله من بين عامة العلماء فقال: يبقى وقت الظهر حتى يصير الظل مثلين، فإذا زاد على ذلك يسيرا كان أول وقت العصر..... قال ابن عبد البر: خالف أبو حنيفة في قوله هذا الآثار والناس، وخالفه أصحابه، فإذا تحققت أن الحق كون أول وقت العصر عندما يكون ظل كل شيء مثله، من غير اعتبار ظل الزوال.
“Abu Hanifah rahimahullah mempunyai pandangan tersendiri yang berbeda dengan para ulama secara umum, dimana ia berkata : ‘Waktu Dhuhur berlaku hingga panjang bayangan dua kali tinggi benda. Apabila panjang bayangan itu bertambah sedikit saja, maka telah masuk waktu ‘Ashar”……. Berkata Ibnu ‘Abdil-Barr : ‘Abu Hanifah telah menyelisihi dalam perkataannya terhadap atsar-atsar dan ulama-ulama, dimana para shahabatnya tidak sejalan dengannya. Telah jelas bahwa yang benar mengenai awal waktu ‘Ashar adalah saat panjang bayangan sesuatu seukuran tingginya, tanpa memperhatikan bayangan zawal” [Adlwaaul-Bayan, 1/283-284, dengan peringkasan].
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas akhir waktu ‘Ashar. Yang rajih adalah sampai matahari menguning atau memerah – sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ‎radliyallaahu ‘anhuma yang disebutkan di awal. 
Dan juga hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhu :
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في اليوم الأول العصر والشمس مرتفعة، وفي اليوم الثاني أخر العصر فانصرف منها والقائل يقول : احمرَّت الشمس....
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat ‘Ashar pada hari pertama yang saat itu matahari masih tinggi. Dan pada hari kedua, beliau mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga ada yang berkata : ‘Matahari telah berwarna kemerah-merahan….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 614, Abu Dawud no. 395, dan An-Nasa’iy no. 523].
Inilah pendapat Ahmad, Abu Tsaur, dan satu riwayat dari Malik.
Adapun waktu daruratnya sampai matahari terbenam. Hal ini didasarkan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من أدرك من الصبح ركعة قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح، ومن أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر.
“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Dan barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 579, Muslim no. 608, At-Tirmidzi no. 186, Ibnu Majah no. 699, Ibnu Khuzaimah no. 985, Ad-Daarimiy no. 1258, Ibnu Hibban no. 699, dan yang lainnya].
Oleh karena itu, seorang muslim – pada asalnya – dilarang menyengaja untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Ashar hingga menjelang matahari tenggelam. Hal ini didasarkan oleh hadits :

تلك صلاة المنافقين يجلس يرقب الشمس حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقرها أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا
“Itu adalah cara shalat orang-orang munafiq yang duduk dan memperhatikan matahari sampai saat matahari berada di antara dua tanduk syaithan. Maka ia berdiri dan mengerjakanya empat raka’at. Tidaklah ia mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 622, At-Tirmidzi no. 160, An-Nasa’iy no. 511, Al-Baihaqiy 1/443-444, Ibnu Khuzaimah no. 333, Ibnu Hibban no. 262].
Dalam hadits ini terdapat dalil yang melarang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari berwarna kekuning-kuningan/kemerah-merahan atau lebih dari itu.‎
Catatan :
§ Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat matahari masih tinggi.

عن أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي العصر والشمس مرتفعة، فيذهب الذاهب إلى العوالي فيأتيهم والشمس مرتفعة، وبعض العوالي من المدينة على أربعة أميال أو نحوه.
Dari Anas bin Maalik ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ‘Ashar pada waktu matahari masih tinggi. Kemudian ada seseorang yang pergi ke Al-‘Awaaliy (setelah shalat ‘Ashar), dan ia tiba di sana saat matahari masih agak tinggi – dimana jarak antara Al-‘Awaaliy dan Madinah kira-kira 4 mil” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 550, Muslim 621, Ibnu Hibban no. 1518-1519, dan yang lainnya].
§ Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat cuaca gelap/mendung.
عن أبي المليح قال : كنا مع بريدة في غزوة في يوم ذي غيم. فقال : بكِّروا بصلاة العصر، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله.
Dari Abu Al-Maliih ia berkata : “Kami pernah bersama Buraidah pada satu peperangan yang waktu itu cuaca berawan/gelap. Ia berkata : ‘Kerjakanlah shalat ‘Ashar di awal waktu, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :‘Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘Ashar, sungguh telah hilang semua amalnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 553, An-Nasa’iy no. 474, Ath-Thayalisiy no. 810, Ibnu Abi Syaibah 1/343 dan 2/237, Al-Marwaziy dalam ‎Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah no. 903, Ibnu Khuzaimah no. 336, Al-Baihaqiy 1/444, Al-Baghawiy no. 369, dan yang lainnya].
Shalat Maghrib
Maghrib secara asal bermakna : terbenamnya matahari, atau ketika matahari akan tenggelam. Dimutlakkan menurut bahasa pada makna waktu dan tempat terbenamnya matahari. Pada waktu itulah shalat Maghrib dilaksanakan.
Pada masyarakat ‘Arab dahulu, orang-orang sering menyebut Maghrib dengan ‘Isya’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya melalui sabdanya :

لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم المغرب ! قال : وتقول الأعراب : هي العشاء.
“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam menyebut nama shalat kalian, yaitu Maghrib. Orang-orang Arab Baduwi menyebutnya : ‘Isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 563].
Awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam dan hilang secara sempurna. Para ulama telah bersekapat mengenai hal ini.

عن سلمة بن الأكوع أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي المغرب إذا غربت الشمس وتوارت بالحجاب.
Dari Salamah bin Al-Akwa’ ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Maghrib saat matahari telah terbenam dan tidak nampak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 561, Muslim no. 636, Ibnu Majah no. 688, Ahmad 4/54, dan yang lainnya].
Tanda lain yang juga bisa diketahui adalah : Hilangnya mega dari atas gunung dan datangnya gelap malam dari arah timur, serta munculnya bintang-bintang.
Adapun akhir waktu Maghrib, para ulama berselisih pendapat. Yang raajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa akhir waktu Maghrib adalah ketika mega merah telah hilang di sebelah barat, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma yang disebutkan di awal.
Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat Maghrib, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لا تزال أمتي بخير أو قال على الفطرة ما لم يؤخروا المغرب إلى أن تشتبك النجوم
“Senantiasa umatku berada di atas kebaikan –atau beliau bersabda : ‘di atas fithrah’ – selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga bermunculan bintang-bintang” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 418, Ibnu Khuzaimah no. 339, Ibnu Majah no. 689, Ahmad 5/421, dan yang lainnya; hasan].
Shalat ‘Isya’
‘Isya’ adalah nama dari awal kondisi gelap dari terbenamnya matahari hingga benar-benar gelap di waktu malam. Dinamakan shalat ‘Isya’ karena ia dilakukan pada waktu tersebut.
Shalat ‘Isya’ disebut juga Shalaatul-Aakhirah, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

أيما امرأة أصابت بخورا، فلا تشهد معنا العشاء الآخرة
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia menghadiri Shalatul-Aakhirah (shalat ‘Isya’) bersama kami “[Diriwayatkan oleh Muslim no. 444, Abu Dawud no. 4175, An-Nasa’iy no. 5128 dan 5263, Abu ‘Awaanah 2/17, Al-Baihaqiy 3/333, serta Al-Baghawiy no. 861].
Selain itu, shalat ‘Isya’ juga dinamakan dengan shalat ‘atamah, sebagaimana sabda Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لو يعلم الناس ما في النداء والصف الأول، ثم لم يجدوا إلا أن يستهموا لاستهموا عليه. ولو يعلمون ما في التهجير لاستبقوا إليه، ولو يعلمون ما في العتمة والصبح لأتوهما ولو حبوا
“Sekiranya orang-orang mengetahui keutamaan menyambut seruan adzan dan berada di shaff pertama kemudian hal tersebut hanya dapat diraih dengan mengundi, niscaya mereka akan mengundi demi mendapatkannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan at-tahjiir (shalat di awal waktunya), niscaya mereka akan berlomba mengerjakannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat ‘atamah (‘Isya’) dan Shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus merangkak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 615, 653, 720, 2689; Muslim no. 437; At-Tirmidziy no. 225-226, An-Nasa’iy no. 540, 671; Ibnu Khuzaimah no. 391, 1475, 1554; Abu ‘Awaanah 1/333, 2/37; Ibnu Hibban no. 1659, 2153; dan yang lainnya].
Namun penyebutan shalat ‘atamah tersebut adalah makruh, karena telah ada larangan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم. ألا إنها العشاء. وهم يعتمون بالإبل
“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam penyebutan shalat kalian. Ketahuilah bahwa sebutannya adalah ‘Isya’ (bukan ‘atamah). Karena mereka mengisi waktu ‘atamah untuk memerah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 644, An-Nasa’iy no. 542, ‘Abdurrazzaq no. 2151-2152, Abu Dawud no. 4984, Al-Baghawiy no. 377, Ibnu Hibban no. 1532, Ahmad 2/144, dan yang lainnya].
Awal waktu ‘Isya’ adalah saat syafaq (mega merah) telah benar-benar hilang. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai hal ini.
Adapun akhir waktu ‘Isya’, para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama mengatakan akhir waktu ‘Isya’ adalah akhir sepertiga malam pertama. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-jadid-nya, Abu Hanifah, serta yang masyhur dari madzhab Malikiyyah. ‎Dalil mereka adalah hadits imamah malikat Jibril terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah lalu, dimana di dalamnya disebutkan :

أنه صلاها بالنبي صلى الله عليه وسلم في اليوم الثاني ثلث الليل.
“Bahwa sesungguhnya ia melaksanakan shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari kedua saat sepertiga malam pertama”.
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga pertengahan malam. Ini merupakan pendapat Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ishaq (bin Rahawaih), Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Asy-Syafi’iy dalam al-qaulul-qadiim-nya mengatakan boleh mengerjakan shalat ‘Isya’ setelah waktu tersebut, namun hal itu makruh. Ia berpendapat bahwa waktu tersebut adalah waktu pilihan (waqtul-ikhtiyaar) dimana seseorang masih boleh mengerjakannya hingga waktu fajar. Demikian pula pendapat Ibnu Hazm. Dalil mereka adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma sebagaimana disebutkan di awal, dan juga hadits Anas ‎radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ :

أخر النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء إلى نصف الليل،
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 572].
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga munclnya fajar shaadiq – walaupun seseorang tidak dalam kondisi darurat. Ini merupakan pendapat ‘Atha’, Thaawus, ‘Ikrimah, Dawud Adh-Dhaahiriy, dan teriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah. Pendapat ini merupakan pilihan Ibnul-Mundzir. ‎Dalil mereka di antaranya adalah hadits Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنما التفريط على من لم يصل الصلاة حتى يجيء وقت صلاة أخرى
“Sikap peremehan itu hanya ada pada orang yang tidak melaksanakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 311, Abu Dawud no. 441, Ibnul-Jaarud no. 681, Ibnu Khuzaimah no. 681, Ibnu Hibban no. 1460, An-Nasa’iy no. 615-616, Ad-Daaruquthniy 1/386, Al-Baihaqiy 1/404, dan yang lainnya].
Juga hadits :

عن عائشة؛ قالت: أعتم النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. حتى ذهب عامة الليل. وحتى نام أهل المسجد. ثم خرج فصلى. فقال "إنه لوقتها. لولا أن أشق على أمتي"
Dari ‘Aisyah ia berkata : “Suatu malam Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga (hampir) habis waktu malam, dan hingga para jama’ah jama’ah yang ada di masjid tertidur. Kemudian beliau keluar untuk shalat dan bersabda :‘Sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama) jika saja tidak memberatkan bagi umatku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 638, Ahmad 6/150, ‘Abdurrazzaq no. 2114, Al-Baihaqiy 1/450, Ibnu Khuzaimah no. 348, Ishaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 1037, dan yang lainnya].
Yang raajih dari tiga pendapat tersebut adalah pendapat kedua (hingga pertengahan malam) – karena penunjukan dalilnya sangat jelas. Hadits Abu Qatadah menunjukkan perbuatan maksiat dari seorang hamba yang menunda-nunda shalat. Selain itu, jika hadits tersebut dipahami sebagaimana pemahaman pendapat ketiga, konsekuensinya adalah semua waktu shalat adalah saling bersambung. Tentu saja ini tidak bisa diterima, karena pemahaman ini tidak berlaku untuk waktu shalat Shubuh. Begitu pula yang seharusnya dipahami untuk waktu shalat ‘Isya’. Adapun waktu dari tengah malam hingga fajar adalah waktu ikhtiyaar dimana seseorang masih bisa mengerjakan shalat ‘Isya’ di waktu ini pada saat mendesak/darurat.
Sedangkan hadits ‘Aisyah yang terdapat perkataan : ‘hingga (hampir) habis waktu malam’ ; maknanya adalah sebagian besar waktu malam. Dan perkataan : ‘sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama)’ ; harus dita’wil – bahwa waktu tersebut tetap tidak boleh keluar setelah waktu pertengahan malam. Hal itu dikarenakan tidak ada satu pun ulama yang memahami bahwa mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga setelah pertengahan malam – atau bahkan mendekati fajar – lebih utama. Hal ini selaras dengan riwayat lain yang berbunyi :

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم أن يؤخروا العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه
“Jika saja tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam atau pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 167, Ibnu Majah no. 691, dan Ahmad 2/245; shahih].
Catatan :
§ Disunnahkan untuk mengakhirkan perlaksanaan shalat ‘Isya’ sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
§ Dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya’, sebagaimana terdapat dalam hadits :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤخر العشاء إلى ثلث الليل ويكره النوم قبلها
“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam, dan membenci tidur sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 568 dan Muslim no. 647].
Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :

ومن نقلت عنه الرخصة قيدت عنه في أكثر الروايات بما إذا كان له من يوقظه أو عرف من عادته أنه لا يستغرق وقت الاختيار بالنوم، وهذا جيد حيث قلنا إن علة النهي خشية خروج الوقت
“Di antara para ulama melihat ada keringanan mengecualikannya jika ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak akan sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan pelarangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat” [Fathul-Baariy, 2/49].
§ Dimakruhkan ngobrol tanpa faedah setelah shalat ‘Isya’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا سمر إلا لأحد رجلين : لمصل ولمسافر
“Tidak boleh ngobrol (pada malam hari setelah shalat ‘Isya’) kecuali dua orang : Orang yang akan shalat dan musafir” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/379, 412, 444, 463; ‘Abdurrazzaq no. 2130; Al-Baihaqiy 1/452; Abu Ya’la no. 5368; dan yang lainnya – shahih lighairihi].
عن عبد الله بن مسعود؛ - قال: جدب لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم السمر بعد العشاء. يعني زجرنا.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan celaan kepada kami mengobrol setelah ‘Isya’ – yaitu melarang kami (untuk melakukannya)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 703, Ahmad 1/389, Ibnu Abi Syaibah 2/279, Ibnu Khuzaimah no. 1240, Ibnu Hibban no. 2031, dan Al-Baihaqiy 1/452; hasan lighairihi].‎
An-Nawawi berkata :

والمراد به الحديث الذي يكون مباحاً في غير هذا الوقت, وفعله وتركه سواء, فأما الحديث المحرم أو المكروه في غير هذا الوقت, فهو في هذا الوقت أشد تحريماً وكراهة. وأما الحديث في الخير كمذاكرة العلم وحكايات الصالحين, ومكارم الأخلاق, والحديث مع الضيف, ومع طالب حاجة, ونحو ذلك, فلا كراهة فيه, بل هو مستحب, وكذا الحديث لعذر وعارض لا كراهة فيه, وقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على كل ما ذكرته.
“Yang dimaksudkan adalah perbincangan yang hukum asalnya mubah (boleh) jika dilakukan di selain waktu tadi (yaitu waktu ‘Isya’), dimana antara melakukan dan meninggalkannya adalah sama. Adapun obrolan yang haram atau makruh jika dilakukan di selain waktu tadi, maka melakukannya pada waktu larangan ini lebih terlarang lagi. Adapun obrolan dalam kebaikan seperti mengulang-ulang pelajaran, menceritakan orang-orang shalih, atau tentang akhlak mulia, atau berbicara dengan tamu, atau orang yang membutuhkan sesuatu, dan yang lainnya; maka tidak apa-apa walaupun dilakukan dalam waktu yang dilarang tadi. Bahkan bisa jadi dianjurkan/disunnahkan. Demikian juga obrolan karena adanya udzur atau keperluan mendadak, maka tidak terlarang. Dan telah jelas hadits-hadits shahih yang menerangka apa yang telah aku sebutkan” [Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 485].
Shalat Fajar/Shubuh
Fajar secara asal maknanya adalah : asy-syafaq (cahaya/mega yang berwarna kemerahan). Asy-syafaq yang muncul di akhir malam seperti asy-syafaq yang muncul di awal malam.
Fajar itu ada 2 (dua) :
§ Fajar Kadzib : adalah warna putih di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
§ Fajar Shadiq : adalah warna merah yang naik dan muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib), sehingga terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الفجر فجران فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل الصلاة
“Fajar itu ada dua macam : Adapun fajar yang pertama, tidak diharamkan makan dan tidak dibolehkan mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan fajar yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan shalat shubuh” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; shahih].
Para ulama bersepakat bahwa awal waktu fajar adalah munculnya fajar shaadiq dan akhir waktunya adalah terbitnya matahari.
Jumhur ulama – seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur - berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Shubuh yang paling utama adalah pada saat kegelapan akhir malam yang bersamaan telah munculnya cahaya terang waktu Shubuh. Adapun dalil yang menjadi dasar pijakan adalah :

عن عائشة قالت كنا نساء المؤمنات، يشهدن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، متلفعات بمروطهن، ثم ينقلبن إلى بيوتهن حين يقضين الصلاة، لا يعرفهن أحد من الغلس.
Dari ‘Aisyah ia berkata : “Kami para wanita mukminin ikut menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berbalut kain bulu. Kemudian mereka (para wanita) kembali ke rumah mereka seusai melaksanakan shalat dalam keadaan mereka tidak mengenali seorang pun karena keadaan masih gelap” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 578, Muslim no. 230, Ath-Thahawiy 1/76, Abu Ya’la no. 4415, Ahmad 6/248, dan yang lainnya].
عن أنس، عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال: تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قام إلى الصلاة، قلت: كم كان بين الأذان والسحور؟. قال: قدر خمسين آية.
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh).Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097].
Sebagian ulama lain – seperti Ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan yang sepakat dengan keduanya – berpendapat waktu yang paling utama melaksanakan shalat Shubuh ketika cahaya telah terang. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

أسفروا بالفجر، فإنه أعظم للأجر
“Laksanakan shalat Shubuh hingga waktu isfar, karena pada waktu itu lebih besar pahalanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 424, At-Tirmidzi no. 154, An-Nasa’iy no. 548, dan Ibnu Majah no. 672; shahih lighairihi].
Namun pendalilan ini disanggah, sebagaimana dikatakan oleh Ibni Hibban :

أراد النبي صلى الله عليه وسلم بقوله أسفروا في الليالي المقمرة التي لا يتبين فيها وضوح طلوع الفجر لئلا يؤدي المرء صلاة الصبح إلا بعد التيقن بالإسفار بطلوع الفجر فإن الصلاة إذا أديت كما وصفنا كان أعظم للأجر من أن تصلى على غير يقين من طلوع الفجر
“Bahwa yang dimaksud oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya ‘asfiruu’ adalah pada saat cahaya bulan bersinar terang, sebab tidak diragukan lagi bahwa saat itu dalam cuaca terang karena sinarnya. Seseorang hendaknya tidak melaksanakan shalat Shubuh hingga merasa yakin bahwa fajar benar-benar telah bercahaya. Sebab, jika seseorang melaksanakan shalat sesuai dengan apa yang kita jelaskan, maka ia akan mendapat pahala yang besar daripada ia shalat dalam keadaan yang tidak yakin atas kemunculan Fajar (yaitu apakah fajar telah nampak atau belum)” [Shahih Ibni Hibban – di bawah no. 1491].
Dan itulah (pendapat jumhur) yang raajih, karena berkesesuaian dengan keumuman ayat :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” [QS. Ali ‘Imraan : 133]‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar