Ada begitu banyak hal yang bisa mengakibatkan shalat yang dikerjakan
menjadi batal. Dan diantara hal-hal yang membatalkan shalat sebagaimana
yang telah dijabarkan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut :
Ada begitu banyak hal yang dapat membatalkan shalat, sebagiannya telah menjadi kesepakatan ulama tanpa khilaf, sebagian lainnya juga membatalkan namun masih khilaf para ulama di dalamnya.
Di antara hal yang sering dibicarakan sebagai pembatal shalat adalah berbicara, makan dan minum, banyak gerakan dan terus menerus, kehilangan salah satu dari syarat sah shalat, tertawa, murtad dan hilang akal, berubah niat, meninggalkan salah satu rukun shalat, mendahului imam dalam shalat jama'ah, terdapatnya air bagi yang shalat dengan bertayammum, dan mengucapkan salam secara sengaja. Kita akan bahas hal-hal di atas satu persatu.
1. Kehilangan Salah Satu Dari Syarat Sah Shalat
Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara syarat-syarat sah-nya shalat antara lain adalah muslim, berakal, tahu sudah masuk waktu, suci dari najis, suci dari hadats, menutup aurat dan menghadap kiblat.
a. Murtad
Syara pertama orang yang mengerjakan shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim. Bila status keislamannya terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.
Maka orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba berubah menjadi murtad?
Murtad atau keluar dari agama Islam bisa saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-tiba mengingkari wujud Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk juga mengingkari kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila sesaat setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu seseorang itu sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka boleh jadi tidak sempat murtad sebentar.
Kalau pun saat itu dia segera sadar, maka shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus diulang lagi. Mengapa demikian?
Karena kekufuran itu merusak amal dan membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
Ada begitu banyak hal yang dapat membatalkan shalat, sebagiannya telah menjadi kesepakatan ulama tanpa khilaf, sebagian lainnya juga membatalkan namun masih khilaf para ulama di dalamnya.
Di antara hal yang sering dibicarakan sebagai pembatal shalat adalah berbicara, makan dan minum, banyak gerakan dan terus menerus, kehilangan salah satu dari syarat sah shalat, tertawa, murtad dan hilang akal, berubah niat, meninggalkan salah satu rukun shalat, mendahului imam dalam shalat jama'ah, terdapatnya air bagi yang shalat dengan bertayammum, dan mengucapkan salam secara sengaja. Kita akan bahas hal-hal di atas satu persatu.
1. Kehilangan Salah Satu Dari Syarat Sah Shalat
Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara syarat-syarat sah-nya shalat antara lain adalah muslim, berakal, tahu sudah masuk waktu, suci dari najis, suci dari hadats, menutup aurat dan menghadap kiblat.
a. Murtad
Syara pertama orang yang mengerjakan shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim. Bila status keislamannya terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.
Maka orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba berubah menjadi murtad?
Murtad atau keluar dari agama Islam bisa saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-tiba mengingkari wujud Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk juga mengingkari kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila sesaat setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu seseorang itu sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka boleh jadi tidak sempat murtad sebentar.
Kalau pun saat itu dia segera sadar, maka shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus diulang lagi. Mengapa demikian?
Karena kekufuran itu merusak amal dan membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Jika kamu mempersekutukan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az-Zumar : 65)
b. Gila
Demikian juga dengan orang yang tiba-tiba menjadi gila atau hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.
Sebab syarat sah dalam ibadah shalat salah satunya adalah berakal. Shalat yang dilakukan oleh orang gila atau kehilangan akalnya, tentu shalat itu tidak sah. Dan bila gila itu datangnya kumat-kumatan, sebentar datang dan sebentar hilang, maka bila terjadi ketika sedang shalat, maka shalat itu menjadi batal.
c. Belum Masuk Waktu
Di antara syarat sah shalat adalah bahwa mengetahui bahwa waktu shalat sudah masuk. Sebab shalat itu tidak sah dilakukan bila belum lagi masuk waktunya.
Maka bila seseorang yang sedang mengerjakan shalat, kemudian terbukti bahwa di tengah shalat itu baru masuk waktunya, otomatis shalatnya itu menjadi batal dengan sendirinya.
Hukum shalat sebelum waktunya jauh berbeda dengan shalat yang dilakukan pada waktu yang sudah terlewat. Bila waktunya sudah lewat, shalat masih sah dilakukan, bahkan dalam kaitanya dengan shalat fardhu, hukumnya tetap wajib dikerjakan.
d. Tersentuh Najis
Suci dari najis adalah salah satu syarat sah shalat. Tidak sah shalat seseorang kalau badan, pakaian atau tempatnya shalatnya masih terkena najis.
Maka bila ditengah-tengah shalat seseorang terkena atau tersentuh benda-benda najis, maka secara otomatis shalatnya itu pun menjadi batal.
Namun yang perlu diperhatikan adalah batalnya shalat itu hanya apabila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya.
Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan. Asalkan dia bergeser dari tempat dimana najis itu terjatuh.
Selain sumber najis itu dari luar, bisa juga najis itu datang dari dalam tubuh sendiri. Maka bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukurannya, maka hal itu tidak membatalkan shalat.
e. Mengalami Hadats Kecil
Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula shalatnya, baik hal itu terjadi tanpa sengaja atau secara sadar, ataupun dengan sengaja dan sepenuh kesadaran.
Hal-hal yang membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu' ada beberapa hal. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan pendapat.
Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan
Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya.
Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah : 6)
Juga berdasarkan hadits nabawi :
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ
مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya”. (HR. Muslim)
Tidur
Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu' sebagaimana hadits berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهيَنَامُونَ
ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ - رواه مسلم - وزاد أبو داود :
حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim)
Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.
Hilang Akal
Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu' nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu'nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu'nya.
Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ
Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri ataupun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu'.
Menyentuh Kulit Lawan Jenis
Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau penghalan, termasuk hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu'. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa : 43)
Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’.
Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’.
Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.
أنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu”.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).
g. Mengalami Hadats Besar
Selain terkena hadats kecil, yang ikut juga membatalkan seseorang dari shalatnya adalah terkena atau mendapatkan hadats besar. Maksudnya, kalau pada saat sedang shalat, seseorang mengalami hal-hal yang mengakibatkan terjadinya hadats besar, maka secara otomatis shalatnya batal.
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.
Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله تعالى عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ
Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda"Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha'.
Mazhab Al-Hanafiyah Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah.
Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat ataupun karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah.
Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi :
Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering.Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah SWT : من ماء دافقRasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.
Mani Wanita
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي
طَلْحَةَ- قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي
مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟
قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya"Ya Rasulullah sungguh Allah tidak mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW menjawab"Ya bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.
Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima'). Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam farajwanita atau faraj apapun baik faraj hewan.
Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله ِ قَالَ : إِذَا
الْتَقَى الخَتَاناَنِ أَوْ مَسَّ الخِتَانُ الخِتَانَ وَجَبَ الغُسْلُ
فَعَلْتُهُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ فَاغْتَسَلْنَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda "Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
إذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدهَا فَقَدْ وَجَبَ
الْغُسْلُ وَزَادَ مُسْلِمٌ : " وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ "
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun tidak keluar mani"
Meninggal
Seseorang yang meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian :
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Rasulullah SAW bersabda"Mandikanlah dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)
Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء
فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
إِذَا أَقْبَلَت ِالحَيْضُ فَدَعِي الصَّلاَةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرَهَا فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَليِّ
Nabi SAW bersabda’Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)
Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.
Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran persalinan yang dialaminya.
h. Terbuka Aurat Secara Sengaja
Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka sekilas dan langsung ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya, kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya. Namun hal ini tidak berlaku.
i. Bergeser Dari Arah Kiblat
Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang shalat itu, menurut kalangan As-Syafi'iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan dari seluruh tubuhnya.
Keharusan menghadap kitblat ini terutama berlaku untuk shalat fardhu, sedangkan pada shalat sunnah, hukumnya tidak seketat shalat fardhu, menghadap kiblat tidak menjadi syarat shalat. Hal itu karena Rasulullah SAW pernah melakukannya di atas kendaraan dan menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya tidak menghadap kiblat.
2. Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan, maka shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Dan sebagaimana kita bahas sebelumnya, bahwa rukun shalat itu ada 13 perkara, bahkan sebagian ulama menambahi bilangannya, sesuai dengan perbedaan pendapat masing-masing.
Maka bila salah satu dari rukun-rukun itu tidak dikerjakan, seketika itu juga shalat menjadi batal hukumnya.
a. Kehilangan Niat
Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba niatnya berubah, maka shalatnya menjadi batal.
Yang dimaksud dengan berubah niat disini adalah bila terbetik niat untuk menghentikan shalat yang sedang dilakukannya di dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab niatnya telah rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan shalatnya.
Karena niat itu menjadi salah satu rukun shalat yang utama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, atau menjadi syarat sah shalat dalam pandangan mazhab yang lain. Maka seorang yang melakukan shalat, bila kehilangan salah satu rukun atau syarat sah shalat, otomatis shalatnya pun menjadi rusak, alias batal.
b. Tidak Membaca Surat Al-Fatihah
Seluruh ulama sepakat bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat. Sehingga bila ada orang yang sengaja atau lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung ruku', maka shalatnya menjadi batal.
Dalilnya adalah hadits nabawi yang secara tegas menyebutkan tidak sahnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah)"(HR. Bukhari Muslim)
Namun dalam hal ini dikecualikan dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah ditentukan bahwa imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung ikut ruku' bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak membatalkan shalat.
c. Rukun-rukun Lainnya
Dan rukun-rukun shalat lainnya masih banyak, tetapi kalau salah satunya tidak dikerjakan, maka shalat orangitu batal jadinya.
Tidak Berdiri Tidak Ruku' Tidak I'tidal Tidak Sujud Tidak Duduk Antara Dua Sujud Tidak Duduk Tasyahhud Akhir Tidak Membaca Lafazdz Tasyahhud Akhir Tidak Membaca Shalawat Tidak Mengucapkan Salam Pertama Tidak Tertib Tidak Thuma'ninah
3. Berbicara di Luar Shalat
Sebenarnya shalat itu adalah gabungan dari perkataan dan gerakan. Maka pada dasarnya shalat itu adalah berbicara atau berkata-kata.
Namun yang dimaksud dengan berbicara yang membatalkan shalat maksudnya adalah pembicaraan yang diluar shalat, di antara pembicaraan dengan sesama manusia secara lisan (verbal), di luar dari yang telah ditetapkan sebagai bacaan shalat.
Dasar larangan berbicara di dalam shalat antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فيِ الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ
وَهُوَ إِلىَ جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُومُوا للهِ قَانِتِيْنَ
فَأُمِرْناَ بِالسُّكُوتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الكَلاَمِ
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahuanhu berkata,"Dahulu kami bercakap-cakap pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
Selain itu juga ada hadits lainnya :
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ
النَّاسِ إِنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ
القُرْآنِ
Shalat ini tidak boleh di dalamnya ada sesuatu dari perkataan manusia. Shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al-Quran (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa'i dan Abu Daud)
Para ulama memasukkan ke dalam kategori berbicara adalah menjawab sesuatu perkataan, baik perkataan imam dalam bacaannya atau pun perkataan orang lain.
a. Bicara Yang Membatalkan Shalat
Dan termasuk dalam perkara menjawab perkataan orang lain misalnya :
Tertawa
Masih dekat dengan berbicara adalah tertawa. Jumhur ulama diantaranya Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa orang yang tertawa dalam shalatnya, maka shalatnya batal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
الْقَهْقَهَةُ تَنْقُضُ الصَّلاَةَ وَلاَ تَنْقُضُ الْوُضُوءَ
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tertawa itu membatalkan shalat tapi tidak membatalkan wudhu" (HR.Ad-Daruquthuny)
Namun umumnya para ulama sepakat bahwa batasan tertawa adalah tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Sedangkan bila tertawa itu hanya sebatas tersenyum, belumlah sampai batal puasanya.
Mazhab Asy-Syafi'iyah memberikan batasan bila suara tertawa itu melebihi dua huruf, maka shalat itu batal.
Mengucapkan Salam dan Menjawabnya
Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka shalatnya batal. Sebab fungsi salam di dalam shalat adalah sebagai penutup dari shalat, sehingga bila penutup itu dilakukan, para ulama mengatakan shalatnya otomatis selesai.
Dasarnya adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri shalat.
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)
Menjawab shalat memang hukumnya wajib. Tetapi kalau dilakukan ketika shalat, jawaban salam itu membatalkan shalat.
Membaca Shalawat
Ketika mendengar nama beliau SAW disebut, memang disunahkan bagi kita untuk membaca shalatwat. Tetapi bila shalawat itu diucapkan di dalam shalat, padahal bukan bagian dari ayat Al-Quran atau tasyahhud, maka termasuk membatalkan.
Mendoakan Orang Bersin
Orang yang bersin disunnahkan untuk mengucapkan lafadz alhamdulilah, dan yang mendengar disunnahkan mendoakan dengan lafadz yarhamukallah, lalu yang bersin disunnahkan menjawab dengan lafadz yahdina wa yushlihu balakum.
Akan tetapi manakala semua itu dilakukan di dalam shalat, maka batal shalat mereka.
Mengucapkan Shadaqallahul-Adzhim
Sebagian orang ada yang terbiasa membaca lafadz shadaqallahul-adzhim seusai membaca ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagian lainnya memakruhkan, karena takut dianggap bagian dari Al-Quran.
Lepas dari perbedaan pendapat di antara mereka, yang pasti bila orang yang sedang shalat mengakhiri bacaan ayat Al-Quran dengan lafadz tersebut, shalatnya batal.
Mengucapkan Istirja'
Lafadz istirj’ adalah ucapan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Biasanya kita ucapkan manakala kita menghadapi cobaan, bala’, musibah, kematian dan sebagainya, baik kita langsung yang mengalaminya, atau dialami oleh orang lain.
Tetapi manakala lafadz itu diucapkan pada saat seseorang melakukan shalat, maka shalatnya batal.
Suara Tanpa Arti
Dan juga termasuk dikatakan telah berbicara atau berkata-kata adalah apabila seseorang berdehem, mengaduh, menangis, merintih, menguap dan sebagainya, semua itu dilakukan tanpa udzur hingga mengeluarkan suara atau membentuk kata yang terdiri dari 2 huruf atau lebih.
b. Bicara Yang Tidak Membatalkan Shalat
Sedangkan bicara yang tidak termasuk membatalkan shalat antara lain al-fathu dan doa-doa yang kita susun dan dibaca di dalam shalat.
Al-Fath
Dibolehkan bagi makmum mengingatkan bacaan ayat Al-Quran yang imam melupakannya. Istilahnya adalah al-fath, yang artinya 'membuka'. Maksudnya, membuka diamnya imam yang lupa atau bingung dengan bacaannya yang tersilap. Asalkan niatnya untuk membaca Al-Quran dan bukan untuk berdialog atau talqin, hukumnya boleh. Bahkan mazhab Asy-syafi'I mewajibkannya.
Dasarnya adalah hadtis berikut :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ صَلاَةً فَقَرَأَ فِيْهَا فَلَبَسَ عَلَيْهِ
فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لأِبيِ: أَصَلَّيْتَ مَعَنَا ؟ قَالَ : نَعَمْ .
قَالَ: فَمَا مَنَعَكَ ؟
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu bahwa Nabi SAW melakukan shalat dan membaca ayat Al-Quran, namun ada yang tersilap. Ketika selesai shalat beliau bertanya kepada Ayahku (Umar bin Al-Khttab),"Apakah kamu shalat bersama kita?". Umar menjawab,"Ya". Nabi bertanya,"Apa yang menghalangimu (dari mengingatkan Aku)?". (HR. Abu Daud)
Namun bila fath itu ditujukan kepada selain imam, maka hukumnya membatalkan shalat.
Al-Fathu adalah istilah yang digunakan di dalam shalat berjamaah, dimana makmum yang berada di belakang imam mengoreksi bacaan atau gerakan imam yang keliru.
Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan
التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ
Tasbih untuk laki-laki dan bertepuk buat wanita (HR. Muslim)
Makmum boleh membetulkan bacaan imam yang salah, keliru atau terlupa, dengan bersuara yang sekiranya bisa didengar oleh imam.
Demikian juga makmum boleh menyebut lafadz subhanallah, apabila mengetahui imam bersalah dalam gerakan, seperti hampir mau menambah jumlah rakaat dari empat menjadi lima, atau sebaliknya, belum sampai empat rakaat sudah mau duduk tahiyat akhir.
Ketika makmum mengucapkan tasbih ini, tidak dianggap dia telah batal dari shalatnya. Sebab melakukan fath ini adalah hal yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Melafadzkan Doa
Melafadz doa tidak membatalkan shalat, karena pada dasarnya shalat itu memang doa. Bahkan di dalam shalat ada posisi tertentu yang memang kita dianjurkan untuk memperbanyak doa.
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ العَبْدُ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعاَءَ
Posisi paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya ketika sujud, maka perbanyaklah doa pada waktu sujud (HR. Muslim)
إنِّي نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ القُرْآنَ رَاكِعاً أَوْ سَاجِداً َفَأَمَّا
الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبُ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا
فيِ الدُّعَاءِ فَقُمن أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
Aku dilarang untuk membaca Al-Quran dalam keadaan ruku’ atau sujud. Ketika ruku’ agungkanlah Rabb, sedangkan ketika sujud maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.”(HR. Muslim)
Lafadz doa yang paling utama adalah lafadz yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran, kemudian dari sunnah Rasulullah SAW yang ma’tsur. Namun bukan berarti berdoa dengan lafadz yang kita susun sendiri menjadi terlarang.
Meski pun lafadz doa nampak seperti pembicaraan di luar shalat, namun berdoa di dalam shalat dengan lafadz yang kita karang sendiri dibolehkan. Syaratnya doa itu harus berbahasa Arab. Bila doa itu dilakukan dalam bahasa Indonesia atau bahasa selain Arab, maka doa itu termasuk dianggap lafadz di luar shalat.
4. Bergerak di Luar Gerakan Shalat
Para ulama sepakat bahwa gerakan di luar shalat yang dilakukan berulang-ulang akan membatalkan shalat. Namun mereka berbeda pendapat dalam batasannya.
a. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah
Batasan gerakan yang banyak menurut kedua mazhab ini adalah apa yang diyakini oleh orang lain sebagai gerakan bukan shalat, maka hal itu termasuk gerakan yang banyak. Tetapi bila orang lain masih ragu-ragu apakah seseorang sedang shalat atau tidak, maka hal itu belum membatalkan.
Ibnu Abidin mengatakan harus ditambahkan bahwa gerakan yang banyak dan membatalkan shalat itu di luar dari gerakan untuk membunuh ular dan kalajengking, karena Rasulullah SAW memerintahkan untuk melakukannya.
b. Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang terus itu standarnya adalah al-‘urf. Al-‘Urf maksudnya kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Bila di tengah masyarakat suatu gerakan di dalam shalat dianggap sudah keluar dari konteks shalat, maka gerakan itu membatalkan shalat. Sebaliknya, bila ‘urf di tengah masyarakat menganggap gerakan itu masih dalam kategori shalat, maka shalatnya tidak batal.
Mazhab As-syafi'i memberikan batasan bahwa dua langkah yang dilakukan oleh orang yang sedang shalat, belum termasuk membatalkan, karena dianggap masih sedikit. Tetapi langkah yang ketiga sudah membatalkan, karena tiga adalah angka banyak yang minimal. Demikian juga dengan gerakan lainnya, bila sampai tiga kali gerakan berturut-turut sehingga seseorang batal dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan shalat. Sebab dahulu Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong anak (cucunya).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ يَؤُمُّ النَّاسَ وَأُمَامَةُ بِنْتُ أَبِى الْعَاصِ وَهْىَ ابْنَةُ زَيْنَبَ بِنْتِ النَّبِىِّ r عَلَى عَاتِقِهِ فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِنَ السُّجُودِ أَعَادَهَا
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku' anak itu diletakkannya dan bila beliau bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)
Bahkan beliau SAW memerintah orang yang sedang shalat untuk membunuh ular dan kalajengking (al-aswadain). Dan beliau juga pernah melepas sandalnya sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu tidak termasuk yang membatalkan shalat.
Intinya kalau gerakan itu diciptakan sendiri dan tidak termasuk gerakan di dalam shalat, lantas dilakukan berulang-ulang, maka gerakan itu membatalkan shalat.
Sedangkan bila gerakan itu didasari dari hadits Nabi SAW bahwa beliau pernah melakukannya di dalam shalat, maka hukumnya tidak membatalkan shalat.
Sebab kalau kita mengatakan bahwa gerakan itu membatalkan shalat, maka shalat Rasulullah SAW pun seharusnya kita bilang batal. Padahal beliau justru sumber dalam masalah hukum-hukum shalat.
5. Makan dan Minum
Makan dan minum termasuk perbuatan yang membatalkan shalat. Namun para ulama berbeda pendapat tentang detail-detailnya.
a. Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan walau pun seseorang lupa menelan biji kecil, shalatnya dianggap batal. Demikian juga gerakan mengunyah makanan bila tiga kali berturut-turut, meski tidak ditelan, sudah dianggap membatalkan shalat.
Gula yang ada di mulut bila larut dengan ludahnya, juga termasuk ke dalam hal yang membatalkan shalat.
Ibnu Abidin menyebutkan yang termasuk kategori makan ada dua. Pertama, gerakan mengunyah makanan meski tidak ditelan. Kedua, menelan makanan atau minuman meski tidak mengunyah.
b. Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah membedakan antara makan minum yang disengaja dengan yang terlupa. Makan minum dengan sadar dan sengaja, tentu membatalkan shalat. Namun bila makan dan minum itu dilakukan tanpa sadar alias lupa, maka shalatnya tetap sah. Hal ini persis dengan bila orang puasa dan terlupa sehingga memakan makanan di siang hari.
Untuk itu, orang yang makan sambil shalat, kalau memang benar-benar lupa, disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.
c. As-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bila orang menelan makanan atau minuman, meski jumlahnya sangat sedikit atau kecil, tetap saja membatalkan shalat. Bahkan meski dia tidak menginginkannya.
Mazhab ini juga menyebutkan bahwa melakukan banyak gerakan mengunyah makanan termasuk hal yang membatalkan shalat, meski makanan itu tidak sampai tertelan.
Hal-hal yang tidak termasuk membatalkan dalam perkara makanan menurut mazhab ini antara lain : kasus terlupa, baru kenal Islam, tidak ada ulama,
Orang yang makan waktu shalat karena lupa, shalatnya tidak dianggap batal, sebagaimana orang yang makan karena terlupa pada saat berpuasa.
Orang yang baru saja masuk Islam dan masih jahil atas ilmu-ilmu syariah, bila dia shalat sambil memakan makanan atau meminum minuman, dalam kadar tertentu diperbolehkan.
Bila ada orang Islam yang hidup terpisah dari masyarakat Islam, tanpa ada ulama yang mengerti hukum Islam, lalu dia shalat dan karena ketidak-tahuannya dia makan ketika shalat, dalam kasus ini ada keringanan.
d. Al-Hanabilah
Mazhab Al-Hanabilah membedakan antara shalat fardhu dengan shalat sunnah. Orang yang sedang melakukan shalat fardhu bila dia memakan sesuatu atau meminumnya, maka shalatnya batal. Meski pun yang dimakan itu sedikit.
Namun bila makan dan minum pada waktu shalat sunnah, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya. Kecuali apabila jumlah yang dimakan itu sangat banyak.
6. Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah
Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan imam, seperti bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya. Namun bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak termasuk yang membatalkan shalat.
As-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat adalah bila mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan rukun dalam shalat. Hal yang sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari gerakan imam.
7. Terdapatnya Air bagi Yang Tayammum
Seseorang yang tidak mendapatkan air untuk bersuci dari hadats, lalu bersuci dengan cara bertayammum untuk shalat, bila ketika shalat tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan berwudhu', maka saat itu otomatis shalatnya batal.
Karena halangan dari bersuci dengan air sudah tidak ada lagi. Maka begitu shalatnya batal, dia harus berwudhu' saat itu dan mengulangi lagi shalatnya.
Lain halnya bila shalat sudah dikerjakan, dan air baru kemudian ditemukan. Maka dalam keadaan seperti itu dia punya satu di antara dua pilihan. Pertama, dia boleh mengulangi shalatnya dengan berwudhu’. Kedua, dia tidak perlu lagi mengulangi shalatnya, karena sudah ditunaikan secara sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar