Sebuah fenomena pahit yang lagi menggejala di masyarakat. Yakni
kebiasaan mengalamatkan sebuah praktek amalan kepada organisasi atau
kelompok Islam tertentu. Jika ada sebuah tata amalan disampaikan,
langsung diidentifikasi, ini milik kelompok anu, sedangkan yang ini
praktek amalan kelompok anu. Sehingga ketika ada upaya perbaikan praktek
ibadah umat yang masih kurang sempurna bahkan penyimpangan sekalipun,
akan menghadapi kendala ini, karena bila telah dicap sebagai pendapat
dari kelompok tertentu, pasti berujung kepada penolakan. Tidak perduli
sekuat apapuin dalil dan hujjah agama yang disampaikan, karena sudah
divonis ‘produk orang lain’ go out.
Inilah buah pahit dari sifat jumud dan fanatik golongan. Yang tumbuh subur diatas lahan kebodohan. Keadaan ini terkadang diperparah dengan adanya segelintir oknum ‘ustadz’ yang seharusnya memberikan tuntunan atau pencerahan kepada umat, malah justru memanfaatkan kondisi, justru memupuk semangat jahiliyah ini, yang tentu saja untuk kepentingan dan ambisi mazhab dan kelompoknya.
Sudah saatnya umat Islam bangun dari tidurnya, bangun dari pemikiran picik dan sempit, sehingga dengan mudahnya menolak kebenaran hanya karena yang membawa atau yang dibawa tidak dari kelompoknya. Dan untuk bisa bangkit berdiri, yang dibutuhkan pertama kali adalah ilmu. Yang dibutuhkan adalah semangat tak kenal lelah untuk menimba ilmu syar’i. Ilmu akan menjadi cahaya dalam kegelapan bagi mereka yang bisa melihat. Bagi mereka yang buta sekalipun, ilmu akan menjadi sebatang tongkat, yang akan menuntunnya meniti jalan kebenaran.
Disunnahkan bagi imam untuk menghadap makmum, atau menghadap ke kanan atau ke kiri seusai shalat; berdasarkan hadits :
Inilah buah pahit dari sifat jumud dan fanatik golongan. Yang tumbuh subur diatas lahan kebodohan. Keadaan ini terkadang diperparah dengan adanya segelintir oknum ‘ustadz’ yang seharusnya memberikan tuntunan atau pencerahan kepada umat, malah justru memanfaatkan kondisi, justru memupuk semangat jahiliyah ini, yang tentu saja untuk kepentingan dan ambisi mazhab dan kelompoknya.
Sudah saatnya umat Islam bangun dari tidurnya, bangun dari pemikiran picik dan sempit, sehingga dengan mudahnya menolak kebenaran hanya karena yang membawa atau yang dibawa tidak dari kelompoknya. Dan untuk bisa bangkit berdiri, yang dibutuhkan pertama kali adalah ilmu. Yang dibutuhkan adalah semangat tak kenal lelah untuk menimba ilmu syar’i. Ilmu akan menjadi cahaya dalam kegelapan bagi mereka yang bisa melihat. Bagi mereka yang buta sekalipun, ilmu akan menjadi sebatang tongkat, yang akan menuntunnya meniti jalan kebenaran.
Disunnahkan bagi imam untuk menghadap makmum, atau menghadap ke kanan atau ke kiri seusai shalat; berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ
حَازِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ،
قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى
صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’, dari Samurah bin Jundab, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasanya jika telah usai mengerjakan shalat, berbalik menghadapkan wajahnya kepada kami (makmum)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 845].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ،
قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَن السُّدِّيِّ، عَنْ أَنَسٍ،
أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْصَرِفُ عَنْ
يَمِينِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari As-Suddiy, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpaling dari arah kanan (seusai shalat) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 708].
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ
سُلَيْمَانَ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ الْأَسْوَدِ، قَالَ:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: " لَا يَجْعَلْ أَحَدُكُمْ لِلشَّيْطَانِ شَيْئًا
مِنْ صَلَاتِهِ يَرَى أَنَّ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ لَا يَنْصَرِفَ إِلَّا
عَنْ يَمِينِهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ كَثِيرًا يَنْصَرِفُ عَنْ يَسَارِهِ"
Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Sulaimaan, dari ‘Umaarah bin ‘Umair, dari Al-Aswad, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah : Janganlah salah seorang di antara kalian menjadikan satu bagian pun dari shalatnya bagi syaithan, dimana ia berpendapat bahwa yang benar padanya adalah tidak berpaling kecuali dari sebelah kanannya. Dan sungguh aku telah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kebanyakan berpaling dari arah kiri (setelah shalat)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 852].
Tentang hikmah atau tujuan Nabi saw melakukan hal itu, ada beragam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa menghadapnya imam kepada makmum setelah shalat bertujuan untuk memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diperlukan makmum, sehingga dikhususkan bagi orang yang mendapati keadaan seperti Rasulullah saw ini memiliki kecakapan untuk mengajarkan dan memberi nasehat. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu untuk mengetahui selesainya shalat, karena sekiranya imam senantiasa pada duduknya setelah shalat, maka bias jadi difahami bahwa imam masih dalam tasyahud (belum selesai shalat). (Lihat Nailul-Authar, jilid 2 hal 326)
Ibn Qudamah di dalam kitab al-Mughni jilid 1 halaman 561 mengatakan bahwa berubahnya arah duduk imam adalah untuk memastikan telah selesainya shalat itu bagi imam. Hal ini agar makmum bisa memastikan bahwa imam telah benar-benar selesai dari shalatnya. Sebab dengan mengubah arah duduk, imam akan meninggalkan arah kiblat dan hal itu jelas akan membatalkan shalatnya.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa dengan menggeser arah duduk ke belakang atau ke samping, berarti imam sudah yakin 100% bahwa rangkaian shalatnya sudah selesai seluruhnya dan terputus. Tidak sah lagi apabila tiba-tiba ia teringat mau sujud sahwi atau kurang satu rakaat. Demikian disebutkan di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu Qasim ‘alar-Raudhah jilid 12 halaman 354-355.
Zain ibn Munir berpendapat bahwa membelakanginya imam kepada makmum itu adalah hak seorang imam, dan apabila shalat telah selesai maka hilanglah alasan untuk membelakangi makmum. Seorang imam yang menghadap kepada makmum saat itu adalah untuk menghilangkan kesombongan dan perasaan angkuh terhadap makmum. (Lihat Nailul-Authar, jilid 2 hal 326)
Begitu pula disunnahkan baginya untuk membaca istighfar dan dzikir allaahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam setelah salam berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنِ
الأَوْزَاعِيِّ، عَنْ أَبِي عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ : "كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ،
اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا، وَقَالَ: " اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ
السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ"، قَالَ الْوَلِيدُ:
فَقُلْتُ لِلأَوْزَاعِيِّ، كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ؟ قَالَ: تَقُولُ:
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rusyaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Al-Auzaa’iy, dari Abu ‘Ammaar – namanya adalah Syaddaad bin ‘Abdillah - , dari Abu Asmaa’, dari Tsaubaan, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca : Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam (Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Keselamatan) dan darimulah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Sang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan)”. Al-Waliid berkata : Aku bertanya kepada Al-Auzaa’iy : “Bagaimana bacaan istighfar itu ?”. Ia berkata : “Katakanlah : ‘Astaghfirullaah, Astaghfirullaah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 591].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي
شَدَّادٌ أَبُو عَمَّارٍ، حَدَّثَنِي أَبُو أَسْمَاءَ الرَّحَبِيُّ، قَالَ:
حَدَّثَنِي ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ
تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ".
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Auzaa’iy : Telah menceritakan kepadaku Syaddaad Abu ‘Ammaar : Telah menceritakan kepadaku Abu Asmaa’ Ar-Rahabiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaubaan maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau hendak beranjak dari shalatnya, beliau beristighfar kepada Allah tiga kali, kemudian membaca : ‘Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta yaa dzal-jalaali wal-ikraam”. [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 300. At-Tirmidziy berkata : “Hadits ini hasan shahih”].
Letak bacaan istighfar dan allahumma antas-salaamadalah sebelum berpaling menghadap makmum, berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ نُمَيْرٍ، قَالَا:
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الْحَارِثِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ، لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ، مَا
يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ
ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari ‘Aashim, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits, dari ‘Aaisyah : “Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam biasanya setelah mengucapkan salam, tidak duduk kecuali seukuran membaca : Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 592].
Kemudian diperjelas lagi oleh hadits :
حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ
مَعْدَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ، عَنْ
عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ، قَالَ: صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا، فَوَعَظَنَا
مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، ذَرَفَتْ لَهَا الْأَعْيُنُ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوبُ....
Telah menceritakan kepada kami Adl-Dlahhaak bin Makhlad, dari tsaur, dari Khaalid bin Ma’daan, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru As-Sulamiy, dari ‘Irbaadl bin Saariyyah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Shubuh bersama kami. (Setelah usai), beliau berbalik menghadap kepada kami, lalu menasihati kami dengan satu nasihat yang sangat jelas, yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati pun bergetar….” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/126; shahih].
Hadits ‘Irbaadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu di atas menyebutkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbalik menghadap shahabat dan menasihat mereka seusai shalat. Telah diketahui tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri shalatnya kecuali setelah membacaistighfar dan dzikir allahumma antas-salaam sebagaimana hadits-hadits di awal. Oleh karena itu, hadits ini memberitahukan kepada kita waktu bacaan dzikir allahumma antas-salaam…dst. itu adalah sebelum beliau berpaling menghadap makmum.
Lama beliau duduk menghadap kiblat sebelum berpaling dijelaskan oleh hadits berikut :
وحدثنا حامد بن عمر البكراوي وأبو كامل فضيل بن حسين الجحدري. كلاهما عن
أبي عوانة. قال حامد: حدثنا أبو عوانة عن هلال بن أبي حميد، عن عبدالرحمن
بن أبي ليلى، عن البراء بن عازب؛ قال : رمقت الصلاة مع محمد صلى الله عليه
وسلم. فوجدت قيامه فركعته، فاعتداله بعد ركوعه، فسجدته، فجلسته بين
السجدتين، فسجدته، فجلسته ما بين التسليم والانصراف، قريبا من السواء.
Dan telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar Al-Bakraawiy dan Abu Kaamil Fudlail bin Husain Al-Jahdariy, keduanya dari Abu ‘Awaanah - Haamid berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah - , dari Hilaal bin Abi Humaid, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : Aku mengamati shalat Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam, maka aku dapati berdirinya, rukuknya, i’tidal setelah rukuknya, sujudnya, duduknya antara dua sujud, sujud kedua, duduknya antara salam dan selesai shalat; lamanya hampir sama satu dengan lainnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 471].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
دليل على أنه صلى الله عليه وسلم كان يجلس بعد التسليم شيئًا يسيرًا في مصلاه
“Hadits ini sebagai dalil bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk sebentar setelah salam di tempat shalatnya” [Syarh Shahih Muslim, 4/188].
Yaitu, seukuran membaca istighfar dan allaahumma antas-salaam sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar