Makmum ialah orang shalat yang niat berjamaah dengan imam. Makmum
Muwafiq ialah orang yang niat shalat berjamaah sejak pertama sampai
terahir mengikuti pekerjaan shalat yang dilakukan oleh imam. Makmum
Masbuq ialah orang shalat niat berjamaah setelah imam selesai satu
rekaat atau lebih, atau setelah selesai imam membaca fatihah. Adapun
Makmum Mufaraqah ialah orang yang makmum di tengah shalat hendak
memisahkan diri (munfarid) dari jamaah karena sesuatu hal dan kemudian
menyelesaikan shalatnya secara pribadi tanpa menganut pada imam.
Syarat-syarat makmum hendaklah dimasyhurkan dan dimasyarakatkan kepada
orang-orang yang belum faham. Diantara mereka banyak yang mengrjakan
shalat berjamaah, tetapi hanya sekedar ikut-ikutan, dan tidak mau
belajar tata caranya yang diatur dalam kitab-kitab fiqih.
Istilah fiqih, apabila disebut sebagai ilmu ialah :
“Suatu bidang ilmu yang menerangkan hukum-hukum syar’iyah berbentuk
amaliyah lahiriyah yang digali dari dalil-dalil syar’iyah (al-Qur’an dan
al-Hadis secara terperinci)”.(Fath al-Qarib pada Hamisy al-Bajuri:
I/18-19).
Maka patutlah bagi ulama mengamalkan ilmunya, menyebarkan dan
mengajarkan ilmu tentang syarat-ayarat makmum kepada orang-orang awam
yang belum mafhum. Akan tetapi masih pula didapati pada shalat jamaah
orang-orang yang tak mau belajar kaifiyatnya. Akibatnya shalat jamaah
mereka tidak sah dan mendapat dosa.
Dengan kenyataan seperti itu, maka syarat-syarat makmum wajib dijelaskan
jumlah dan perinciaannya. Dari 12 macam syarat-syarat sah makmum,
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, syarat-syarat mathlub makmum, dan
Kedua, syarat-syarat mathlub imam.
Mathlub makmum ialah syarat-syarat sah yang dituntut untuk dipenuhi oleh
si makmum sendiri. Sedang mathlub imam ialah, syarat-syarat sah yang
dituntut dan dmiliki bagi imam. Atau makmum harus mengetahui bahwa
syarat lima itu harus ada pada imam. Kalau kurang dari lima syarat tadi,
makmum tidak sah berjamaah dengannya. Dengan demikian 12 syarat makmum
tersebut harus dipegang semuanya oleh makmum (Abyanal Hawaij: II/322).
Kedua mathlub tersebut harus diketahui oleh si makmum yang bersangkutan,
karena juga sebagai syarat sah yang dilakukan si makmum.
Syarat Mathlub Makmum
Bahwa syarat-syarat sah yang diperintahkan untuk dipenuhi oleh makmum, atau mathlub makmum ialah sebanyak tujuh perkara:
1. Jangan sampai tumit makmum mendahului dari tempat berdirinya imam.
Tidak mengapa kalau yang mendahului hanya jari-jari kaki saj atau
sepadan tumitnya dengan tumit imam. Tetapi kedua hal tersebut adalah
makruh. (Fathul Mu’in: 36)
2. Mengetahui pada peralihan imam dalam gerakan rku’, sujud dan lainnya.
Cara mengetahui boleh dengan barisan (shaf) atau dengan suara orang
yang menyampaikan (mubaligh) atau dengan cara lain (Fathul Mu’in: 37)
3. Berkumpul imam dan makmum dalam satu tempat. Jangan lebih dari
tigaratus zira’ (+ 150 meter) jarak antara imam dan makmum. Hal ini
apabila shalat si imam di dalam masjid, sedang makmum berada di luar
masjid. Akan tetapi kalau imam dan makmum dalam satu masjid, aturan
tersebut tidak berlaku. Bahkan andaikata antara imam dan makmum berjarak
lebih jauh dari ketentuan itupun tidak mengapa (Fathul Mu’in: 37)
4. Berniyat menganut kepada imam dan makmum.
5. Muwafakati makmum terhadap shalatnya imam. Tidak sah shalat dhuhur
menganut pada imam yang menshalaatkan mayat. Karena jelas berbeda
praktek shalat anatara imam dan makmum.
6. Muwafakati pada pengamalan sunnah yang dikerjakan oleh imam.
Janganlah terlalu berbeda dari sunnah yang dikerjakan oleh imam.
Seperti imam melakukan sujud shawi (sujud karena lupa), sedangkan
makmum tidak melakukannya, dan demikian pula sebaliknya. Atau imam
meninggalkan tahiyyat awal, sedang makmum melakukannya, dan demikian
pula sebaliknya. Apabila terjadi pelanggaran “perbedaan jauh” dengan
sengaja dan ia mengetahuinya, maka shalat si makmum menjadi batal. Lain
masalah kalau sunnah yang dikerjakan itu tidak terlalu jauh berbeda
dengan imam, maka shalatnya tidak batal. Seperti imam membaca qunut,
sedang si makmum tidak membacanya, atau sebaliknya (Fathul Mu’in: 37).
7. Takbiratl Ihram si makmum setelah selesai takbiratul ihramnya imam.
Syarat-syarat Mathlub Imam
Bahwa syarat-syarat yang harus terpenuhi (mathlub) oleh imam ialah
sebanyak lima perkara. Akan tetapi syarat lima perkara itu merupakan
tuntutan untuk diketahui oleh makmum, ialah:
1. Keyakinan atau kemantapan hati si makmum terhadap shalatnya imam
tidak salah. Artinya makmum sudah tidak ragu-ragu lagi atas kebenaran
shalatnya imam. Salah satu contoh imam yang sudah dikenal benar
bacaannya, benar praktek shalatnya. Contoh lain orang Ahlussunnahmakmum
kepada Ahlussunnah. Tidak sah makmum kepada imam beda firqoh /aliran
Murji’ah, Kharajiya, Qadariyah, Jabariyah. syi'ah Bermazhab Syafi’i
bermakmum kepada imam bermazhab Syafi’i.
2. Seorang imam itu bukan orang yang sedang makmum, baik ketika
sendirian shalatnya (munfarid) ataupun niat menjadi imam shalat. Artinya
makmum tidak menemukan sesuatu sebab imam akan mengulang kembali
shalatnya nanti (mu’adah), misalnya hadtsnya imam, kufurnya imam dan
lain-lain. Seperti dalam Hamisy Busyral Karim disebutkan:
ولوصلّى خلفة ثمّ تبيّن كفره او جنوبه اوكونه امرأة او مأموما
اوامّيّاااعادها لاان بان محدثا او جنبااوعليه نجاسة خفيّة او ظاهرة. هامش
يشرى الكريم الجزءالاول:123)
“Jika seorang shalat di belakang imam, kemudian ternyata kufurnya, atau
gilanya si imam, atau adanya imam perempuan, atau sedang makmum, atau
ummy, maka mengulanglah makmum akan shalatnya.”
Al-Muqaddimatul Hadlramiyah Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
ومحلّ هذاوماقبله في غير الدمعة وفيها ان زدالاماعلى الاربعين والاّ بطلت
لبتلان صلاة الامام فلم يتمّ العدد , مختصر بفضال هامش الحوشي المدانية
جزئ:2 صحفه: 11.
“Dan tempatnya ini dan yang sebelumnya itu pada selain shalat Jum’at,
dan pada Jum’at jika lebih imam itu dari 40 orang. Dan jika tidak lebih
dari 40 orang batallah Jum’at, karena batalnya shalat imam, maka tidak
sempurnalah bilangan 40 orang”. (Mukhtashar: II/11)
3. Shalatnya iamam tidak akan wajib mengulang.
4. Bacaan imam jangan ummy (rusak), baik karena malas belajar atau
terdapat padanya uzur, kalau ternyata si makmum itu qari’ (benar bacaan)
di dalam Fatihah atau ayat al-Qur’an. Tidak sah pula ummy makmum dengan
imam ummy yang berbeda umminya dari bacaan huruf.
5. Imam itu harus benar-benar orang lelaki, kalau makmum itu juga lelaki, atau khuntsa
Gambaran makmum sembilan orang itu sah dalam lima perkara:
(1) makmum lelaki dengan lelaki,
(2) wanita dengan lelaki,
(3) khuntsa dengan lelaki,
(4) wanita dengan khuntsa, dan
(5) wanita dengan wanita.
Dan batal dalam empat perkara:
(1) makmum lelaki dengan wanita,
(2) lelaki dengan khuntsa,
(3) khuntsa dengan wanita,
(4) khuntsa dengan khuntsa
(Syarh Kasyifat al-Syaja’ ala Safinat al-Naja: 89)
lalu bagaimana bila imam tersebut belum baligh, tapi dia laki laki...
jawabnya : SAAAAAAAAAH....
Kalangan Syafi’iyyah mengabshah kan dan membolehka nnya namun dalam
kondisi normal hendaknya tidak menjadikan imam shalat kecuali yang
telah dewasa yang tahu tentang shalat agar dapat mengatasi hal-hal yang
tiba-tiba terjadi dalam shalat.
(فرع) في مذاهب العلماء في صحة امامة الصبى للبالغين: قد ذكرنا ان مذهبنا
صحتها وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري واسحق ابن راهويه وابي ثور قال
وكرهها عطاء والشعبى ومجاهد ومالك والثوري واصحاب الرأى وهو مروى عن ابن
عباس وقال الاوزاعي لا يؤم في مكتوبة الا ان لا يكون فيهم من يحفظ شيئا من
القرآن غيره فيؤمهم المراهق وقال الزهري ان اضطروا إليه أمهم قال ابن
المنذر وبالجواز اقول وقال العبدرى قال مالك وأبو حنيفة تصح امامة الصبى في
النفل دون الفرض وقال داود لا تصح في فرض ولا نفل وقال احمد لا تصح في
الفرض وفى والنفل روايتان وقال القاضى أبو الطيب قال أبو حنيفة ومالك
والثوري والاوزاعي واحمد واسحق لا يجوز ان يكون اماما في مكتوبة ويجوز في
النفل قال وربما قال بعض الحنفية لا تنعقد صلاته
MENERANGKAN TENTANG PENDAPAT MADZHAB ULAMA DALAM KEABSAHAN MENJADI IMAM SHALATNYA BOCAH ATAS ORANG-ORAN G DEWASA
Telah kami sebutkan bahwa dikalangan kami ((Syafi’iyyah) mengabshah kan
keimaman bocah atas orang dewasa pendapat demikian dihkayahka n oleh Ibn
Mundzir dari Hasan al-Bashri, Ishaq, Ibn Rahaawih dan Abu Tsaur,
sedang Imam ‘Atha’, as-Syi’bi, Mujahid, Malik dan ats-Tsaury serta
para Ashab ar-Ra’yi dengan meriwayatk an dari Ibn Abbas memakruhka nnya.
al-Auzaa’i berkata “Jangan dijadikan imam shalat lima waktu kecuali
bila disana tidak terdapati seorangpun yang hafal sedikitpun dari
ayat-ayat al-Quran”.
az-Zuhry berkata “Bila dibutuhkan (terpaksa) jadikan ia imam”.
Sedang dalam kebolehan menjadi imamnya seorang bocah atas orang dewasa
dalam shalat diatas Ibn Mundzir menyatakan beberapa pendapat :
al-‘Abdari berkata “Imam Malik dan Abu Hanifah sah dalam shalat sunat bukan shalat wajib”.
Daud berkata “Tidak sah dalam shalat wajib ataupun shalat sunat”.
Imam Ahmad berkata “Sah dalam shalat wajib sedang dalam shalat sunat terdapat dua riwayat”.
al-Qadhi Abu Thayyib, Abu Hanifah, Malik, ats-Tsauri , al-Auzaa’i ,
Ahmad dan Ishaq berkata “Tidak boleh dalam shalat wajib dan boleh dalam
shalat sunat
dan sebagian kalangan Hanafiyyah menyatakan tidak sah shalatnya” Al-Majmuu ala Syarh al-Muhadzd zab IV/249
إمَامَةُ الصَّبِيِّ لم يَبْلُغْ * + ( قال الشَّافِعِ يُّ ) رَحِمَهُ
اللَّهُ تَعَالَى إذَا أَمَّ الْغُلَامُ الذي لم يَبْلُغْ الذي يَعْقِلُ
الصَّلَاةَ وَيَقْرَأُ الرِّجَالَ الْبَالِغِ ينَ فإذا أَقَامَ
الصَّلَاةَ أَجْزَأَتْ هُمْ إمَامَتُهُ وَالِاخْتِ يَارُ أَنْ لَا
يَؤُمَّ إلَّا بَالِغٌ وَأَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ الْبَالِغُ عَالِمًا
بِمَا لَعَلَّهُ يَعْرِضُ له في الصَّلَاةِ
Menjadi imamnya bocah yang belum balighImam Syafi’i berkata “Bila bocah
yang belum baligh namun ia telah mengerti tentang shalat dan tahu
bacaan-bac annya mengimami orang-oran g yang telah dewasa maka boleh
keimamanny a namun dalam kondisi normal hendaknya tidak menjadikan imam
shalat kecuali yang telah dewasa yang tahu tentang shalat agar dapat
mengatasi hal-hal yang tiba-tiba terjadi dalam shalat. Al-Umm I/166
Makmum Masbuq
Setiap muslim dianjurkan untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid
tepat pada waktunya. Namun dalam prakteknya ada diantara kaum muslimin
yang masih tertinggal sholat berjamaah atau lebih di kenal dengan
istilah Masbuq. Maka seperti apakah permasalahan Masbuq itu?
1. Devinisi Masbuq
Secara etimologi Masbuq adalah isim maf’ul dari kata “ سبق” yang bermakna “ terdahului/tertinggal”.
Adapun secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian
raka’at atau semuanya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang
mendapati imam setelah raka’at pertama atau lebih dalam sholat
berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin,
1/400)
2. Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat mengenai kapan seorang makmum itu disebut masbuq.
Pendapat Pertama:
Yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut
masbuq itu apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam. Jika seorang
makmum mendapati imam sedang ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka
ia mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut masbuq. Dan gugurlah
kewajiban membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil Pendapat Pertama:
مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ { أبو داود ، الفقه الإسلامي – سليمان رشيد 116 }
Artinya: “Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى
الله عليه و سلم : ” إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ
فَاسْجُدُوْا وَ لاَ تَعُدُّوْهاَ شَيْئاً وَ مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ “ { رواه أبو داود 1 : 207،عون المعبود 3 :
145}
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “
Apabila kamu datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka
bersujudlah, dan jangan kamu hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa
yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at dalam sholat
(nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud
3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’,
maka yang mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia
mendapatkan satu raka’at. (Al-Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 :
145)
إِنَّ أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم وَ
هُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اللهُ حِرْصاً وَ
لاَ تُعِدْ “ { رواه البخاري، فتح الباري 2 : 381}
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW
(sedangkan) Nabi SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum
sampai menuju shaf. Hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW
bersabda (kepadanya) : “ Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, tetapi
jangan kamu ulangi lagi ”.
Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur
ulama seorang dikatakan masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bersama
imam.
Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia
tertinggal bacaan surat Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari
ulama. Diantaranya adalah ucapan Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam
Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang imam dari setiap pendapat
yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam. Demikian pula
pendapat Ibnu Khuzaimah, Dhob’idan selain keduanya dari Muhaddits
Syafi’iyyahkemudian diperkuat oleh Syaikh Taqiyyuddin As-Subki dari
Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia berkata: “Aku telah
mengkaji permasalahan ini dan aku menghimpunnya pada pengkajianku secara
fiqih dan hadits maka aku tidak mendapatkan darinya selain yang telah
aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at dengan mendapatkan ruku’.
(‘Aunul Ma’bud 3:146)
Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang
menyatakan bahwa makmum yang mendapatkan ruku bersama imam maka ia
mendapatkan satu raka’at. Diantaranya:
Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan
seperti tersebut diatas. Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil
saja.
Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernamaYahya Bin Abi Sulaiman
Al-Madani. Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin
Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul
hadits. ( Mizanul I’tidal 4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang
dimaksud dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah:
“ Setiap orang yang aku nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat
dijadikan hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ tidak
boleh meriwayatkannya”. ( Fathul Mughits 1 : 346 ). Imam
Syaukaniberkata : “Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka,
kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut raka’at itu (mencakup) semua
aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syar’i, maupun ‘urf
(kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti
menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli Ushul Fiqih. ( Nailul
Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai
hadits Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat
dijadikan hujjah / alasan / argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut
(yaitu termasuk raka’at asalkan mendapat ruku’) kerana pada hadits
tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud,
Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan
dalil yang menguatkan pendapat mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi)
tidak ada perintah mengulangi (raka’at), tapi juga tidak menyatakan
terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan kepadanya agar lebih
bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung satu raka’at. ( ‘Aunul
Ma’bud, 3:146 )
Adapun dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk
apabila tertinggal bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قاَلَ : إِنْ أَدْرَكْتَ
الْقَوْمَ رُكُوْعاً لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ. { رواه البخاري،
عون المعبود{ 3:147,
Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : “ Jika engkau mendapatkan
suatu kaum sedang ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R
Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Imam Syaukani berkata: “Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban
membaca Al-Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan
kami telah menjelaskan bahwa dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan
hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat sahnya sholat. Maka
siapa saja yang mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah,
ia haruslah menunjukkan keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil
tersebut.”
عَنْ قَتاَدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم كَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفاَتِحَةِ الْكِتاَبِ. { رواه الترمذي
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”. ( H.R At-Tirmidzi )
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قاَلَ :
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقاَمَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَ عَلَيْكُمُ
السَّكِيْنَةَ وَ الْوِقاَرَ وَ لاَ تُسْرِعُوْا فَماَ أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوْا وَ ماَ فاَتَكُمْ فَأَتِمُّوْا. { رواه الجماعة، فتح الباري{ 2:
167,
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar
Iqamah, pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta
tidak terburu-buru. Apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan
apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah ”. ( H.R
Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )
Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari :
Hadits tersebut dapat dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang
mendapatkan imam sedang ruku tidak dihitung raka’at, kerana ada perintah
untuk menyempurnakan (apa-apa) yang ketinggalan, sedangkan (dalam hal
ini) jelas makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca fatihah).
(Fathul Bari : 2: 170)
Imam Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan
pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam
dalam keadaan ruku’, termasuk raka’at bersamanya (imam) dan dapat
dihitung satu raka’at sekalipun tidak mendapat bacaan (Al-Fatihah)
sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 147 )
Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta
tokoh agama, beliau berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama
dengan imam) tidak dihitung mendapat raka’at, sampai ia membaca
Fatihatul Kitab (dengan sempurna), maka ia mesti mengulangi lagi raka’at
(yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) setelah imam salam. ( Aunul
Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )
3. Waktu Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Raka’at yang terlewat.
Menurut Madzhab Hanafi :
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal
bukanlah setelah dua salam, tetapi menunggu selesainya imam, dan diam
sejenak sampai imam bangkit untuk melaksanakan sholat sunnah jika
setelahnya ada sholat sunnah. Atau membelakangi mihrab jika setelahnya
tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah dari tempatnya.
Dan tidak boleh berdiri sebelum salam setelah tasyahud kecuali di
beberapa kondisi: – apabila seorang pengukur tanah takut kehilangan
masanya. – atau yang memiliki kebutuhan takut keluar dari waktunya.
Apabila yang masbuk pada sholat jum’at khawatir masuk pada waktu ashar.
Atau masuk sholat zhuhur pada sholat ‘id, atau terbit matahari pada
sholat shubuh. Ataupun khwatir berhadats. Maka bagi yang tersebut itu
boleh untuk tidak menunggu selesainya imam.
Menurut Madzhab Maliki:
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’atnya yang
terlewat setelah imam salam. Apabila ia berdiri sebelum imam salam, maka
sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)
Menurut MAdzhab Safi’i:
Disunnahkan bagi yang masbuk untuk menyempurkan raka’at yang tertinggal
setelah imam menyelesaikan kedua salamnya. Jika ia berdiri setelah imam
selesai mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, pada salam pertama, maka boleh.
Jika ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam maka sholatnya
batal. Sekalipun ia berdiri setelah imam mengucapkan salam sebelum
selesai membaca: “’alaikum”, maka hukumnya seperti apabila ia berdiri
sebelum imam mengucapkan dua salam. (Roudhoh at-Tholibin 1/378 dan
Majmu’, 3/487)
Menurut Madzhab Hanbali:
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang luput
setelah salam kedua imamnya. Jika ia berdiri sebelum salam imam dan
tidak kembali untuk berdiri setelah salamnya. Maka sholatnya berubah
menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat 1/248 dan al-Inshaf, 2/222)
Menyempurnakan Raka’at yang Tertinggal.
Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa
apa yang didapati seorang masbuk dari sholatnya bersama imam maka itu
adalah akhir sholatnya. Dan apa yang disempurnakan oleh seorang masbuk
adalah raka’at awal sholatnya. (Al-Bahru Raiq, 1/313, Asy-Syarh
Ash-Shagir 1/458, dan Al-Inshaf 4/225)
Menurut Madzhab Syafi’i; Apa yang didapati masbuk dari sholat bersama
imam maka itu adalah awal sholatnya. Dan apa yang disempurnakannya
setelah imam salam adalah akhirnya. Berdasarkan sabda Rosulullah: “Maka
apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang kamu luput
(bersama imam) maka sempurnakanlah”. Dan penyempurnaan sesuatu itu
tidaklah ada kecuali setelah permulaannya. Berdasarkan ini, apabila ia
sholat shubuh bersama imam pada raka’at yang kedua kemudian qunut
bersama imam, maka ia harus mengulang qunut. Kalau ia mendapati satu
raka’at sholat magrib bersama imam, maka tasyahud yang keduanya itu
sunnah, karena ia menempati tasyahudnya yang pertama. Dan tasyahudnya
bersama imam lil mutaba’ah (mengikuti) hal itu adalah hujjah bahwa apa
yang ia dapati bersama imam adalah permulaan sholatnya. (Mugni Al-Muhtaj
1/206)
4. Mengangkat Imam Pada Sholat Masbuq?
Pada dasarnya tidak apa-apa seorang yang masbuk menjadi imam. Apabila
seseorang datang untuk sholat berjama’ah, sedangkan imam dan jama’ahnya
sudah selesai melaksanakan shalat. Kemudia ia mendapatkan seorang masbuk
yang sedang menyempurnakan raka’at yang tertinggal, maka ia berdiri
disamping kanannya dan menjadikan orang yang masbuk itu imam untuknya
supaya mendapatkan pahala berjamaah. Maka insya Allah hal tersebut sah.
Pada contoh seperti ini, Syaikh Bin Baz berkata : “Tidak apa-apa akan
hal tersebut insya Allah menurut yang shohih”. Dan ia berkata:
“Dianjurkan baginya sholat bersama yang masbuk dimana ia berdiri
disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapatkan fadhilah sholat
berjama’ah. Dan orang yang masbuk merubah niatnya menjadi imam, maka
tidaklah mengapa pada hal tersebut menurut ucapan para ulama yang paling
shohih”. (Kitab Ad-Da’wah 2/117)
Tapi bagaimana jika mengangkat yang masbuk menjadi imam untuk yang
masbuk. Misalkan ada tiga orang masbuk. Setelah imam salam, kemudian
mereka berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal dan
mengangkat imam dari salah seorang diantara mereka. Maka dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat Pertama:
Menurut pendapat ini, mengangkat yang masbuk menjadi imam pada sholat
masbuk itu tidak boleh, bahkan sebagian dari mereka mengkategorikannya
kepada perbuatan bid’ah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya satu pun
dalil yang menjelaskan secara shorih bahwa Rosulullah memerintahkan atau
mencontohkannya.
Ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat memberi salam
(selesai shalat), kemudian Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan Mughirah
menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal sendiri-sendiri tidak
membuat jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)
Pendapat Kedua:
Pendapat ini membantah pernyataan pendapat pertama, bahwa tidak boleh
mengangkat imam pada sholat masbuk. Pendapat ini merujuk pada hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Mugirah bin Syu’bah diamana
hadits ini menjelaskan bahwa Mugirah bersama Rosulullah pernah masbuq.
Adapun hadits tersebut sebagai berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ
فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ
يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ
مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ
ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى
خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ
قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ
فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا.
Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah
tertinggal (dari rombongan pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau,
ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu ada
air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua
telapak tanganya, wajahnya dan menyingkap lengannya, namun lengan
jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa
jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh
kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya
serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian beliau naik
(kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum
(para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin
Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika (Abdurrahman bin Auf)
menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi
isyarat kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami
shalat mereka, maka ketika Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat),
Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat
yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu ‘ala An-Nashiyah
wa al-‘Imamah no: 81)
أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ
فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ
الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا
رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ
أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ
ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ
عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي
الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ
ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ
أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ
قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى
الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا
سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ
الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ
قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا
الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا
Artinya: “Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia
berperang bersama Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata;
Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang tertutup,
maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau
kembali, aku tuangkan air dari ember itu ketangannya, beliau membasuh
tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya
untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka
Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari
bawah jubah, maka beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya,
kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki,
tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang
terbuat dari kulit), kemudian beliau bergegas (menyusul rombongan),
Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati
romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf
yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika
Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan
shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah
menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah
selesai shalat, beliau menghadap kepada para sahabat dan berkata:
ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau
waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat
tepat pada waktunya”. (HR. Imam Muslim 2/107 no: 105)
Itulah diantara dalil pendapat kedua ini yang menjelaskan bahwa
Rosulullah dan Mugirah masbuk kemudian mereka menyempurnakan raka’at
yang tertinggal secara berjama’ah. Hal teresebut seperti yang disebutkan
dalam hadits :
“قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا “
yang artinya : Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal.
Penggunaan dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa
orang pertama dan ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan
secara bersama-sama. Berarti melakukan rakaat shalat yang ketinggalan
itu dengan berjamaah.Apabila tidak diartikan demikian harus menunjukkan
qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita lihat
penggunaan dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat
Muslim.
Oleh karena iltu lah pendapat ini berpegang pada hadits tersebut, bahwa
seorang masbuk boleh mengangkat imam pada sholat masbuk. Kemudian juga
didukung dengan hadits yang menjelaskan tentang keutamaan sholat
berjamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar