Al-Hafidz Ibn Hajar rahmatullah ‘alaih mengatakan,
إِلَى صِحَّة إِمَامَة الصَّبِيّ ذَهَبَ الْحَسَن الْبَصْرِيّ
وَالشَّافِعِيّ وَإِسْحَاق , وَكَرِهَهَا مَالِك وَالثَّوْرَيْ , وَعَنْ
أَبِي حَنِيفَة وَأَحْمَد رِوَايَتَانِ ، وَالْمَشْهُور عَنْهُمَا
الْإِجْزَاء فِي النَّوَافِل دُونَ الْفَرَائِض
Tentang keabsahan anak kecil (mumayiz) yang menjadi imam merupakan pendapat Hasan Al-Bashri, As-Syafii, dan Ishaq bin Rahuyah. Sementara Imam Malik dan Ats-Tsauri melarangnya. Sementara ada dua riwayat keterangan dari Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Pendapat yang masyhur dari dua ulama ini (Abu Hanifah dan Imam Ahmad), anak kecil sah jadi imam untuk shalat sunah dan bukan shalat wajib. (Fathul Bari, 2/186)
Dalil mengenai hal ini adalah hadis dari Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
كُنَّا بِحَاضِرٍ يَمُرُّ بِنَا النَّاسُ إِذَا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانُوا إِذَا رَجَعُوا مَرُّوا بِنَا،
فَأَخْبَرُونَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ: كَذَا وَكَذَا وَكُنْتُ غُلَامًا حَافِظًا فَحَفِظْتُ مِنْ ذَلِكَ
قُرْآنًا كَثِيرًا فَانْطَلَقَ أَبِي وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ فَعَلَّمَهُمُ
الصَّلَاةَ، فَقَالَ: «يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ» وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ
لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِي فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَيَّ
بُرْدَةٌ لِي صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ…، فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَأَنَا ابْنُ
سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ
“Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku bisa menghafal banyak ayat Al-Quran dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat. Beliau bersabda, “Yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan qurannya.” Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal. Sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Akupun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning…, aku mengimami mereka ketika aku berusia 7 tahun atau 8 tahun.” (HR. Bukhari 4302 dan Abu Daud 585).
Seorang imam harus menjadi orang yang paling mengerti terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan sholat jama’ah secara khusus, Hak dan kewajiban sebagai imam dan juga hak kewajiban sebagai makmum. Karena baik dan buruknya pelaksanaan sholat jama’ah menjadi tanggung jawab seorang imam. Oleh karena itu, selain kefasihan dalam membaca Al Qur’an yang tentunya menjadi syarat mutlak menjadi imam, seorang imam juga dinilai pengenalannya terhadap sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bila ada dua orang yang sama tingkatannya dalam hafalan dan bacaan Al Qur’an, maka untuk menjadi imam dipilih yang paling mengenal sunnah.
Sering kali kita saksikan para khotib jum’at, mereka hebat dalam menyampaikan materi khotibnya tapi cacat baca Al Qur’annya, baik itu cacat saat mereka baca Al Qur’an ketika menjadi khotib dan juga cacat ketika mereka menjadi imam sholat.
Imam mempunyai tanggung jawan untuk makmumnya, maka dari itu seorang imam sangat membutuhkan dirinya yang berkualitas.
Sahabat mulia, Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu bercerita,
أَتَيْنَا النَّبِيَّ, وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا
عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا
وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ
رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ: ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتِ
الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ
أَكْبَرُكُمْ
“Kami pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, kami semua pemuda sebaya. Kami pun bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selama 20 hari 20 malam. Setelah memandang bahwa kami telah merindukan keluarga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami tentang keluarga yang kami tinggalkan. Kami pun menceritakannya kepada beliau. Ternyata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah itu beliau bersabda, ‘Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah di antara mereka, ajari dan perintahkan mereka (untuk melaksanakan Islam). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat. Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam’.”
Kedudukan Hadits Malik bin al- Huwairits radhiyallahu ‘anhu
Hadits di atas, dengan tambahan lafadz ( وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ), dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah di tiga tempat dalam Shahih al-Bukhari,
1. Kitab al-Azan (no. 631)
2. Kitab al-Adab (no. 6008)
3. Kitab Akhbarul Ahad (no. 7246)
Ketiga riwayat tersebut bersumber dari jalur Ayyub dari Abu Qilabah dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Mengenai sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, beliau adalah Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits bin Asyam bin Zabalah bin Hasyis. Beliau berasal dari suku Sa’d bin Laits bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah. Beliau menetap di Bashrah hingga wafatnya pada 74 H. Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu memiliki beberapa hadits di dalam Shahih al- Bukhari, seluruhnya berkenaan dengan tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Peristiwa datangnya Malik bin al- Huwairits radhiyallahu ‘anhu bersama rombongan dari suku Laits disebutkan oleh sebagian ahli sejarah terjadi pada tahun al- Wufud (tahun kedatangan utusan secara bergelombang dari berbagai negeri untuk menyatakan keislaman). Ibnu Sa’d rahimahullah menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. (Fathul Bari, 13/292—293)
Pandangan Ulama tentang Hadits Ini
Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan, “Hadits ini adalah landasan yang kuat untuk menyatakan bahwa apa yang dilakukan dan yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat adalah bayan (penjelasan) tentang perintah shalat yang masihmujmal (global) di dalam al-Qur’an.” (Subulus Salam) Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan tentang wajibnya seluruh perbuatan dan ucapan di dalam shalat yang tsabit (sahih) dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam. Yang mendukung hal ini adalah tata cara tersebut merupakan bentuk bayan(penjelasan) terhadap firman Allah Subhanahu wata’ala yang masih mujmal (global) dari ayat,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
‘Dan dirikanlah shalat.’ (al- Baqarah: 43)
Perintah di atas adalah perintah al- Qur’an yang menunjukkan wajib. Danbayan (penjelasan) untuk bentuk mujmal(global) yang wajib juga dihukumi wajib.” (Nailul Authar 2/175)
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat,”
diterangkan oleh al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “ (Kalimat ini) adalah bentuk perintah yang mencakup segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalatnya. Hal-hal yang dikecualikan oleh ijma’ atau riwayat, maka tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya di dalam shalat. Adapun yang tidak dikecualikan oleh ijma’ atau riwayat, maka hal itu adalah perintah yang tidak boleh ditinggalkan oleh kaum muslimin seluruhnya, apa pun alasannya.” (al- Ihsan, 3/286)
Beberapa Hukum dan Faedah dari Hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu
Ada banyak hukum dan faedah yang dapat dipetik dari hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu antara lain,
1. Semangat setiap muslim untuk menyampaikan ilmu dan kebenaran.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah memberikan judul bab untuk hadits di atas di salah satu pembahasannya, “Motivasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Utusan Suku Abdul Qais Agar Mereka Menghafalkan Iman dan Ilmu lalu Menyampaikannya kepada Masyarakat Mereka.” Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada kami, ‘Pulanglah kepada keluarga kalian dan ajarkanlah ilmu kepada mereka’.”
2. Azan dan iqamat disyariatkan untuk shalat saat sedang safar.
Hukum ini diambil dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits di atas,
وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكمْ
“Jika waktu shalat telah tiba, hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan untuk kalian.”
Al-Imam Bukhari rahimahullah membuatjudul untuk hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Azan dan Iqamat bagi Musafir Apabila Mereka Berjamaah”.Dalil lain adalah hadits Abu Qatadah rahimahullah dalam riwayat Muslim (no. 681) yang secara panjang mengisahkan salah satu safar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perjalanan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat tertidur sampai matahari terbit. Kemudian Bilal Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan azan. Dalil berikutnya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2203), beliau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَعْجَبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ
يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ:
انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا، يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ
مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
“Rabb kalian kagum terhadap seorang penggembala kambing yang berada di puncak bukit. Ia mengumandangkan azan dan melaksanakan shalat. Lalu Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman, ‘Lihatlah hamba- Ku ini. Ia mengumandangkan azan dan melaksanakan shalat karena takut kepada-Ku. Sungguh, Aku telah memberikan ampunan untuknya dan Aku akan memasukkannya ke dalam surga’.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah membuat judul untuk hadits di atas, bab “Azan di Saat Safar.” Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalamash-Shahihah (1/65).
3. Bersikap kasih sayang dan lembut kepada sesama manusia.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah memberikan judul untuk hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Bersikap Rahmat kepada Binatang dan Manusia”. Faedah ini dipahami dari keterangan Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang menilai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang penuh kasih dan kelembutan.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar radhiyallahu ‘anhu menerangkan bahwa ada dua riwayat di dalam Shahih al-Bukhari untuk lafadz
,(رَفِيقًا)
رَفِيقًا) )
dengan huruf fa’ kemudian qaf
رَقِيقًا) ),
dengan huruf qaf kemudian qaflagi. Adapun di dalam riwayat Muslim hanya dengan lafadz
( رَقِيقًا ),
dengan huruf qaf kemudian qaf lagi. Namun, kedua lafadz tersebut satu makna.
4. Keterangan tentang salah satu kriteria imam shalat.
Adapun kriteria seorang muslim yang berhak menjadi imam telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits secara berurutan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي
الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي
السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي
الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ
الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ
إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Yang berhak menjadi imam shalat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Jika mereka setara dalam bacaan al- Qur’an, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah NabiShallallahu ‘alaihi wasallam, (yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu) Dalam riwayat lain, ada tambahan lafadz,
فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا
“Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang paling tua di antara mereka.”
Dengan demikian, yang paling berhak menjadi imam shalat secara berurutan adalah;
1. Yang paling pandai membaca al-Qur’an. Jika sama-sama pandai,
2. Yang paling mengerti tentang sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu. Jika sama-sama mengerti,
3. Yang paling pertama melaksanakan hijrah. Jika sama dalam hal hijrah,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam. Jika bersama masuk Islam,
5. Yang lebih tua.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-aqra’, apakah yang paling baik bacaannya ataukah yang paling banyak hafalannya? Jawabannya adalah yang paling baik bacaannya. Maknanya, yang bacaannya sempurna dengan pengucapan huruf sesuai dengan makhrajnya. Adapun keindahan suara bukanlah syarat. Jika ada dua orang;
1. Bacaan al-Qur’annya sangat baik.
2. Bacaannya baik, namun tidak sebaik orang pertama, hanya saja ia lebih menguasai fikih tentang shalat dibandingkan dengan orang pertama. Dalam hal ini, orang kedua lebih berhak untuk menjadi imam shalat. Pembahasan ini tidak berlaku jika pada pelaksanaan shalat berjamaah di sebuah masjid telah ditunjuk imam tetap, maka imam tetap tersebut yang paling berhak selama tidak ada uzur.
5. Riwayat ahad dapat diterima meskipun di dalam masalah akidah.
Hal ini berseberangan dengan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menamakan sebuah bab untuk hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Keterangan tentang Diperbolehkannya Khabar dari Satu Orang yang Jujur Tepercaya dalam Masalah Azan, Shalat, Puasa, Kewajiban- Kewajiban Islam, dan Masalah Ahkam.”
6. Perjuangan dakwah Islam tidak pernah lepas dari peran dan andil para pemuda.
Di dalam hadits di atas, suku Laits mengutus kaum muda untuk mempelajari syariat Islam agar dapat diajarkan kembali kepada masyarakatnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Ashabul Kahfi,
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan (tentang Ashabul Kahfi) bahwa mereka adalah para pemuda. Kaum muda lebih mudah menerima al-haq (kebenaran) dan lebih cepat mengikuti jalan kebaikan dibandingkan dengan kaum tua. Sebab, kaum tua telah terlalu jauh dan tenggelam di dalam agama kebatilan. Oleh sebab itu, kalangan sahabat yang menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya didominasi oleh kaum muda. Adapun kalangan tua Quraisy, mayoritas mereka tetap memilih agama nenek moyang. Hanya sedikit saja dari kalangan tua yang masuk Islam.” Di dalam ayat lain, tentang dakwah Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَمَا آمَنَ لِمُوسَىٰ إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ عَلَىٰ خَوْفٍ مِّن فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَن يَفْتِنَهُمْ ۚ
“Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, selain pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka.” (Yunus: 83)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala memberikan kabar, meskipun Nabi Musa ‘Alaihissalam membawa ayat-ayat yang kuat, argumen-argumen pasti, dan alasan-alasan yang jelas, tetap saja kaumnya tidak beriman kecuali sedikit sekali. Yang sedikit itu adalah kaum dzurriyah, yaitu kaum muda. Itu pun masih dibayangi oleh kecemasan dan kekhawatiran dari makar Fir’aun dan pengikutnya yang berusaha mengembalikan mereka kepada kekufuran sebagaimana dahulu.”
Mudah-mudahan beberapa pelajaran dari hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu di atas bermanfaat.
Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:
Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah orang yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu hijrahnya.
Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih utama.
Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat, kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي وَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ .
"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami kamu sekalian".
Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.
Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran, kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam Islam.
Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.
Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka.
Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya.
Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya di masyarakat.
Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
لاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلاَ سُلْطَانِهِ وَلاَ يَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan izinnya".
Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut.
Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian.
Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak dalam mengatur rumah tersebut.
Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam. Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"
Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan pemimpin adalah lebih utama.
Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam, maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat.
Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan, sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna.
Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama.
Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina.
Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis.
Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama. Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar