Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410dan Muslim no. 2677)
Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang
dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu
Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam.
Mengenai shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat
malam/tahajud) atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama
yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian dari shalat lail dan
ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.
Hukum Shalat Witir
Menurut mayoritas ulama, hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan).
Namun ada pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah bahwa shalat witir itu wajib bagi orang yang punya
kebiasaan melaksanakan shalat tahajud. Dalil pegangan beliau barangkali
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Waktu Pelaksanaan Shalat Witir
Para ulama sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat Isya
hingga terbit fajar. Adapun jika dikerjakan setelah masuk waktu shubuh
(terbit fajar), maka itu tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih
kuat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian
khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat
sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.”
(HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)
Ibnu ‘Umar mengatakan,
مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ
الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرُ فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ
»
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah akhir
shalat malamnya adalah witir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan hal itu. Dan jika fajar tiba, seluruh shalat malam
dan shalat witir berakhir, karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Shalat witirlah kalian sebelum fajar”. (HR. Ahmad
2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Shalat witir adalah shalat yang dikerjakan secara ganjil sebagai penutup
shalat malam, dikerjakan menurut kemampuan masing-masing; boleh dengan
satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, sembilan rakaat,
atau sebelas rakaat.
Bila tidak memberatkan, shalat witir disunnahkan untuk dikerjakan setiap malam, Abu Ayyub al-Anshari ra. menjelaskan:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْوِتْرُ حَقٌّ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ
وَمَنْ اَحَبَّ اَنْ يُوْتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ اَجَبَّ اَنْ
يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
Rasulullah saw, bersabda: “witir itu adalah hak setiap muslim, siapa
yang lebih suka witir lima rakaat, maka kerjakanlah, dan barang siapa
yang lebih suka witir satu rakaat, maka kerjakanlah”. (HR. Abu Dawud dan
Nasa’i).
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ اَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ اِلَى
الْفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ
Dari Aisyah ra. menjelaskan: “Nabi saw. shalat sebelas rakaat di antara
shalat Isya’ sampai terbit fajar. Beliau salam setiap dua rakaat dan
mengerjakan shalat witir dengan satu rakaat “. (HR. Muslim)
Meskipun shalat witir disebut sebagai penutup shalat malam, namun
demikian tidak berarti harus selalu dikerjakan pada akhir malam, bisa
juga dikerjakan pada awal atau tengah malam. Dalam hadits yang
diriwayatkan Sayyidah Aisyah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw.
mengerjakan shalat witir pada setiap malam, pernah berwitir pada
permulaannya, pertengahannyam atau penghabisannya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ اَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اَوَّلِ اللَّيْلِ وَاَوْسَطِهِ
وَاَخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ اِلَى السَّحَرِ
Dari Aisyah ra. menerangkan: ”dari setiap malam, Nabi saw. pernah
mengerjakan shalat witir pada permulaan malam, pertengahannya dan
akhirannya, dan berakhir pada waktu subuh”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu manakah waktu shalat witir yang utama dari waktu-waktu tadi?
Jawabannya, waktu yang utama atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam terakhir.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى
السَّحَرِ.
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan
witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam. Sedangkan kebiasaan
akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga tiba waktu sahur.”
(HR. Muslim no. 745)
Disunnahkan –berdasarkan kesepakatan para ulama- shalat witir itu
dijadikan akhir dari shalat lail berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang
telah lewat,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Yang disebutkan di atas adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat)
bangun di akhir malam. Namun jika ia khawatir tidak dapat bangun malam,
maka hendaklah ia mengerjakan shalat witir sebelum tidur. Hal ini
berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ
لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ
آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam,
hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan
terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena
bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan hal itu adalah
lebih utama.” (HR. Muslim no. 755)
Dari Abu Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى
تُوتِرُ » قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى
تُوتِرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا
بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, ”
Kapankah kamu melaksanakan witir?” Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan
witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, “Kapankah
kamu melaksanakan witir?” Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada
akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, “Orang ini
melakukan dengan penuh hati-hati.” Dan kepada Umar beliau mengatakan,
“Sedangkan orang ini begitu kuat.” (HR. Abu Daud no. 1434 dan Ahmad
3/309.)
Bagi siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, sebaiknya
melakukan shalat witir sebelum tidur, sedangkan bagi mereka yang yakin
bisa bangun di akhir malam untuk mengerjakan tahajjud, maka mengakhirkan
shalat witir sebagai penutup shalat malam , cara inilah yang paling
afdhal.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ مَنْ خَافَ اَنْ لَا يَقُوْمَ مِنْ اَخِرِ اللَّيْلِ
فَلْيُوْتِرْ اَوَّلَهُ وَمَنْ طَمَعَ اَنْ يَقُوْمَ اَخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ
اَخِرَاللَّيْلِ مَشْهُوْدَةً وَذَلِكَ اَفْضَلُ
Dari Jabir ra. menuturkan, “Rasulullah saw. bersabda: “barang siapa yang
merasa tidak akan sanggup bangun pada akhir malam, hendaklah ia
menyegerakan shalat witir pada permulaan malam, siapa yang merasa
sanggup bangun pada akhir malam, berwitirlah pada akhir malam, karena
shalat pada akhir malam itu dihadiri (para malaikat), dan itulah yang
paling utama”.(HR. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Jumlah Raka’at dan Cara Pelaksanaan
Witir boleh dilakukan satu, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.
Pertama: witir dengan satu raka’at.
Cara seperti ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan
dengan satu raka’at. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ
بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ
“Witir adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa yang
hendak melakukan witir lima raka’at maka hendaknya ia melakukankannya
dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga raka’at maka hendaknya
ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak melakukan witir satu
raka’at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud no. 1422.)
Kedua: witir dengan tiga raka’at.
Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at, sekali
salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu
ditambah satu raka’at kemudian salam.
Dalil cara pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at
sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.”
(HR. Al Baihaqi)
Dalil cara kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ
وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ
بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika
saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memisah
antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada kami.” (HR.
Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Ketiga: witir dengan lima raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakan lima raka’at sekaligus
dan tasyahud pada raka’at kelima, lalu salam. Dalilnya adalah hadits
dari ‘Aisyah, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ
ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى
شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat
malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari shalat
malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk (tasyahud)
ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Muslim no. 737)
Keempat: witir dengan tujuh raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk
tasyahud kecuali pada raka’at keenam. Setelah tasyahud pada raka’at
keenam, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada
raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud pada raka’at ketujuh dan salam.
Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan sembilan raka’at.
Kelima: witir dengan sembilan raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk
tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud pada raka’at
kedelapan, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada
raka’at kesembilan. Kemudian tasyahud pada raka’at kesembilan dan salam.
Dalil tentang hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah mengatakan,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ
أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى
تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ
اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ
يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ
وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ
يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ
إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى
الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
“Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah itu
Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu
bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk
dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau
menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau
bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan
shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada
Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam
dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua
rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku.
Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan,
beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua
rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu
berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)
Qunut Witir
Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk
amalansunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak
mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca
doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini
berdasarkan hadits:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat
witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)
يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ
“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu
Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi
dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)
Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga
sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh
para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut
tersebut.
Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah
mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat
witir. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan
membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika
engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak
menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan
membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia
bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan,
beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada
sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut
witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan.
Do’a qunut witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam
shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى
شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ
لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii
fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait,
fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait,
tabaarakta rabbana wata’aalait.
(Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri
petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah
Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah
Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku,
lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan,
sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku,
sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau
tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An
Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464.)
Bacaan Qunut dalam witir
Para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan Qunut dalam shalat witir.
Hal ini karena memang ditemukan adanyabeberapa riwayat dalam
hadits-hadits mengenai lafadznya. Berikut diantaranya :
1. Bacaan Qunut witir menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’I :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَهْدِيكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ،
وَنَتُوبُ إِلَيْكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَتَوَكَّل عَلَيْكَ، وَنُثْنِي
عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، نَشْكُرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، اللَّهُمَّ
إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى
وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ
الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ، اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ،
وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ،
وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ
تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ،
وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ
عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، لاَ نُحْصَى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا
أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon pertolongan Mu, kami memohon
petunjuk dari Mu, kami meminta ampun kepada Mu, kami beriman kepada Mu,
kami berserah kepada Mu dan kami memuji Mu dengan segala kebaikan, kami
mensyukuri dan tidak mengkufuri Mu.
Ya Allah, Engkau yang kami sembah dan kepada Engkau kami shalat dan
sujud, dan kepada Engkau jualah kami datang bergegas, kami mengharap
rahmat Mu dan kami takut akan azab Mu kerana azab Mu yang sebenar akan
menyusul mereka yang kufur.
Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah
Engkau beri petunjuk. Selamatkanlah kami dalam golongan orang-orang yang
Engkau telah pelihara. Uruslah kami di antara orang-orang yang telah
Engkau urus. Berkahilah kami dalam segala sesuatu yang Engkau telah
berikan.
Hindarkanlah kami dari segala bahaya yang Engkau telah tetapkan.
Sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan bukan yang ditentukan.
Sesungguhnya tidak akan jadi hina orang yang telah Engkau lindungi.
Engkau wahai Rabb kami adalah Maha Mulia dan Maha Tinggi.
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari
kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu
menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagai-mana
yang Engkau sanjungkan pada Diri-Mu.”
2. Bacaan Qunut witir menurut kalangan Hanbali :
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ،
وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ،
وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ،
وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ،
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
3. Doa-doa Qunut Witir lainnya dalam hadits-hadits :
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ
نَسْعَى وَنَحْفِدُ وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا وَنَخَافُ عَذَابَكَ
الْجِدَّ إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ.
“ Ya Allah, hanya kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan
shalat dan sujud, kepadamu kami berusaha dan bersegera, kami
mengharapkan rahmat-Mu, kami takut siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu
akan menimpa orang-orang yang memusuhi-Mu.”
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ
نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ
عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحِقٌ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ،
وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ،
وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya Allah, kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan
sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera (melakukan ibadah). Kami
mengharapkan rahmat-Mu, kami takut kepada siksaan-Mu. Sesungguh-nya
siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya Allah, kami minta
pertolongan dan memohon ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami
tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada–Mu, kami tunduk kepada-Mu
dan meninggalkan orang-orang yang kufur kepada-Mu.”
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
“ Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci."
Dan ulama membolehkan menambahkan dengan doa-doa lain bahkan dengan
redaksi buatan sendiri, yakni yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu
ma`tsur). Dan tentu doa ma’tsur lebih utama untuk digunakan. Dan
kebolehan ini pun disertai syarat doa itu tak boleh menyalahi qur’an
dan hadits.
Do’a Setelah Shalat Witir
أَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْاَلُكَ إِيْمَانًا دَاِئمًا وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا
خَاشِعًا وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا
وَنَسْأَلُكَ عَمَلًا صَالِحًا وَنَسْأَلُكَ دِيْنًا قَيِّمًا وَنَسْأَلُكَ
خَيْرًا كَثِيْرًا وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَا فِيَةَ وَنَسْأَلُكَ
تَمَّامَ الْعَافِيَّةِ وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَّةِ
وَنَسْأَلُكَ الْغِنَى عَنِ النَّاسِ أَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ
مِنَّا صَلَاتَنَا وَصِيَا مَنَا وَقِيَا مَنَا وَتَخَشُعَنَا
وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا أَللهُ
يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Ya Allah, kami mohon pada-Mu, iman yang langgeng, hati yang khusyu’,
ilmu yang bermanfaat, keyakinan yang benar,amal yang shalih, agama yang
lurus, kebaikan yang banyak.kami mohon kepada-Muampunan dan kesehatan,
kesehatan yang sempurna, kami mohon kepada-Mu bersyukur atas karunia
kesehatan, kami mohon kepada-Mu kecukupan terhadap sesaama manusia. Ya
Allah, tuhan kami terimalah dari kami: shalat, puasa, ibadah,
kekhusyu’an, rendah diri dan ibadaha kami, dan sempurnakanlah segala
kekurangan kami. Ya allah, Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang
pengasih. Dan semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada makhluk-Nya yang
terbaik, Nabi Muhammad s.a.w, demikian pula keluarga dan para sahabatnya
secara keseluruhan. Serta segala puji milik Allah Tuhan semestra alam.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar