Meletakkan dan memakai sutroh (penghalang) di depan ketika melaksanakan
sholat adalah kewajiban bagi setiap muslim, baik ia sholat fardhu,
maupun sholat sunnah; baik ia makmun, masbuq, maupun munfarid (sendiri).
Pembaca yang budiman, disana ada sebuah kekeliruan biasa dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin.Kita lihat ada yang sholat tanpa sutroh
(penghalang), dan ada juga yang memakai sutroh (penghalang).
Sutrah secara bahasa berasal dari kata satara-yasturu yang artinya
menutupi, menyembunyikan. Adapun secara istilah adalah sesuatu yang
dijadikan oleh seorang yang shalat di depannya sebagai pembatas
antaranya dengan orang yang lewat di depannya. (al-Mausuah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, 24/177). Pengertian ini masih umum, karena nanti para
ulama berbeda pendapat terkait apakah garis atau batas sajadah sudah
bisa digolongkan sutrah atau belum.
Terkait dalil disyariatkannya sutrah, kita bisa temukan beberapa hadits, diantaranya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ
سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ
فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau shalat
kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau biarkan seorangpun lewat
di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah karena sesungguhnya
bersamanya ada qarin (setan).”(H.R: Muslim)
Hadits lain menyebutkan:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ
يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ
فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Said Al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kalian melakukan shalat, maka hendaknya dia bersutrah
dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di
depannya, apabila dia enggan maka perangilah karena dia adalah setan.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Namun sutroh (penghalang)nya tidak sesuai sunnah (petunjuk) Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sehingga ada diantara mereka menjadikan
ujung sajadahnya sebagai sutroh (penghalang); ada yang meletakkan kain
atau baju di depannya sebagai sutroh (penghalang); ada yang membuat
garis di depannya sebagai sutroh (penghalang); ada juga yang meletakkan
polpen atau HP di depannya dengan anggapan bahwa itu adalah sutroh
(penghalang) saat ia sholat.
Ukuran Sutroh
Adanya realita kejahilan yang menyedihkan seperti ini, memaksa kami
untuk membahas ukuran tinggi sutroh. Namun sebelumnya perlu kami
ingatkan bahwa sesuatu yang dijadikan sutroh, harus diperhatikan
tingginya, bukan lebar dan tebalnya. Oleh karena itu, sesuatu yang
dijadikan sutroh (penghalang) boleh berupa tongkat, tombak, pedang, anak
panah, bebatuan, hewan kendaraan, motor, mobil, punggung orang, tiang
atau dinding dan segala sesuatu yang ukuran tingginya sesuai yang kami
akan paparkan, insya Allah.
Pembaca yang budiman, ukuran sutroh (penghalang) yang benar ketika
shalat adalah yang bisa menghalangi dari bahaya dan gangguan sesuatu
yang lewat di hadapannya. Ukuran itu kira-kira setinggi punggung pelana
(tongkat bagian belakang pelana onta). Bagi orang yang tidak kesulitan
meletakkan sutroh (penghalang) seukuran itu, tidak boleh meletakkan
sutroh (penghalang) lebih rendah darinya.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Jika salah seorang dari kalian meletakkan sutroh(penghalang) di
hadapannya seukuran pelana onta, maka silakan shalat. Dia tidak perlu
menghiraukan lagi orang yang lewat di balik sutroh(penghalang)
tersebut”. [HR. Muslim dalam Sahih-nya (499)].
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- pernah berkata,
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّيْ؟ فَقَالَ: مِثْلُ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ditanya tentang meletakkan
sutroh(penghalang) untuk orang shalat ketika perang Tabuk. Beliau
menjawab,“Seukuran punggung pelana”.[HR. Muslim dalam Shahih-nya (500)].
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّيْ فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ
يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ
مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ
وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ
“Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka sesungguhnya di
(diharapkan) memberi sutroh(penghalang) di hadapannya seukuran punggung
pelana. Jika tidak ada sesuatu yang seukuran punggung pelana, maka
sesungguhnya keledai, wanita dan anjing hitam (setan) akan memutuskan
shalatnya.” [HR. Muslim dalam Shahih-nya (510)].
Ukuran inilah yang wajib digunakan sebagai ukuran sutroh (penghalang).
Andaikan ukuran yang kurang dari itu cukup alias boleh, maka Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan jelaskan saat ia ditanya.
Para ulama kita menganggap bahwa penangguhan penjelasan dari waktunya
tidak boleh. Sedang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- saat itu
ditanya tentang sutroh (penghalang) yang sah. Andaikan sah ukuran yang
kurang dari punggung pelana onta, maka tak boleh bagi beliau untuk
menangguhkan penjelasan masalah itu dari waktunya. [Lihat Ahkam
As-Sutroh (hal. 29)]
Punggung pelana setinggi satu hasta seperti yang telah dijelaskan oleh
Atha’, Qatadah, Ats-Tsauri dan Nafi’.Sedangkan yang dimaksud dengan satu
hasta adalah antara ujung siku sampai ujung jari tengah. Jika diukur,
maka tingginya sekitar 46,2 cm atau setinggi dua jengkal.[Lihat Lisanul
Arab (3/1495), Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’ (hal. 450-451)]
Disebutkan dalam beberapa riwayat dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- bahwa beliau shalat di hadapan tombak kecil atau yang
sejenisnya. Sudah maklum kiranya bahwa tombak itu kecil. Hal ini semakin
memperkuat bahwa yang dimaksud ukuran sutroh (penghalang) adalah
tinggi, bukan lebar.
Ibnu KhuzaimahAn-Naisaburiy-rahimahullah- berkata,
“Dalil yang berasal dari hadits-hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- (menjelaskan) bahwa beliau menghendaki sutroh(penghalang)
seukuran punggung pelana dalam hal tinggi, bukan lebarnya.
Dalil-dalilnya adalah sudah sangat jelas. Di antaranya adalah
hadits-hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang
memberitahukan bahwa telah ditancapkan sebuah tombak pendek untuk
beliau; beliau shalat menghadap kepada tombak itu. Sedangkan ukuran
lebar tombak pendek, tidak sama dengan ukuran lebar punggung pelana".
[Lihat Shahih Ibn Khuzaimah (2/12)].
Ibnu Khuzaimah An-Naisaburiy-rahimahullah- juga berkata,
“Dalam perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk menjadikan
anak panah sebagai sutroh(penghalang) ketika shalat terkandung
pengertian bahwa beliau menginginkan sutroh (penghalang) itu dengan
punggung pelana dalam hal tinggi, bukan dalam hal tinggi dan lebarnya
sekaligus.” [Lihat Shahih Ibn Khuzaimah (2/12)].
Tidak boleh menjadikan garis (tulisan) sebagai sutroh
(penghalang),sedangkan dia masih bisa menjadikan benda lain sebagai
sutroh (penghalang), sekalipun benda itu berupa tongkat, barang, kayu,
atau bahkan dengan cara menumpuk batu seperti yang telah dilakukan oleh
Salamah Ibnul Akwa’ -radhiyallahu anhu-.
Yang perlu disebutkan di sini , hadits-hadits tentang penggunaan garis
sebagai sutroh (penghalang) adalah dhaif (lemah). Telah diisyaratkan
ke-dhaif-an hadits ini oleh Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi’i, Al-Baghawi
dan ulama-ulama lain. Ad-Daruqutni berkata, “Hadits itu tidak shahih dan
tidak benar”.Asy-Syafi’i-rahimahullah- berkata di dalam Sunan Harmalah,
“Orang yang mengerjakan shalat tidak (boleh) menulis garis di
hadapannya (sebagai sutroh), kecuali jika hal itu terdapat pada riwayat
hadits yang benar, baru boleh diikuti”. Malik berkata dalam
Al-Mudawwanah Al-Kubro (1/202), “(Hadits membuat) garis (sebagai sutroh)
adalah batil”.
Hadits garis tersebut telah dilemahkan oleh para ulama belakangan,
seperti Ibnu Ash-Sholah, An-Nawawiy, Al-Iroqiy, dan lainnya. [Lihat
Tamam Al-Minnah (hal. 300-302), dan Ahkam As-Sutroh (hal. 98-102)]
Selain itu, makmum tidak perlu meletakkan sutroh (penghalang). Sutroh
(penghalang) dalam shalat berjama’ah menjadi tanggung jawab imam. Jangan
sampai ada orang yang menyangka bahwa setiap makmun, sutroh
(penghalang)nya adalah orang yang ada di hadapannya, karena hal itu tak
ada pada shaff (barisan) pertama. Kemudian sangkaan seperti ini akan
mengharuskan kita menahan orang yang mau lewat di depan shaff-shaff.
Sementara dalil tidak menunjukkan demikian.
Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu-, dia berkata,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ
اْلاِحْتِلاَمَ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ بِمِنَى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ
فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ اْلأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ
فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang bersama dengan Al-Fadhl menunggangi keledai betina, sedang
aku waktu itu telah baligh. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
pada waktu itu sedang berada di Mina. Lalu aku lewat di depan shaf,
kemudian turun (dari hewan itu). Keledai itu kami biarkan makan, dan aku
pun masuk ke dalam shaff . Maka tak ada seorangpun yang mengingkari hal
itu padaku”. [HR. Al-Bukhoriy (76), dan Muslim dalam Shahih-nya (504)].
Di dalam riwayat lain, Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
كُنْتُ رَدِيْفَ الْفَضْلِ عَلَى أَتَانٍ فَجِئْنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ بِأَصْحَابِهِ بِمِنَى قَالَ:
فَنَزَلْنَا عَنْهَا فَوَصَلْنَا الصَّفَّ فَمَرَّتْ بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ
فَلَمْ تَقْطَعْ صَلاَتَهُمْ
"Aku pernah dibonceng oleh Al-Fadhl di atas keledai betina. Lalu kami
datang, sedang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sholat memimpin para
sahabatnya di Mina. Dia (Ibnu Abbas) berkata, "Kami pun turun darinya,
dan sampai ke shaff. Lalu keledai itu lewat di depan mereka, namun
keledai itu tidaklah memutuskan (membatalkan) sholat mereka". [HR.
Al-Bukhoriy (493), Muslim (504)]
Perhatikan Ibnu Abbas dan Al-Fadhl telah menunggangi keledai betina di
depan shaff pertama, dan tidak ada seorang pun sahabat yang mencegahnya.
Begitu juga dengan keledainya, tidak ada seorang pun yang mencegahnya
untuk lewat. Bahkan tidak ada seorang pun yang mengingkari hal tersebut,
begitu juga dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jika ada seseorang berkata, “Mungkin saja Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam- pada waktu itu tidak mengetahui kejadian tersebut!!”
Perkataan ini kita jawab,
“Jika memang mereka berdua tidak dilihat oleh Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- dari samping, tapi Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- dapat melihat mereka berdua dari belakang. Sungguh beliau
-Shallallahu alaihi wa sallam- telah bersabda,
هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِيْ هَهُنَا فَوَاللهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ
خُشُوْعُكُمْ وَلاَ رُكُوْعُكُمْ وَإِنِّيْ لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ
ظَهْرِيْ
“Apakah kalian tahu bahwa kiblatku di sini. Demi Allah, kekhusyu’an dan
rukuk kalian (ketika shalat) tidak samar bagiku. Sesungguhnya aku
melihat kalian semua dari balik punggungku”. [HR. Bukhari dalam
Shahih-nya (418), dan Muslim Shahih-nya (424)].
Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata,
“Hadits riwayat Ibnu Abbas ini mengkhususkan hadits riwayat Abu Sa’id yang terdahulu, yakni:
“Apabila salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya.”
Karena hadits Abu Sa’id ini khusus bagi imam dan orang yang mengerjakan
shalatnya sendirian. Adapun para makmum, maka sesuatu yang lewat di
depannya tidak membahayakan sholatnya berdasarkan hadits Ibnu Abbas
-radhiyallahu anhu- ini. Dalam masalah ini tak ada khilaf diantara para
ulama". [Lihat Fathul Bari (1/572)].
Pembaca yang budiman, kini anda telah mengetahui bahwa shalat berjama’ah
itu pada hakikatnya adalah hanya satu shalat saja, hanya saja
dikerjakan oleh banyak orang. Tidak benar jika shalat jama’ah itu adalah
shalat yang lebih dari satu, yakni sebanyak jumlah orang yang shalat.
Oleh karena itulah, sutroh (penghalang) untuk shalat berjama’ah cukup satu saja (yakni bagi imam).
Seandainya shalat berjama’ah dianggap shalat yang lebih dari satu, pasti
setiap orang yang shalat memerlukan sutroh (penghalang). [Lihat Faidhul
Bari (2/77)].
Jika imam tidak meletakkan sutroh (penghalang) ketika shalat berjama’ah,
berarti dia telah berbuat tidak baik dan teledor. Kalau kasus ini
sampai terjadi, setiap makmum tidak wajib meletakkan sutroh (penghalang)
untuk dirinya sendiri dan juga tidak wajib menghalangi orang yang lewat
di hadapannya. [Lihat Ahkam As-Sutroh (hal. 21-22)]
Sebuah permasalahan ,
“Jika seseorang masbuq menyempurnakan rakaatnya yang tertinggal bersama
imam, maka ia bukan lagi makmum. Nah, sekarang apa yang harus ia
lakukan?"
Al-Imam Malik-rahimahullah- berkata,
“Orang yang meneruskan rakaatnya yang tertinggal dari imam, tak mengapa
baginya untuk berjalan mendekati tiang yang berada paling dekat di
hadapannya, di samping kanan, di sebelah kiri atau di belakang; dia
berjalan mundur sedikit. Dengan demikian dia bisa menjadikan tiang ini
sebagai sutroh (penghalang). Jika ia jauh (dari tiang), maka dia tetap
berdiri di tempatnya dan harus menghalangi orang yang lewat dengan
sekuat tenaga”. [Lihat Syarh Az-Zarqani ala Mukhtasar khalil(1/208)].
Ibnu Rusyd berkata,
“Jika dia meneruskan rakaat yang tertinggal dari imam, dan dia berada di
dekat tiang, hendaklah dia berjalanmenuju kepadanya. Tiang tersebut
adalah sutroh (penghalang) dalam sisa-sisa sholatnya. Jika di dekatnya
tidak ada tiang, maka dia tetap shalat di tempatnya dan mencegah orang
yang akan lewat di hadapannya dengan sekuat tenaga. Barang siapa yang
lewat di depannya, maka ia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara
shaf, jika jama’ah mengerjakannya bersama imam, maka tak ada dosa
baginya, karena imam adalah sutroh (penghalang) bagi seluruh jama’ah. Wa
billahit taufiq”. [Lihat Fatawa Ibnu Rusyd (2/904)].
Pernyataan kedua ulama ini bukan tanpa dasar, bahkan berdasarkan hadits
dan atsar. Dengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutroh (penghalang),
maka hendaklah dia mendekat kepadanya. Maka setan tidak akan memotong
shalatnya.” [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (695), dan An-Nasa’iy dalam
Al-Mujtaba (748). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Takhrij Al-Misykah (782)]
Qurroh bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
رَآنِيْ عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّيْ بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ
بِقَفَائِيْ فَأَدْنَانِيْ إِلَى سُتْرَةٍ فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا
“Umar melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang
leherku dan mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil berkata,
“Shalatlah menghadap sutroh (penghalang)”. [HR. Bukhariy dalam
Shahih-nya (1/577) secara mu’allaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushonnaf (7502)
Jadi, seorang masbuq diperintahkan untuk mendekat ke sutroh, walaupun ia
harus berjalan satu-dua langkah untuk mencari sutroh, baik berupa tiang
atau dinding dan lainnya, karena hadits di atas bersifat umum mencakup
makmum, masbuq, dan munfarid.
Maka kelirulah sebagian orang yang mengingkari sunnahnya berjalan bagi masbuq yang kehilangan sutroh!!
Hukum Shalat Menggunakan Sutroh
Semua ulama sepakat bahwa sutrah bagi orang shalat itu memang
disyariatkan. Tetapi ketika berbicara hukumnya, ada sedikit perbedaan,
yaitu antara yang mewajibkan dan mengatakan sunnah.
Bisa dikatakan ulama dari zaman salaf hampir tidak ada yang mengatakan
bahwa hukum sutrah bagi orang shalat adalah wajib. Jumhur ulama madzhab
Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
sutrah bagi orang shalat hukumnya adalah sunnah.
Meski jumhur ulama mengatakan sunnah, mereka berbeda pendapat tentang
kesunnahannya; Menurut pendapat Hanabilah, sutrah sunnah hanya bagi imam
dan munfarid saja. Sedangkan menurut Malikiyyah dan Hanafiyyah,
hukumnya sunnah bagi yang dihawatirkan akan ada orang lewat. Menurut
Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Hanabilah, hukumnya sunnah muthlak
tanpa ada batasan.
Berikut penjelasan dari pendapat para ulama tadi:
1. Pendapat Yang Mewajibkan
Kalau diteliti lebih jauh, cuma ada dua orang saja yang mengatakan
dengan tegas, hukum sutrah dalam shalat hukumnya wajib, yaitu
as-Syaukani (w. 1250 H) dan al-Albani (w. 1420 H) dan beberapa murid
beliau
a. As-Syaukani (w. 1250 H)
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قوله فليُصلِ إلى سترة فيه أن اتخاذ السترة واجب
Perkataan beliau ‘maka, hendaklah ia shalat menghadap sutrah’; padanya
terdapat satu petunjuk bahwa mengambil sutrah (saat shalat) adalah
wajib” (As-Syaukani, Nailu al-Authar, 3/5)
b. Al-Albani (w. 1420 H)
Al-Albani ketika mengomentari hadits sutrah, beliau berkata:
ففي الحديث إيجاب السترة
Hadits ini memberikan pengertian tentang wajibnya sutrah. (al-Albani,
Hujjatu an-Nabi, 22, lihat pula: sifat shalat Nabi: 82, Tamam al-Minnah:
300)
2. Pendapat Yang Menyunnahkan
Bisa dikatakan hampir ulama salaf dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa sutrah itu sunnah hukumnya.
Bahkan Ibnu Rusyd al-Hafid al-Malikiy (w. 595 H) berani memberikan
statement bahwa hukum sunnah merupakan kesepakatan semua ulama.
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ
بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ
إِمَامًا
Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya)
sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika
sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam"(Ibnu Rusyd, Bidayat
al-Mujtahid, 1/ 82).
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi
al-Hanbali (w. 620 H), ketika menjelaskan hukum sutrah. Beliaau
menuliskan sebagai berikut :
ولا نعلم في استحباب ذلك خلافا
“Saya tidak mengetahui ada khilaf tentang kesunnahannya (sutrah orang shalat)”. (Ibnu Quddamah, al-Mughni, 2/ 174
Maksudnya, sepanjang pengetahuan Ibnu Quddamah al-Maqdisi al-Hanbali (w.
620 H) para ulama dahulu semua mengatakan bahwa sutrah hukumnya sunnah.
Beliau tidak mengetahui bahwa ada pendapat lain selain sunnah.
Pendapat sunnah ini bisa kita temukan dari ulama-ulama madzhab di kitab
fiqih klasik, baik mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-syafi'iyah
maupun Al-Hanabilah.
a. Mazhab Al-Hanafyah
Dalam mazhab Al-Hanfiyah disebutkan bahwa hukumnya sunnah : As-Syarakhsi
al-Hanafi (w. 483 H) dalam kitabnya al-Mabsuth, hal. 2/ 46, Ibnu Nujaim
al-Hanafi (w. 970 H) dalam kitabnyaal-Bahru ar-Raiq, hal. 4/ 95, Ibnu
Abdin al-Hanafi (w. 1252 H) dalam kitabnya Raddu al-Muhtar, hal. 4/498.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Pandangan Madzhab Maliki, kita bisa temukan dalam kitab karya Abu
Abdillah bin Muhammad al-Magharibi (w. 954 H) Mawahibul Jalil, hal. 4/
126.
c. Mazhab Asy-Syafi'iyah
Pandangan Imam syafi’i (w. 204 H) sendiri kita bisa temukan dalam kitab
beliau Ikhtilaf al-Hadits, hal. 97, atau yang telah ditulis oleh Imam
Nawawi (w. 676 H) dalam kitabnya Raudhatu at-Thalibin, 1/ 398.
Imam An-Nawawi dari Madzhab Syafi’i (w. 676 H) berkata:
يُستحبُ للمُصلي أن يكون بين يديه سترة من جداراً أو سارية أو غيرها ويدنو منها بحيث لا يزيدُ بينهما على ثلاثة أذرع
“Disunnahkan bagi orang yang shalat agar meletakkan sutrah di depannya,
yang berupa tembok, tiang, atau yang lainnya dan mendekat kepadanya
dengan jarak (antara dirinya dengan sutrah) tidak lebih dari tiga hasta”
(an-Nawawi,Raudhatu at-Thalibin, 1/ 398)
d. Mazhab Al-Hanabilah
Pendapat Madzhab Hanbali kita bisa gali dalam kitab Ibnu Quddamah
al-Maqdisi (w. 620 H), al-Mughni, hal. 4/ 06, atau dalam kitabnya Imam
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H), Fathu al-Bari, hal. 3/ 398.
Al-Imam as-Shan’ani (w. 1182 H) juga menghukumi sunnah dalam kitab beliau Subul as-Salam, hal. 1/ 202.
Hujjah Yang Digunakan
Sebagai seorang yang berstatus awam seperti kita, sebenarnya jika sudah
hampir semua ulama menyatakan sunnah, kita tinggal mengikuti saja.
Karena toh jika kita tahu dalilnya, kita tidak memiliki kapasitas untuk
mengolah dalil itu menjadi produk hukum, karena hal itu adalah pekerjaan
mujtahid.
Me-rajih-kan pendapat ulama juga sebenarnya bukan kapasitas kita. Karena
me-rajih-kan artinya mengetahui kelebihan dalil yang kita unggulkan dan
mengerti kelemahan dalil yang dipakai oleh pendapat yang kita anggap
marjuh atau lemah.
Tapi tak ada salahnya, kita mengetahui dalil yang dipakai oleh
masing-masing pendapat. Perbedaan pendapat disini didasari dari
perbedaan mereka dalam memahami hadits.
1. Dalil Pendapat Yang Mewajibkan
Bagi kalangan yang mengatakan wajib, mereka berpegang pada hadits Nabi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ
سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ
فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau shalat
kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau biarkan seorangpun lewat
di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah karena sesungguhnya
bersamanya ada qarin (setan).”(H.R: Muslim)
Larangan shalat kecuali menghadap sutrah ini dipahami sebagai bentuk
kewajiban shalat. Apalagi ada perintah dari Nabi dari hadits:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ
يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ
فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kalian melakukan shalat, maka hendaknya dia bersutrah
dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di
depannya, apabila dia enggan maka perangilah karena dia adalah setan.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dll. dengan sanad hasan)
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلىَ سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعُ
الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ. وَفيِ لَفْظٍ عِنْدَ ابْنِ خُزَيْمَة
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Dari Sahl bin Abu Hatsmah dari Nabi bersabda, “Apabila seorang di antara
kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya dia mendekat pada
sutrah, janganlah setan memotong shalatnya.” (Shahih, riwayat Ibnu Abi
Syaibah 1/279, Ahmad 4/2, Abu Dawud, dan lain-lain).
Oleh kalangan yang menganggap wajib, hadits-hadits diatas menunjukkan
bahwa hukum sutrah adalah wajib. Hal itu karena ada perintah dari Nabi.
Perintah itu asalnya wajib.
Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata dalam mengomentari hadits Abu Sa’id yang telah disebut di atas,
“Di dalam hadits itu terkandung faedah bahwa memasang penghalang hukumnya wajib.” [Lihat Nailul Authar (3/2)]
Beliau juga berkata,
“Kebanyakan hadits yang menerangkan perintah untuk memasang sutroh
(penghalang) ketika shalat menunjukkan perintah wajib. Jika memang ada
sesuatu yang bisa memalingkan perintah wajib itu menjadi perintah
sunnah, maka itulah hukumnya. Akan tetapi tidak pantas dipalingkan
perintah wajib tersebut oleh sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- yang berbunyi, “Karena sesuatu yang lewat di depan orang yang
sholat tidak membahayakannya dalam sholatnya", karena menjauhi sesuatu
yang bisa mengganggu orang yang shalat dalam sholatnya dan bisa
menghilangkan sebagian pahala sholatnya adalah wajib”.[Lihat As-Sailul
Jarrar (1/176)].
Jadi, seorang yang meletakkan dan memasang penghalang di depannya saat
sholat, maka sholatnya tak akan batal, dan tak akan rusak. Jika ada yang
lewat, sedang orang yang sholat tersebut telah menghalanginya, maka
sholatnya tak rusak, dan orang yang lewat berdosa.
Diantara perkara yang memperkuat kewajiban meletakkan penghalang ketika
shalat, meletakkan sutroh (penghalang) di hadapan orang yang shalat
menjadi sebab syar’i menghindari batalnya shalat, karena ada wanita
baligh yang lewat, keledai atau anjing hitam yang lewat di hadapannya
sebagaimana hal itu sah dalam hadits. Selain itu, menjadi sebab
penghalang bagi orang yang mau lewat di depan orang yang menunaikan
sholat, dan lainnya diantara hukum-hukum yang berkaitan dengan "sutroh"
(penghalang di depan orang yang sholat). [Lihat Tamam Al-Minnah
(hal.300)]
Oleh karena itulah, para salafush shaleh -radhiyallahu anhum- amat
bersemangat dalam meletakkan sutroh (penghalang) ketika sedang
mengerjakan shalat.Semua perkataan dan perbuatan mereka memberikan
anjuran kepada kita untuk meletakkan sutroh (penghalang), bahkan
bersifat perintah, serta pengingkaran terhadap orang yang shalat tanpa
meletakkan sutroh (penghalang) di hadapannya.
Qurroh bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
رَآنِيْ عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّيْ بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ
بِقَفَائِيْ فَأَدْنَانِيْ إِلَى سُتْرَةٍ فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا
“Umar melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang
leherku dan mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil berkata,
“Shalatlah menghadap sutroh (penghalang)”. [HR. Bukhariy dalam
Shahih-nya (1/577) secara mu'allaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushonnaf (7502)
Seorang ulama Syafi'iyyah, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,
“Umar melakukan hal ini dengan maksud agar shalatnya Qurroh bin Iyas menghadap sutroh (penghalang)”. [Lihat Fathul Bari (1/577)]
Ibnu Umar dia berkata,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا كَيْلاَ يَمُرَّ الشَّيْطَانُ أَمَامَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat, maka
hendaklah dia shalat di hadapan sutroh dan mendekat kepadanya. Hal ini
agar setan tidak lewat di hadapannya”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushannaf (1/279/2877) dengan sanad yang shahih].
Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
“ Ada empat watak kasar: seseorang yang shalat tanpa meletakkan sutroh
(penghalang) di hadapannya… atau dia mendengarkan adzan namun tidak
menjawabnya”.[HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (2/285) dan Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/61)].
Coba perhatikan wahai saudara pembaca –semoga Allah memberikan
hidayah-Nya kepadaku dan kepadamu- bagaimana perintah-perintah ini
datang dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- , yang tak pernah
berbicara dari hawa nafsunya.
Tidaklah ucapan beliau, kecuali wahyu yang diberikan kepadanya;
perhatikan bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya sampai-sampai
Sang Khalifah, Umar -radhiyallahu anhu- yang telah kita kenal pernah
mendatangi seorang sahabat yang mulia, sedang ia shalat. Kemudian beliau
memegang lehernya untuk didekatkan ke-sutroh (penghalang). Perhatikan
pula Ibnu Mas’ud -radhiyallahu anhu-, beliau menyamakan shalat seseorang
yang tidak meletakkan sutroh (penghalang) dengan mereka yang tidak
menjawab panggilan adzan.
Anas -radhiyallahu anhu- dia berkata,
لَقَدْ رَأَيْتُ كِبَارَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُوْنَ السَّوَارِيَ عِنْدَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَخْرُجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sungguh aku telah melihat para pembesar sahabat Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- berlomba-lomba mendekati tiang penghalang ketika waktu
maghrib sampai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- keluar (dari
rumahnya)". [HR. Bukhari di dalam kitab Shahih-nya (481)].
Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- juga berkata,
كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُوْنَ السَّوَارِيَ حَتَّى
يَخْرُجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ كَذَلِكَ
يُصَلُّوْنَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ
"Dahulu seorang muadzdzin jika usai adzan, maka para sahabat Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bangkit berlomba-lomba mencari tiang
(untuk dijadikan sutroh, pent.) sehingga Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- keluar (dari rumahnya), sedang mereka dalam keadaan demikian
melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib". [HR. Al-Bukhoriy dalam
Shohih-nya (599)]
Inilah sahabat Anas menceritakan tentang para sahabat; bagaimana mereka
berebut untuk shalat dua raka’at sebelum maghrib di hadapan tiang masjid
sebagai penghalang dalam waktu sangat sempit. Jika ada diantara mereka
yang tak sempat mendapatkan tiang atau penghalang lainnya, maka mereka
meminta kepada saudaranya agar membelakang sehingga punggungnya
dijadikan sebagai penghalang.
Nafi’ (bekas budak Ibnu Umar) -rahimahullah- berkata,
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا لَمْ يَجِدْ سَبِيْلاً إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ قَالَ لِيْ: وَلِّنِيْ ظَهْرَكَ
“Apabila Ibnu Umar -radhiyallahu anhu- tidak lagi menemukan tiang masjid
yang bisa dijadikan sutroh (penghalang) untuk shalat, maka dia akan
berkata kepadaku, “Hadapkanlah punggungmu di hadapanku.” [HR. Ibnu Abi
Syaibah di dalam Al-Mushannaf (1/250/no. 2878) dengan sanad yang shohih]
Abdur Rahman bin Abi Sa’id dari Bapaknya (Abu Sa’id Al-Khudriy) bahwa,
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ إِلَى سَارِيَةٍ فَذَهَبَ رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ
أُمَيَّةَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَنَعَهُ فَذَهَبَ لِيَعُوْدَ
فَضَرَبَهُ ضَرْبَةً فِيْ صَدْرِهِ
"Dia (Abu Sa’id Al-Khudriy) pernah sholat menghadap tiang masjid. Lalu
mulailah seorang laki-laki dari Bani Umayyah berusaha lewat di depan
beliau. Maka beliau mencegahnya. Kemudian orang itu kembali (melakukan
hal itu), maka beliau memukul satu kali pada dadanya". [HR. Ibnu
Khuzaimah dalam Shohih-nya (817). Di-shohih-kan oleh Muhammad Mushthofa
Al-A'zhomiy]
Yazid bin Abi Ubaid-rahimahullah- berkata,
رَأَيْتُهُ يَنْصِبُ أَحْجَارًا فِي الْبَرِّيَّةِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَّى إِلَيْهَا
"Aku melihat beliau (Salamah ibnul Akwa’ -radhiyallahu ‘anhu-) dulu
menyusun batu-batu ketika di padang pasir. Jika beliau hendak
mengerjakan shalat, maka beliau sholat menghadap kepadanya”.[HR. Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/249/no. 2863)]
Di dalam atsar (berita yang berasal dari sahabat) ini tidak ada
perbedaan, baik itu di padang pasir maupun di dalam gedung. Lahiriah
hadits-hadits yang lalu, dan perbuatan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, semuanya memperkuat hukum wajibnya meletakkan sutroh
(penghalang) ketika shalat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Imam
Asy-Syaukaniy. [Lihat Nailul Authar (3/6)]
Al-‘Allamah As-Saffariniy –rahimahullahu- berkata,
“Ketahuilah bahwa sholatnya orang yang mengerjakan sholat dianjurkan
agar menghadap sutroh (penghalang) berdasarkan kesepakatan para ulama,
walaupun ia tidak khawatir ada yang lewat; beda halnya Imam Malik.Dalam
Al-Wadhih, Penulis menyebutkan sutroh secara muthlaq bahwa diwajibkan
sutroh (penghalang) berupa dinding atau sesuatu yang tinggi. Sedang
meletakkan sutroh lebih dicintai oleh Imam Ahmad [Lihat Syarh
Tsulatsiyyat Al-Musnad (3/7860]
Pendapat yang mutlak lebih benar, sebab alasan yang dikemukakan untuk
meletakkan sutroh (penghalang) dalam shalat, bukan hanya berdasar pada
rasio, tanpa dalil.
Pendapat yang menyatakan tak wajibnya sutroh, di dalamnya terdapat
pelanggaran didasari oleh pendapat semata terhadap nas-nas yang
mewajibkan meletakkan sutroh (penghalang) sebagaimana telah berlalu
sebagiannya. Ini tentunya tidak boleh!! Terlebih lagi mungkin yang lewat
di hadapan orang yang sedang shalat bukan hanya jenis makhluk yang
kasat mata, tetapi berupa setan. Perkara itu telah datang secara
gamblang dari sabda, dan perbuatan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- [Lihat Tamamul Minnah (hal. 304)]
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang menerangkan tentang perintah
meletakkan sutroh (penghalang) ketika shalat, Ibnu Khuzaimah
-rahimahullah- berkata,
“Semua hadits-hadits ini berkualitas shahih. Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- memang telah memerintahkan umatnya agar meletakkan sutroh
(penghalang) ketika shalat…Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
telah mengecam keras orang yang sholat tanpa menghadap sutroh. Bagaimana
dilakukan sesuatu yang beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kecam
sendiri". [Lihat Shohih Ibnu Khuzaimah (2/27)]
Disebutkan dalam sebagian hadits bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- sholat tanpa menghadap sutroh. Namun hadits ini tidak shohih,
bahkan lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (5814).
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- sholat di Mina atau di tempat lainnya, tanpa menghadap bangunan,
maka Syaikh Masyhur bin Hasan Salman -hafizhahullah- berkata menjawab
hal ini,
“Tidak adanya bangunan yang bisa dipergunakan sutroh (penghalang), sama
sekali bukan berarti menghalangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
untuk menggunakan sutroh (penghalang) lainnya ketika shalat. Sungguh
telah ada penegasan hal ini di dalam hadits riwayat Ibnu Abbas
-radhiyallahu anhu-". [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal. 82)]
2. Dalil Pendapat Yang Menyunnahkan
Sedangkan bagi jumhur yang menganggap hukum sutrah adalah sunnah, mereka
punya sudut pandang lain ketika memahami hadits-hadits tadi.
Meskipun hadits tentang sutrah itu dengan bentuk perintah, tapi tidak
setiap perintah itu berkonsekwensi wajib. Jika ada petunjuk lain yang
mengarahkan pada hukum sunnah, maka perintah itu maksudnya adalah sunnah
dan bukan wajib.
Maka perbedaannya bukan pada hal ada dalilnya atau tidak, tapi lebih
pada pemahaman hadits; apakah sampai taraf wajib atau sunnah.
1. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ
بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan
sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat
di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka
perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan” (H.R. Al-Bukhari)
Perkataan Nabi ‘jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu
yang ia jadikan sutrah‘menunjukkan bahwa orang yang shalat ketika itu
terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada
apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa
semua orang di masa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan
menunjukkan bahwa sebagian orang menghadap ke sutrah dan sebagian lagi
tidak menghadap ke sutrah.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa menghadap ke tembok” (HR. Al Bukhari).
Para ulama memaknai kata “tanpa menghadap tembok” disini dengan tanpa
menghadap sutrah. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)rahimahullah berkata:
قوله إلى غير جدار أي إلى غير سترة قاله الشافعي
“Perkataannya ‘tanpa menghadap tembok’; maksudnya adalah tanpa menghadap
sutrah. Hal itu dikatakan oleh Asy-Syaafi’iy” (Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fathul-Baariy, 1/171)
Meski kalangan yang mengatakan wajib, mengatakan bahwa “tidak menghadap
ke tembok” itu bukan berarti tidak menghadap apapun. Bisa jadi menghadap
tongkat, batu atau yang lainnya.
3. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan
terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa” (HR. Ahmad
3/297, Al Baihaqi dalam Al Kubra 2/273)
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas :
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan di hadapan beliau tidak terdapat apa-apa”
ini diperselisihkan keshahihannya, karena di dalamnya terdapat perawi Al
Hajjaj bin Arthah yang statusnya “shaduq katsiirul khata’ wat tadlis”
(shaduq, banyak salah dan banyak melakukan tadlis),dan di dalam sanadnya
Al Hajjaj pun melakukan ‘an’anah. Namun hadits ini memiliki jalan lain
dalam Musnad Ahmad (5/11, 104) dari Hammad bin Khalid ia berkata, Ibnu
Abi Dzi’bin menuturkan kepadaku, dari Syu’bah dari Ibnu ‘Abbas ia
berkata:
مَرَرْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي فَضَاءٍ مِنَ
الْأَرْضِ، فَنَزَلْنَا وَدَخَلْنَا مَعَهُ، فَمَا قَالَ لَنَا فِي ذَلِكَ
شَيْئًا
“Aku pernah di menunggangi keledai bersama Al Fadhl (bin Abbas) dan
melewati RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam yang sedang shalat
mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke
dalam shaf, dan beliau tidak berkata apa-apa kepada kami tentang itu”
Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu’bah, Ibnu Hajar berkata: “ia
shaduq, buruk hafalannya”. Juga hadits ini juga memiliki jalan lain yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (718), dari Abdul Malik bin
Syu’aib bin Al Laits, ia berkata: ayahku menuturkan kepadaku, dari
kakeknya, dari Yahya bin Ayyub, dari Muhammad bin Umar bin Ali, dari
Abbas bin Ubaidillah, dari Al Fadhl bin Abbas beliau berkata
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي
بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ، «فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ
يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا، وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ
يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah pernah datang kepada kami
sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada ‘Abbas. Lalu
beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan beliau
ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namun beliau
tidak menghiraukannya”
Yahya bin Ayyub dikatakan oleh Ibnu Ma’in: “tsiqah”, sedangkan Abu Hatim
Ar Razi menyatakan: ‘Ia menyandang sifat jujur, ditulis haditsnya namun
tidak dapat berhujjah denganya’. Ibnu Hajar mengatakan: ‘ia shaduq,
terkadang salah’. Insya Allah, statusnya shaduq. Adapun perawi yang lain
tsiqah.
Namun riwayat ini memiliki illah (cacat), yaitu adanya inqitha pada
Abbas bin Ubaidillah dari Al Fadhl. Ibnu Hazm dan Asy Syaukani
menyatakan bahwa Abbas tidak pernah bertemu dengan pamannya yaitu Al
Fadhl (Tamamul Minnah, 1/305). Sehingga riwayat ini tidak bisa menjadi
penguat.
Meski demikian, hadits ini dihasankan oleh Abdul Aziz bin Baz dalam
Hasyiyah-nya terhadap Bulughul Maram (185) juga oleh Syu’aib Al Arnauth
dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (3/431).
Bahkan Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad (365)
mengatakan hadits ini shahih. Sehingga ini menjadi dianggap menjadi
dalil yang kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum
sunnah.
Terlepas dari mana yang lebih rajih, silahkan pilih diantara dua
pendapat itu. Jika menganggap wajib, maka seharusnya ada konsekwensi
dibalik itu. Ketika menganggap wajib, artinya shalat tidaklah sah jika
tanpa adanya sutrah.
Takhtimah
Intinya, sutroh amat besar sekali hikmahnya. Menghadap sutroh akan
membuat shalat lebih khusyu’ karena orang akan sulit lewat lewat di
hadapannya dan pandangan orang yang shalat pun terbatas. Bahkan
keutamaan yang lebih besar dari itu semua adalah menghadap sutroh
termasuk mengikuti sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hikmah yang terakhir ini tentu lebih utama dari yang lainnya.
Catatan yang patut diingat, janganlah menjadikan masalah sutroh ini
sebagai masalah manhaj. Jangan ada yang punya anggapan bahwa orang yang
shalat tidak menghadap sutroh atau menghadap garis saja, maka ia
bukanlah Ahlus Sunnah. Ingat, pendapat bahwa hukum menghadap sutroh
adalah sunnah merupakan pendapat para ulama madzhab, yang jadi pendapat
kebanyakan ulama sejak masa silam dan saat ini. Jika demikian, tidak
sepantasnya mencela orang lain yang memang lebih memilih pendapat jumhur
(mayoritas) ulama. Semoga jadi renungan berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar