Shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya
Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Dalam shalat wajib, ada batas awal dan ada batas akhir. Orang yang
mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana
orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga batal.
Sehingga hukum asal shalat wajib harus dikerjakan pada waktu yang
telah ditentukan. Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali
karena ada sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti alasan bolehnya
menjamak shalat.
Alasan lain yang membolehkan seseorang shalat di luar waktu adalah
ketika dia memiliki udzur di luar kesengajaannya. Seperti karena
ketiduran atau kelupaan.
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat
waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia
ingat.” (HR. Ahmad 11972 dan Muslim 1600).
Dan itulah satu-satunya kaffarah yang diizinkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia harus segera shalat ketika ingat atau ketika
bangun. Selain cara itu, tidak ada kaffarah baginya.
Dalam riwayat lain, juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Siapa yang lupa shalat, maka dia harus shalat ketika ingat. Tidak
ada kaffarah untuk menebusnya selain itu.” (HR. Bukhari 597 & Muslim
1598)
Kita bisa simak, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
“Tidak ada kaffarah untuk menebusnya selain itu.”
Jika Meninggalkan dengan Sengaja, tidak ada Kaffarahnya
Jika Meninggalkan dengan Sengaja, tidak ada Kaffarahnya
Konsekuensi dari keterangan di atas, orang yang meninggalkan shalat
dengan sengaja, tidak ada kaffarah baginya. Karena hakekatnya dia shalat
di luar waktu. Sementara dia tidak memiliki udzur, karena dia lakukan
secara sengaja.
Lalu bagaimana cara menebus kesalahan karena meninggalkan shalat dengan sengaja?
Cara menebusnya adalah dengan memperbanyak shalat sunah. Karena
shalat sunah bisa menambal kekurangan dari shalat wajib yang dilakukan
hamba ketika di hari hisab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita proses hisab amal hamba,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ
أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ
لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا
أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ
كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ
تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى
فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ
Amal manusia pertama yang akan dihisab kelak di hari kiamat adalah
shalat. Allah bertanya kepada para Malaikatnya – meskipun Dia paling
tahu – “Perhatikan shalat hamba-Ku, apakah dia mengerjakannya dengan
sempurna ataukah dia menguranginya?” Jika shalatnya sempurna, dicatat
sempurna, dan jika ada yang kurang, Allah berfirman, “Perhatikan, apakah
hamba-Ku memiliki shalat sunah?.” jika dia punya shalat sunah, Allah
perintahkan, “Sempurnakan catatan shalat wajib hamba-Ku dengan shalat
sunahnya.” (HR. Nasai 465, Abu Daud 864, Turmudzi 415, dan dishahihkan
Syuaib al-Arnauth).
Berdasarkan hadis ini, para ulama menganjurkan, bagi siapa saja yang
meninggalkan shalat wajib, agar segera bertaubat dan perbanyak melakukan
shalat sunah. Dengan harapan, shalat sunah yang dia kerjakan bisa
menjadi penebus kesalahannya.
Syaikhul Islam mengatakan,
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ، ولا تصح منه ، بل يكثر من التطوع ، وهو قول طائفة من السلف
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan
meng-qadhanya. Dan jika dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang
dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat
sebagian ulama masa silam.” (Al-ikhtiyarot, hlm. 34).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Hazm,
من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها فهذا لا يقدر على قضائها أبداً،
فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع؛ ليُثَقِّل ميزانه يوم القيامة؛ وليَتُبْ
وليستغفر الله عز وجل
“Siapa yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka
selama dia tidak bisa mengqadha’-nya. Hendaknya dia memperbanyak amal
soleh dan shalat sunah, agar memperberat timbangannya keelah di hari
kiamat. Dia harus bertaubat dan banyak istighfar.” (al-Muhalla, 2/279).
Khilafiyah Ulama Tentang Sholat Kafarot
Ulama berbeda pandangan tentang hukum melakukan shalat kafarat, antara yang membolehkan dan mengharamkannya.
Pandangan yang membolehkan di antaranya karena pertimbangan sebagi berikut:
Pertama, bertendensi pada pendapat al-Qadli Husain yang membolehkan
mengqadla’ shalat fardlu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat tersebut
sebagaimana keterangan berikuti ini:
فرع ) قال القاضي لو قضى فائتة على الشك فالمرجو من الله تعالى أن يجبر
بها خللا في الفرائض أو يحسبها له نفلا وسمعت بعض أصحاب بني عاصم يقول :
إنه قضى صلوات عمره كلها مرة ، وقد استأنف قضاءها ثانيا ا هـ قال الغزي وهي
فائدة جليلة عزيزة عديمة النقل ا هـ إيعاب
“Cabangan permasalahan: al-Qadli Husain berkata, bila seseorang
mengqadla’ shalat fardlu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang
diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam
shalat fardlu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah. Saya
mendengar bahwa sebagian ashabnya Bani Ashim berkata, bahwa ia
mengqadla’ seluruh shalat seumur hidupnya satu kali dan memulai
mengqadlainya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah
faidah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.” (Syekh
Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz.2, halaman 27)
Dalam redaksi yang lain disampaikan:
إن الشك في عبادة بدنية أو مالية يجوز تعليق نية قضائها إن كان عليه وإلا فتطوع
“Keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat
qadla’nya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak,
maka berstatus sunah.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi
al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min
al-Ikhtilaf, halaman 4)
Kedua, tidak ada orang yang meyakini keabsahan shalat yang baru saja ia kerjakan, terlebih shalat yang dulu-dulu.
Ketiga, larangan shalat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran shalat
tersebut cukup untuk mengganti shalat yang ditinggalkan selama setahun,
ketika kekhawatiran tersebut hilang, maka hukum haram hilang.
Keempat, mengikuti amaliyyah para pembesar ulama dan para wali Allah
yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu
Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain
al-Habsyi dan banyak lainnya. Shalat tersebut rutin dilakukan dan
diimbau oleh para pembesar ulama di Yaman. Bahkan di masjid Zabid Yaman
shalat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah.
Mengikuti amaliyyah para wali dan ulama ‘ârifin (ahli ma'rifat) tanpa
diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi, sudah cukup untuk menjadi
hujjah membolehkan shalat kafarat ini. Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani
dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin, sebagaimana dikutip dalam Kasyf
al-Khafa’ mengatakan:
ومن القوم إذا لم يجدوا لذلك العمل دليلا من سنة رسول الله صلى الله عليه
وسلم الثابتة في كتب الشريعة يتوجهون بقلوبهم إلى رسول الله صلى الله عليه
وسلم فإذا حضروا بين يديه سألوه عن ذلك وعملوا بما قاله لهم ولكن مثل هذا
خاض بأكابر الرجال
“Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi
yang ditetapkan dalam kitab syari’ah, mereka menghadap hatinya kepada
Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau
dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi yang demikian ini
khusus untuk para pembesar sufi.”
فإن قيل فهل لصاحب هذا المقال أن يأمر الناس بما أمره رسول الله صلى الله
عليه وسلم بفعله وقوله؟ الجواب لا ينبغي له ذلك لأنه أمر زائد على السنة
الصحيحة الثابتة من طريق النقل ومن أمر الناس بشيء زائد على ما ثبت من طريق
النقل فقد كلف الناس شططا اللهم إلا أن يشاء أحد ذلك فلا حرج عليه كما هو
شأن مقلدي المذاهب المستنبطة من الكتاب والسنة والله أعلم
“Bila ditanya, apakah sufi yang mendapat amaliyyah dari Nabi boleh
memerintahkan orang lain sebagaimana Nabi memerintahkan kepadanya?
Jawabannya, tidak sebaiknya hal tersebut dilakukan, sebab merupakan
perkara tambahan atas sunah shahih, barang siapa memerintahkan manusia
perkara yang melebihi sunah Nabi yang dicetuskan berdasarkan riwayat
yang sahih, maka ia telah memberi beban kerancauan kepada mereka.
Kecuali bila ada orang yang dengan sukarela mengikutinya, maka tidak ada
masalah, sebagaimana keadaan para pengikut mazhab-mazhab yang bersumber
dari al-Quran dan hadits.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi
al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi hukmi Shalat al-Bara’ah min
al-Ikhtilaf, halaman 43)
Syekh Abdurrahman bin Syekh Ahmad Bawazir sebagaimana dikutip dalam Kasyf al-Khafa mengatakan:
ولا شك أن العارف بالله فخر الوجود أبا بكر بن سالم ممن يقلد في الصلاة
المذكورة لأن العارف لا يتقيد بمذهب كما في الإبريز للشيخ عبد العزيز
الدباغ بل قال فيه إن مذهب الولي العارف بالله أقوى من المذاهب الأربعة.
انتهى
“Tidak diragukan lagi bahwa al-Arif billah Fakr al-Wujud Syekh Abu Bakr
bin Salim adalah termasuk tokoh yang mengikuti amaliyyah shalat kafarat/
baraah ini, sebab orang yang ahli makrifat tidak terikat dengan mazhab
tertentu, seperti keterangan dalam kitab al-Ibriznya Syekh Abdul Aziz
al-Dabbagh, bahkan beliau mengatakan, sesungguhnya mazhabnya wali yang
al-Arif billah lebih kuat dibandingkan dengan mazhab empat.” (Syekh Fadl
bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi
Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, halaman 48)
Pandangan yang mengharamkan setidaknya karena berbagai pertimbangan berikut:
Pertama, tidak ada tuntunan yang jelas dari hadits Nabi atau kitab-kitab
syari’ah, sehingga melakukannya tergolong isyra’u ma lam
yusyra’(mensyariatkan ibadah yang tidak disyari’atkan) atau ta’athi bi
‘ibadatin fasidah (melakukan ibadah yang rusak).
Kedua, pengkhususan shalat kafarat pada akhir Jumat bulan Ramadhan tidak memiliki dasar yang jelas dalam syari’at.
Ketiga, terdapat keterangan sharih dari pakar fikih otoritatif mazhab Syafi’i, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami sebagai berikut:
وأقبح من ذلك ما اعتيد في بعض البلاد من صلاة الخمس في هذه الجمعة عقب
صلاتها زاعمين أنها تكفر صلوات العام أو العمر المتروكة وذلك حرام أو كفر
لوجوه لا تخفى
“Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa
shalat 5 waktu di jumat ini (jumat akhir Ramadhan) selepas menjalankan
shalat jumat, mereka meyakini shalat tersebut dapat melebur dosa
shalat-shalat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup,
yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi
pandang yang tidak samar.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj, juz.2, halaman 457)
Mengomentari statemen di atas, Syekh al-Syarwani mengatakan:
قوله ( وذلك ) أي الزعم المذكور قوله ( لوجوه إلخ ) منها إسقاط القضاء وهو مخالف للمذاهب كلها كردي
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar, yang demikian ini adalah haram atau bahkan
kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar, di antaranya adalah
dapat menggugurkan kewajiban mengqadla’ shalat, hal ini menyalahi
seluruh mazhab-mazhab.” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah
al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, juz.2, halaman 457)
Keempat, hadits tentang shalat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.
Kesimpulan ikhtilaf mengenai hukum shalat kafarat terangkum dalam
statemen Mufti Syekh Salim bin Said Bukair al-Hadlrami yang
dikutip Kasyf al-Khafa’ sebagai berikut:
ما قولكم في صلاة الخمسة الفروض التي تصلى آخر جمعة من رمضان هل هي جائزة
شرعا أم لا؟ وهل أحد نص عليها من العلماء وفعلها غير الشيخ أبو بكر وأولاده
أفيدونا؟!
الجواب الحمد لله صلاة الفروض آخر جمعة من رمضان قضاء فوائت ليس على يقين
منها، وتسمى صلاة البراءة، اختلف العلماء فيها، فقال بتحريمها جماعة كالشيخ
ابن حجر وبامخرمة وغيرهما. وقال بجوازها كثير من علماء اليمن، وكانت تصلى
بجامع زبيد كما قال الناشري، قال ولا يتركها إلا القليل انتهى. وهي محط
رجال العلم وأئمة الفتوى وقد صلاها جماعة من الأئمة الورعين البارعين في
علمي الظاهر والباطن كالفخر الشيخ أبي بكر بن سالم والإمام العلامة أحمد بن
زين الحبشي والإمام الحبيب عمر بن زين بن سميط والحبيب العلامة أحمد بن
محمد المحضار والعلامة الحبيب أحمد بن حسن العطاس والحبيب العلامة سالم بن
حفيظ بن الشيخ بن أبي بكر بن سالم والحبيب العلامة عبد الله بن عبد الرحمن
بن الشيخ أبي بكر بن سالم وغيرهم من علماء اليمن وحضر موت.
“Bagaimana pendapat anda tentang shalat lima waktu yang dilakukan di
ahir Jumat Ramadhan, boleh atau tidak? Apakah ada salah seorang ulama
yang membolehkannya dan mengamalkannya selain Syekh Abu Bakr bin Salim
dan anak-anaknya?.
Jawaban, segala puji bagi Allah, shalat fardlu lima waktu di akhir Jumat
bulan Ramadhan merupakan shalat untuk mengqadlai shalat fardlu yang
tidak diyakini ditinggalkan, shalat ini disebut dengan shalat bara’ah,
ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Segolongan ulama seperti Syekh
Ibnu Hajar, Syekh Bamakhramah dan lainnya mengharamkan. Dan mayoritas
ulama Yaman membolehkannya, shalat ini dilakukan di masjid Jami’ Zabid
seperti yang dikatakan imam al-Nasyiri, beliau mengatakan, tidak
meninggalkan shalat ini kecuali segelintir orang. Shalat bara’ah ini
adalah amaliyyah para tokoh ilmu dan imam-imam fatwa, shalat ini
dilakukan oleh para imam yang wira’i, yang menonjol dalam ilmu zhahir
dan batin, seperti al-Fakhr Syekh Abu Bakr bin Salim, al-‘Allamah Ahmad
bin Zain al-Habsyi, Habib Umar bin Zain bin Smith, Habib Ahmad bin
Muhammad al-Mihdlar dan ulama Hadlramaut yang lain.”
فقد أقامها كل من المذكورين في جهاتهم وبلدانهم وأمر بها وأقرها الإمام
الحجة الحبيب عبد الرحمن بن عبد الله بلفقيه وهو الذي كان يلقبه الإمام
الحبيب عبد الله الحداد بـ "علامة الدنيا"...إلى أن قال.... وكفى بهذا
الإمام وبمن تقدم ذكرهم من أئمة الدين والعلماء الورعين حجة في جواز هذه
الصلاة ، وإذا لم تقم بهم وبأمثالهم الحجة فيمن تقوم الحجة؟.
“Mereka-mereka ini melakukan shalat bara’ah di daerah-daerahnya dan
memerintahkan orang untuk melakukannya, kebolehan shalat ini juga
diamini oleh Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih yang dijuluki oleh
Habib Abdullah al-Haddad dengan “orang sangat alim di dunia.” Cukuplah
imam ini dan imam-imam lain yang disebutkan sebelumnya dari para imam
agama dan ulama yang wira’i, dijadikan sebagai hujjah kebolehan shalat
bara’ah, bila tida bisa, lantas siapa lagi ulama yang bisa dijadikan
hujjah?
وقد قال بجواز القضاء مع الشك القاضي حسين والغزي كما في الجمل على المنهج
والإمام الغزالي في الإحياء وفي ذلك أعظم دليل وأقوى حجة لما قاله وعمله
هؤلاء الأئمة بل لو لم يقل بجواز هذه الصلاة ويفعلها إلا الشيخ أبو بكر بن
سالم قوله وفعله كما في الحجة فإنه من كبار العلماء وأئمة الدين
“Al-Qadli Husain dan al-Ghuzzi membolehkan shalat qadla’ beserta
keraguan seperti dalam hasyiyah al-Jamal dan al-Imam al-Ghazali dalam
kitab Ihya’, ini adalah dalil dan hujjah terkuat dari apa yang dikatakan
dan diamalkan imam-imam yang tersebut di atas. Bahkan, andai saja yang
membolehkan dan melakukan shalat ini hanya Syekh Abu Bakr bin Salim,
maka sudah cukup, sesungguhnya beliau tergolong pembesar ulama dan
imam-imam agama.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi
al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi hukmi shalat al-Bara’ah min
al-Ikhtilaf, halaman 37)
Demikian penjelasan mengenai ikhtilaf ulama tentang shalat kafarat atau
shalat bara’ah, semoga bisa saling menghargai atas perbedaan tersebut,
karena keduanya sama-sama memiliki argumen yang dapat
dipertanggungjawabkan. Yang perlu ditegaskan adalah, keyakinan bahwa
shalat kafarat diyakini sebagai pengganti shalat fardlu yang
ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan, sebab
kewajiban bagi orang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau lupa,
adalah mengqadla’nya satu persatu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini.
Shalat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi (ihtiyath) saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar