Pada dasarnya memang shalat sunnah di malam hari itu 2 rakaat dengan satu kali salam, dan bukan 4 raka’at dengan satu salam.
Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَهِيَ
الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ اْلعَتَمَةَ إِلَى اْلفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُسَلِّمُ مَا بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ.
[رواه مسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat pada waktu
antara Isya’, dan Subuh, - yang dikenal orang dengan istilah ‘atamah”,
sebanyak sebelas raka’at, yaitu beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat,
dan beliau shalat witir satu raka’at.” [HR. Muslim]
Dalam risalah ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara
terpenting dalam shalat Tarawih secara sederhana. Dengan demikian
risalah ini menjadi tulisan yang dapat dihayati dan sangat layak dibaca
oleh siapa saja yang ingin memahami secara benar dan mau menyelamatkan
perkara ibadahnya.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah
bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah
mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah
raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan
lainnya lebih dari 11 raka’at.” [HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no.
738.]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ
جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ
بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ
مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ
أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ
اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ
لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ،
فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ
مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا
عَنْهَا »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di
tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian
mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya
orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam
berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat
dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan
kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang
hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Majelis Hukama
Pecinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan
mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid
sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk
shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap
kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du,
sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan
tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara
kalian tidak mampu.” [HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761.]
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan
mengenai perintah untuk melaksanakan QIYAMUL LAIL di bulan Ramadhan dan
ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah
raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa
jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau
shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya.
Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang
tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” [Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 2/9635]
Untuk shalat tarawih secara khusus yang memang hanya ada di bulan
Ramadhan, mereka menggunakan dalil dari apa yang dikerjakan oleh seluruh
shahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa Umar bin Khattab,
yaitu shalat tarawih seusai shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat.
Saat itu Umar ra. melihat bahwa umat Islam shalat tarawih
sendiri-sendiri, lalu beliau mengatakan bahwa alangkah baiknya bila
mereka tidak shalat tarawih sendiri-sendiri, tapi di belakang satu imam
yaitu Ubay bin Ka’ab. Dan riwayat yang mereka tetapkan adalah bahwa
jumlah rakaat shalat tarawihnya para shahabat saat itu adalah 20 rakaat.
Sedangkan jumlah shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang hanya sesuai riwayat Bukhari no. 924 dan Muslim
no. 761 diatas hanya 3 malam saja, lalu setelah itu tidak dikerjaan
lagi, ternyata semua riwayatnya tidak menyebutkan jumlah rakaatnya.
Satu-satunya yang bisa dijadikan rujukan adalah jumlah rakaat para
shahabat ketika shalat tarawih di zaman Umar bin Al-Khattab ra. Dan
ternyata jumlahnya 20 rakaat. Logikanya, mana mungkin seluruh shahabat
mengarang sendiri untuk shalat dengan 20 rakaat? Pastilah mereka
melakukannya karena dahulu sempat shalat tarawih 20 rakaat bersama nabi
SAW. Sayangnya, hadits tentang shalat tarawihnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dulu sama sekali tidak menyebutkan jumlah rakaat.
Sebab sangat dimungkinkan adanya satu hadits dengan beberapa penilaian
oleh beberapa ulama yang berbeda. Yang satu bilang shahih, yang lain
bila tidak shahih. Dan fenomena ini adalah sesuatu yang sangat bisa
diterima di dalam dunia ilmu-ilmu keIslaman.
Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ
تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang
tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat.
Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya
tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian
aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”?
Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku
tidaklah tidur”.
Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:
فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ
عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ .
Artinya: “Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat
umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga
diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah”.
Maksud dari perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih
bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan
catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi
bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum
satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir
dan umum.Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang
dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia
merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan
juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah
4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi).
Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka
yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang
diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi
bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi
umatnya. Contohnya adalah tentang kandungan surat annisa ayat 3 sebagai
perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri
lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya
meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap
tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4
merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini,
maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang
mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4
rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.
Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah
yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita
tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4
rakaat benar-benar sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai
periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud
dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2. Perhatikanlah
penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ
بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ
وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ
رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ
حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.
Artinya: Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat
antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah
sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam
pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang
Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah
datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2
rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas
lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk
Iqamah.Hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya
hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis no: 1671, Imam
al-Darimiy dalam sunannya hadis no: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam
al-Sunan al-Shughra hadis no: 600, al-sunan al-Kubra hadis no: 4865 dan
Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis no: 1435.>>
Para ulama dari berbagai generasi dan beragama madzhab fikih telah
menjelaskan maksud perkataan Aisyah: 4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat,
di atas. Dalam menjelaskan maksud perkataan itu hemat kami mereka telah
berupaya secara objektif, tanpa “terpengaruh” madzhab yang dianutnya.
Sikap ini berbeda dengan sebagian kalangan yang membaca atau mempelajari
penjelasan para ulama yang bersangkutan. Di mana penjelasan dari mereka
sering kali dipahami secara tidak utuh atau tidak objektif, sehingga
melahirkan suatu kesimpulan yang belum tentu selaras dengan maksud ulama
tersebut.
Demi memelihara objektifitas tersebut, di sini akan kami sajikan
penjelasan dari para ulama itu secara lengkap beserta teks aslinya,
antara lain:
Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H) berkata:
وأما قوله يصلي أربعا ثم يصلي أربعا ثم يصلي ثلاثا فذهب قوم إلى أن الأربع
لم يكن بينها سلام وقال بعضهم ولا جلوس إلا في آخرها وذهب فقهاء الحجاز
وجماعة من أهل العراق إلى أن الجلوس كان منها في كل مثنى والتسليم أيضا ومن
ذهب هذا المذهب كان معنى قوله في هذا الحديث عنده أربعا يعني في الطول
والحسن وترتيب القراءة ونحو ذلك ودليلهم على ذلك قوله صلى الله عليه وسلم "
صلاة الليل مثنى مثنى" لأنه محال أن يأمر بشيء ويفعل خلافه صلى الله عليه
وسلم
“Dan adapun perkataannya yushalli ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat),
tsumma yushalli ‘arba’an,tsumma yushalli tsalaatsan, maka suatu kaum
berpendapat bahwa 4 rakaat itu tanpa salam di antaranya, dan sebagian
mereka berpendapat, ‘Tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhir rakaat
keempat.’ Sementara ahli fiqh Hijaz dan sekelompok ulama Irak
berpendapat bahwa duduk (tahiyat) di antara 4 rakaat itu pada setiap 2
rakaat, demikian pula salam. Dan orang yang berpendapat demikian
memaknai kata empat pada hadis itu dalam hal panjang (lama rakaat),
keelokan (tata cara), tertib bacaan, dan lain-lain. Dan dalil mereka
atas pendapat itu sabda Nabi saw. ‘Salat malam itu dua rakaat, dua
rakaat’, karena mustahil beliau memerintah terhadap sesuatu dan beliau
berbuat sebaliknya.” (Lihat, At-Tamhid limaa fii al-Muwatha min
al-Ma’ani wa al-Asaanid, XXI:70)
Al-Qadhi Iyadh (w.544 H) berkata:
قولها : (يصلى أربعأ أربعا) الحديث : فذهب قوم إلى أنه لم يكن بين الأربع
سلام ، وكذلك الأربع الأخر ، وقال اخرون : لم يجلس إلا فى اخر كل أربع ،
وذهب معظم الفقهاء الحجازيين وبعض العراقين إلى التسليم بين كل اثنتين من
الأربع ، وهو مذهب مالك ، وتأويل معنى ذكر أربع هنا عند بعضهم أنها كانت فى
التلاوة والتحسن على هيئة واحدة لم يختلف الركعتان الأوليان من الاخرتين ،
ثم الأربع بعدها أيضا مشتبهة فى الصفة من الترتيل والتحسين وإن لم تبلغ فى
طولها قدر الأول كما قال فى الحديث الاَخر : (يصلى ركعتين طويلتن ثم يصلى
ركعتين هما دون اللتن قبلهما
“perkataannya yushalli ‘arba’an ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat, 4
rakaat), maka suatu kaum berpendapat bahwa tanpa salam di antara 4
rakaat itu, dan demikian pula 4 rakaat kedua, dan sebagian mereka
berpendapat, ‘Tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhir tiap rakaat
keempat.’ Sementara sebagian besar ahli fiqh Hijaz dan sebagian ulama
Irak berpendapat bahwa terdapat salam pada setiap 2 rakaat di antara 4
rakaat itu, dan ini pendapat Malik. Dan orang yang berpendapat demikian
mentakwil kata empat pada hadis itu dalam hal tilawah dan pengelokan
atas satu cara yang tidak berbeda antara dua rakaat pertama dengan dua
rakaat akhir, demikian pula 4 rakaat setelahnya serupa dalam sifat
tartil dan tahsin meskipun ukuran panjangnya tidak sama antara satu
rakaat dengan rakaat sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis lain
semisalnya, ‘Beliau salat dua rakaat yang panjang, lalu salat dua
rakaat yang kurang dari ukuran sebelumnya’.” (Lihat, Ikmal al-Mu’lim
Syarh Shahih Muslim, III:49)
Imam al-‘Aini (w. 855 H) berkata:
وفي قولها يصلي أربعا حجة لأبي حنيفة رضي الله تعالى عنه في أن الأفضل في
التنفل بالليل أربع ركعات بتسليمة واحدة وفيه حجة عن منع ذلك كمالك رحمه
الله وفي قولها ثم يصلي ثلاثا حجة لاصحابنا في أن الوتر ثلاث ركعات بتسليمة
واحدة لأن ظاهر الكلام يقتضي ذلك فلا يعدل عن الظاهر إلا بدليل فإن قلت قد
ثبت إيتار النبي بركعة واحدة وثبت أيضا قوله ومن شاء أوتر بواحدة قلت
سلمنا ذلك ولكنه إن تلك الركعة الواحدة توتر الشفع المتقدم لها والدليل على
ذلك ما رواه البخاري حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن نافع وعبد
الله بن دينار عن ابن عمر أن رجلا سأل النبي عن صلاة الليل فقال رسول الله
صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد
صلى
Pada perkataan Aisyah: yushalli ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat)
terdapat hujjah bagi Abu Hanifah bahwa yang paling utama pada salat
sunat waktu malam itu 4 rakaat dengan satu salam, dan pada perkataan itu
pula terdapat hujjah (bantahan) terhadap orang yang melarang hal itu (4
rakaat dengan satu salam) seperti Malik semoga Allah merahmatinya dan
pada perkataan Aisyah:yushalli tsalaatsan (beliau salat 3 rakaat)
terdapat hujjah bagi para sahabat kami bahwa witir itu 3 rakaat dengan
satu salam, karena zhahir pembicaraan menghendaki demikian. Maka tidak
boleh meninggalkan makna zhahir kecuali berdasarkan dalil. Jika anda
mengatakan, ‘Sungguh terbukti Nabi witir dengan satu rakaat dan terbukti
pula sabda beliau: ‘Siapa yang mau berwitirlah dengan satu rakaat.’
Saya katakan, ‘Kami menerima itu, namun sungguh satu rakaat itu
mewitirkan rakaat genap yang mendahuluinya, dan dalil atas hal itu
riwayat al-Bukhari, (ia berkata) ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan
kepada kami.’ Ia berkata, ‘Malik telah mengabarkan kepada kami.’ Dari
Nafi dan Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi tentang salat malam. Maka Rasulullah bersabda,
‘Salat malam itu dua rakaat, dua rakaat. Maka jika seseorang di antara
kamu khawatir tiba waktu subuh, ia salat satu rakaat yang mengganjilkan
rakaat yang telah ia laksanakan.” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih
al-Bukhari, VII:204)
Al-Mula Ali al-Qari (w. 1014 H) berkata:
ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا لَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ )
ظَاهِرُ الْحَدِيثِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلًّا مِنَ الْأَرْبَعِ بِسَلَامٍ
وَاحِدٍ ، وَهُوَ أَفْضَلُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي الْمَلَوَيْنِ ،
وَعِنْدَ صَاحِبَيْهِ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى ، فَيَنْبَغِي أَنْ
يُصَلِّيَ السَّالِكُ أَرْبَعًا بِسَلَامٍ مَرَّةً وَسَلَامَيْنِ أُخْرَى
جَمْعًا بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ ، وَرِعَايَةً لِلْمَذْهَبَيْنِ ( ثُمَّ
يُصَلِّي ثَلَاثًا ) ، وَهَذَا أَيْضًا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ صَلَّاهَا
بِسَلَامٍ وَاحِدٍ ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ مُسْلِمٍ بَعْدَ إِيرَادِ
صَلَاةِ اللَّيْلِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلَاثٍ
“Kalimat ‘Kemudian Beliau salat empat rakaat, maka engkau jangan
bertanya tentang baik dan panjangnya.’ Zhahir hadis menunjukkan bahwa
setiap 4 rakaat dengan satu salam, dan cara ini lebih utama menurut Abu
Hanifah dalam al-Malawain, sementara menurut kedua sahabatnya salat
malam itu dua rakaat, dua rakaat. Maka layak bagi salik (murid,
pengikut) untuk salat 4 rakaat dengan satu salam pada satu waktu dan
dengan dua salam pada waktu lain sebagai upaya kompromi di antara dua
riwayat dan memelihara kedua madzhab. Kalimat ‘Kemudian Beliau salat
tiga rakaat,’ dan ini pun menunjukkan bahwa beliau melaksanakan 3 rakaat
dengan satu salam, dan hal itu diperkuat oleh pendapat Muslim setelah
menyebutkan salat malam kemudian beliau witir dengan 3 rakaat.” (Lihat,
Jam’ al-Wasa’il fii Syarh as-Syama’il tanpa jilid dan halaman)
Muhammad Syamsul Haq Abadi (w. 1329 H) berkata:
وَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيث عَائِشَة فِي بَيَان صَلَاة اللَّيْل
: يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَل عَنْ حُسْنهنَّ وَطُولهنَّ ثُمَّ
أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَل عَنْ حُسْنهنَّ وَطُولهنَّ الْحَدِيث . فَهَذَا
الْفَصْل يُفِيد الْمُرَاد ، وَإِلَّا لَقَالَتْ ثَمَانِيًا فَلَا تَسْأَل .
كَذَا ذَكَرَهُ اِبْن الْهُمَام فِي فَتْح الْقَدِير شَرْح الْهِدَايَة .
“Dan keterangan dalam as-Shahihain (al-Bukhari-Muslim) dari hadis Aisyah
dalam menjelaskan salat malam: ‘Beliau salat empat rakaat, maka engkau
jangan bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau salat
(lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik dan
panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat.’ Maka pemisahan ini
(4+4) menghasilkan yang dimaksud (4 rakaat satu salam), dan jika tidak
demikian (maknanya) niscaya Aisyah mengatakan, ‘‘Beliau salat delapan
rakaat, maka engkau jangan bertanya.’ Demikian yang diterangkan oleh
Ibnu al-Humam dalam kitab Fath al-Qadier Syarh al-Hidayah.” (Lihat,
‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, IV:146-147)
Imam Ash-Shan’âniy (w. 1182 H) berkata:
( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ
الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا
أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Kalimat Yushalli arba’an (Beliau salat empat rakaat). Kata arba’an
(empat rakaat) mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, makna zhahir,
yaitu menunjukkan bersambung (empat rakaat sekaligus). Kedua, makna
jauh, yaitu menunjukkan dipisah (empat rakaat tidak sekaligus). Namun
makna jauh ini sejalan dengan hadis:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.” (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, II:275)
Pemahaman Kami Terhadap Maksud Imam Ash-Shan’âniy
Perkataan Imam Ash-Shan’âniy oleh sebagian kalangan dijadikan rujukan
bahwa salat tarawih 4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat, masing-masing
dengan satu salam memiliki landasan ilmiah. Namun kalangan lainnya,
mengganggap bahwa tidak demikian maksud dari Imam Ash-Shan’âniy, bahkan
mereka mengatakan “banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami
penjelasan Imam Muhammad as-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh
Bulûgh Al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih
dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu.”
Untuk menghindari klaim yang tidak proporsional, mari kita pelajari
bersama redaksi perkataan Imam Ash-Shan’âniy yang sesungguhnya.
Sehubungan dengan itu, kita cantumkan kembali perkataan beliau sebagai
berikut:
( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ
الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا
أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Kalimat Yushalli arba’an (Beliau shalat empat rakaat). Kata arba’an
(empat rakaat) mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, makna zhahir,
yaitu menunjukkan bersambung (empat rakaat sekaligus). Kedua, makna
jauh, yaitu menunjukkan dipisah (empat rakaat tidak sekaligus). Namun
makna jauh ini sejalan dengan hadis:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
‘Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.’ (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, II:275)
Bila redaksi perkataan di atas kita cermati secara jernih, tentu kita
dapat memahami bahwa “Isu sentral” yang dibicarakan oleh Imam
Ash-Shan’âniy bukanlah praktik 4 rakaat itu apakah dengan 1 kali salam
atau 2 kali salam, melainkan pemaknaan kalimat Yushalli arba’an(Beliau
shalat empat rakaat) antara washal (bersambung) ataukah fashal
(dipisah), karena kata arba’an (empat) dipandang bermakna ganda.
Maka untuk mencari kejelasan makna yang dimaksud, beliau mengajukan dua
perspektif: Pertama,zhahir. Kedua, ba’iid (makna jauh). Menurut beliau,
kata empat yang dimaksud menunjukkan bersambung (empat rakaat
sekaligus). Pemaknaan demikian disebut zhahir. Mengapa pemaknaan ini
disebut zhahir? Di sini perlu sedikit dijelaskan tentang kaidah zhahir,
agar kita dapat memahami maksud Imam As-Shan’âniy dengan sebenarnya.
Yang dimaksud dengan lafal zhahir adalah:
الظَّاهِرُ هُوَ اللَّفْظُ الَّذِي يَدُلُّ عَلَى مَعْنَاهُ دِلاَلَةً
وَاضِحَةً بِحَيْثُ لاَ يَتَوَقَّفُ فَهْمُ المُرَادِ مِنْهُ عَلَى
قَرِيْنَةٍ خَارِجِيَّةٍ.
Zhâhir ialah suatu lafaz yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas
tanpa memerlukan penjelasan dari luar. (Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, Zakî
ad-Dîn Sya‘bân, hlm. 341)
Lafaz nash zhahir ini wajib diamalkan sesuai dengan kejelasannya.
Sungguhpun demikian, lafal zhahir dapat di-ta`wîl-kan bila terdapat
qarinah (indikasi). Sebagai contoh dapat dilihat dalam ayat:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ... البقرة [2]: 275.
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… (QS. Al-Baqarah, 2:275)
Ayat ini begitu jelas artinya, bahwa jual beli itu hukumnya halal dan
riba` itu haram. Pengertian inilah yang segera dapat ditangkap oleh akal
pikiran kita tanpa memerlukan qarînah untuk menjelaskannya. Namun
demikian, ayat ini bukan hanya sekedar menyatakan bahwa jual beli itu
halal dan riba` itu haram hukumnya, tetapi ayat ini untuk menyatakan dan
membantah anggapan orang-orang munafik Mekah waktu itu di mana
jual-beli itu sama dengan riba`. Padahal jual-beli itu tidak sama dengan
riba`.
Sekarang kita kembali kepada kata ‘arba’an (empat). Ketika Aisyah menyatakan:
يُصَلِّي أَرْبَعًا
“Beliau shalat empat rakaat.”
Maka pengertian yang segera dapat ditangkap oleh akal pikiran kita tanpa
memerlukan qarînahuntuk menjelaskannya adalah berjumlah 4 rakaat, bukan
2 rakaat, 2 rakaat. Apabila kata “empat” dimaknai 2+2 maka pemaknaan
demikian itu memerlukan qarînah eksternal untuk menjelaskannya. Karena
itulah beliau menyebutnya dengan kata ba’iid (makna jauh).
Jadi, apabila kata itu dimaknai washal maka kata itu dikategorikan
zhahir. Artinya, kata ‘arba’anmenunjukkan kepada pengertian empat rakaat
sekaligus tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Sedangkan bila
dimaknai fashal maka kata itu dikategorikan ba’iid (jauh). Artinya, kata
‘arba’andimaknai empat rakaat tidak sekaligus atau dipisah menunjukkan
pengertian jauh. Dengan perkataan lain dimaknai secara ta`wîl, yaitu
memalingkan atau mengubah arti zhahir lafal ‘arba’an(empat rakaat
sekaligus) kepada arti lain (empat rakaat dipisah).
Hemat kami, menurut beliau, pemaknaan demikian merupakan ta`wîl yang
jauh dari arti zhahirnya. Untuk itu diperlukan dalil yang dapat
mendukung pen-ta`wîl-an tersebut. Maka dalam hal ini beliau mengajukan
dalil, yaitu sabda Nabi Saw.:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.”
Sampai kalimat ini, kami tidak menangkap “sinyal” adanya pemahaman dari
beliau, bahwa “shalat Tarawih 4 Rakaat itu dilakukan dengan dua kali
Salam” Apalagi “pemaksaan fiqih” bahwa “Shalat Tarawih 4 Rakaat Satu
Salam itu merupakan kesalahkaprahan.”
Dalam risalah الجـواب الصحيح لمن صلى أربعا بتسليمة من التراويــح,
penulis telah sebutkan lebih dari 80 kitab Mu’tabar dari berbagai cabang
ilmu, baik dari keterangan kitab Syarh hadis, fiqh, Ushul Fiqh dan
Taswwuf, yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan dengan 4
rakaat sekali salam itu tidak sah. Di antaranya:
1. Imam Nawawiy al-Dimasyqiy:
يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ
ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ
وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ
فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ
الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ
وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ
أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ .)المجموع شرح
المهذب: ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000)
Artinya:”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat
Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada
sampai terbit fajar”. Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih
dengan dua rakaat- dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunah
lainnya.Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka
shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam
fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah
disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia
tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah
Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada
setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.
2. Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ
مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى
أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ
الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ سُنَّةِ
الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ .)فتح الجواد شرح الارشاد:ج 1 ص
: 163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971)
Artinya: Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya
dua-dua, dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4
rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut
menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah
keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat
sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas
Qaul Mu’tamad.
3. Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy:
وَلَا تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ بَلْ يَنْوِي
رَكْعَتَيْنِ مِنْ التَّرَاوِيحِ أَوْ مِنْ قِيَامِ رَمَضَانَ .وَلَوْ
صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا ،
وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ.)
نهاية المحتاج شرح المنهاج : ج 1 ص :127 (دار الفكر 2004)
Artinya: Tidak sah shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya
seseorang berniat Tarawih atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam
pada setiap 2 rakaat. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4
rakaat satu salam, jika ia sengaja-ngaja dan mengetahui maka shalatnya
tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu menjadi shalat sunah
Mutlak, Karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.
4. Imam Muhammad al-Zarkasyiy:
صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ
وَحَكَى الرُّوْيَانِيُّ عَنِ اْلقَدِيْمِ أَنَّهُ لاَحَصْرَ
لِلتَّراوِيْحِ وَهُوَ غَرِيْبٌ . وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ فِي
التَّحْقِيْقِ وِثَاقًا لِلْقَاضِي حُسَيْنٍ فِي فَتَاوِيْهِ وَلِأَهْلِ
الْمَدِيْنَةِ فَعْلُهَا سِتًّا وَثَلاَثِيْنَ قَالَ الشَّافِعِيُّ
وَاْلأَصْحَابُ : مِنْ خَصَائِصِهِمْ . (الديباج في توضيح المنهاج : ج 1 ص :
198 (دار الحديث 2005)
Artinya: Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Imam
al-Rûyâniy menghikayatkan pendapat dari Qaul Qadim ”Sesungguhnya
pernyataan shalat Tarawih tidak ada batasan adalah pendapat yang Gharib
(aneh)”. Seseorang yang mengerjakan shalat Tarawih hendaknya memberi
salam pada tiap 2 rakaatnya. Seandainya seseorang shalat 4 rakaat dengan
satu salam, maka shalatnya tidak sah. Imam Nawawiy al-Dimasyqiy telah
menyebutkan hal itu dalam kitabnya al-Tahqîq, yang bersandar kepada
al-Qâdhi Husain dalam fatâwanya. Adapun penduduk kota Madinah mereka
mengerjakan shalat Tarawih 36 rakaat. Imam Syafii dan para pengikutnya
berkata:” Khusus bagi penduduk Madinah saja”.
5. Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Qasthallaniy:
وَ فُهِمَ مِمَّا سَبَقَ مِنْ أَنَّها بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ أَنَّهُ لَوْ
صَلَّاهَا أَرْبَعًا أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ، وَبِهِ
صَرَّحَ فِي الرَّوْضَةِ لِشَبَهِهَا بِالْفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ
فَلَا تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ .)ارشاد الساري شرح صحيح البخاري : ج 3 ص :
426 (دار الفكر 1984)
Artinya: “Dipahami dari ungkapan yang lalu sesungguhnya shalat Tarawih
itu pelaksanaannya dengan 10 kali salam, Seandainya seseorang shalat
Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah.
Seperti inilah keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam
kitab al-Rawdhah, Karena shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam
menuntut berjamaah (tiap 2 rakaat melakukan Tasyahhud), maka jangan
dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).”
6. Imam Zakariya al-Anshariy:
وَسُمِّيَتْ كُلُّ أَرْبَعٍ مِنْهَا تَرْوِيحَةً لِأَنَّهُمْ كَانُوا
يَتَرَوَّحُونَ عَقِبَهَا أَيْ : يَسْتَرِيحُونَ ، وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا
بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّهَا بِمَشْرُوعِيَّةِ الْجَمَاعَةِ
فِيهَا أَشْبَهَتْ الْفَرِيضَةَ فَلَا تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ . )فتح
الوهاب شرح منهج الطلاب: ج1 ص : 58 ( منارا قدس د ت)
Artinya: Pada setiap 4 rakaat dinamai satu Tarwihah karena para sahabat
bersantai-santai setelahnya artinya beristirahat. Jika seseorang shalat
Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka tidak sah, karena anjuran
berjamaah pada shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu, maka jangan
diubah aturan yang telah ada keterangannya.”
7. Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalliy:
( وَمَعْنَى الشَّرْعِيِّ ) الَّذِي هُوَ مُسَمَّى مَا صَدَقَ الْحَقِيقَةُ
الشَّرْعِيَّةُ ( مَا ) ، أَيْ : شَيْءٌ ( لَمْ يُسْتَفَدْ اسْمُهُ إلَّا
مِنَ الشَّرْعِ ) كَالْهَيْئَةِ الْمُسَمَّاةِ بِالصَّلَاةِ ( وَقَدْ
يُطْلَقُ ) ، أَيْ : الشَّرْعِيُّ ( عَلَى الْمَنْدُوبِ ، وَالْمُبَاحِ ) ،
وَمِنْ الْأَوَّلِ قَوْلُهُمْ مِنْ النَّوَافِلِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ
الْجَمَاعَةُ ، أَيْ : تُنْدَبُ كَالْعِيدَيْنِ . وَمِنْ الثَّانِي قَوْلُ
الْقَاضِي الْحُسَيْنِ لَوْ صَلَّى التَّرَاوِيحَ أَرْبَعًا بِتَسْلِيمِة
لَمْ تَصِحَّ ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ .) شرح جمع الجوامع : ج 1 ص
: 304 (مطبعة مصطفى البابي الحلبي 1973)
Artinya: Makna Syar’i itu dinamakan sesuatu yang berbetulan dengan
hakikat syara’ adalah sesuatu yang tidak dipahami namanya melainkan dari
syara’ seperti bentuk shalat. Digunakan juga makna syar’i itu atas
perbuatan yang mandub dan mubah, dari definisi pertama para ulama
berpendapat shalat sunah yang disyari’atkan berjamaah artinya disunahkan
berjamaah seperti shalat dua hari raya idul fitri dan idul Adha. Dari
definisi kedua ini perkataan al-Qadhi Husein yang mengatakan “Seandainya
ia mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka
shalat Tarawihnya tidak sah”.
8. Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthiy:
(وَيَقُوْمُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ
رَكْعَةً) بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ بَيْنَ صَلاَةِ
اْلعِشَاءِ وَ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ، فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ
لَمْ يَصِحَّ، كَمَا نَقَلَهُ فِي الرَّوْضَةِ عَنِ الْقَاضِي حُسَيْنٍ
وَأَقَرَّهُ ِلأَنَّهُ خِلاَفُ اْلمَشْـرُوْعِ .) شرح التنبيه في فروع
الفقه الشافعي:ج 1 ص : 134 (دار الفكر 1996)
Artinya: “Seseorang mengerjakan shalat Tarawih pada tiap malam bulan
Ramadhan dengan 10 kali salam pada tiap malam antara shalat Isya sampai
terbit fajar. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam
maka hukumnya tidak sah. Sebagaimana Imam Nawawi menukilkannya dalam
kitab Rawdhah dari al-Qadhi Husain dan beliau menetapkan hal itu karena
menyalahi aturan yang disyariatkan”.
9. Imam Abdur Rauf al-Munawiy
(يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ) اَيْ
اِنَّهُنَّ مِنْ كَمَالِ الطُّوْلِ وَالْحُسْنِ عَلَى غَايَةٍ ظَاهِرَةٍ
مُغْنِيَةٍ عَنِ السُّؤَالِ اَيْ اِنَّهُنَّ فِي غَايَةِ الْحُسْنِ وَ
الطُّوْلِ بِحَيْثُ يُعْجِزُ الِّلسَانُ عَنْ بَيَانِهَا , فَمَنْعُ
السُّؤَالِ كنِاَيَةٌ عَنِ الْعَجْزِ عَنِ الْجَوَابِ . وَالْمُرَادُ
أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَتَيْنِ لِيُوَافِقَ خَبَرَ زَيْدِ
السَّابِقِ وَاِنَّمَا جُمِعَ اْلأَرْبَعُ لِتَقَارِبِهَا طُوْلاً
وَحُسْنًا لاَ لِكَوْنِهِمَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ .شرح الشمائل المحمدية ج 2 ص
: 91 (دار الأقصى 1988)
Artinya: Beliau shalat 4 rakaat, jangan anda tanya bagaimana bagus dan
lamanya beliau shalat. Artinya 4 rakaat yang beliau lakukan tergolong
dari saking sempurna lama dan eloknya atas puncak yang zhahir yang tidak
butuh pertanyaan, artinya 4 rakaat tersebut menggambarkan puncak
keelokan dan lamanya waktu dari segi lidah akan payah dari
menjelaskannya. Penolakan Aisyah dari pertanyaan orang yang bertanya
merupakan kiasan dari tidak mampunya Aisyah untuk memberikan jawaban.
Yang dimaksud Rasulullah shalat 4 rakaat itu dikerjakan dengan 2 salam
agar menjadi sesuai dengan keterangan hadis dari Zaid yang telah lalu.
Hanya sanya digabungkan penyebutan 4 rakaat karena berdekatan antara
keduanya dalam hal lama dan eloknya, bukan berarti 4 rakaat itu dipahami
dengan satu salam.
10. Imam Zaynuddin al-Malibariy:
(وَ) صَلاَةُ (التَّرَاوِيْحِ) وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ
تَسْلِيْمَاتٍ، فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، لِخَبَرِ: مَنْ قَامَ
رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاْحتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ. وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، فَلَوْ صَلَّى
أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ ، بِخِلاَفِ سُنَّةِ
الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَالضُّحَى وَاْلوِتْرِ. وَيَنْوِي بِهَا
التَّرَاوِيْحَ أَوْ قِيَامَ رَمضَانَ) . فتح المعين شرح قرة العين بمهمات
الدين: ص : 33( منارا قدس د ت)
Artinya: Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 kali salam pada setiap malam
di bulan Ramadhan. Karena ada hadis: Siapa saja melaksanakan Qiyam
Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu
di ampuni. Wajib setiap 2 rakaat mengucapkan salam. Jika seseorang
shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukum shalat Tarawihnya
tidak sah. Berbeda dengan shalat sunah Zuhur, Ashar, Dhuha dan witir.
Seharusnya bagi yang mengerjakan shalat Tarawih, ia berniat dengan niat
Tarawih atau Qiyam Ramadhan.
11. Imam Muhammad Ibn Qasim
اَلتَّرَاوِيحُ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فيِ
كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَجُمْلَتُهَا خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ,
وَيَنْوِيْ الشَّخْصُ بِكُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّرَاوِيْحَ أَوْ قِيَامَ
رَمَضَانَ, فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ
لَمْ تَصِحَّ . )فتح القريب المجيب شرح متن غاية والتقريب ص : 13 ( منارا
قدس د ت)
Artinya: Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat, terdiri dari 10 salam pada
tiap malam bulan Ramadhan. Jumlahnya 5 tarwihah (istirahat). Seseorang
yang mengerjakannya ia berniat tiap 2 rakaat akan shalat Tarawih atau
Qiyam Ramadhan. Jika ia shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam maka
shalat Tarawihnya tidak sah .
12. Imam Murtadha Muhammad al-Zabidiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ
وَكَيْفِيَّتُهَا مَشْهُوْرَةٌ قَالَ النَّوَوِيُّ فَلَوْ صَلَّى
أَرْبَعًا بِتَسْلِيمِة لَمْ يَصِحَّ. (اتحاف السادة المتقين شرح احياء
علوم الدين: ج 3 ص : 415 (دار الفكر د ت)
Artinya: Shalat Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam. Tata caranya
telah diketahui banyak orang. Imam Nawawi berkata “Seandainya seseorang
shalat Tarawih 4 rakaat dengan sekali salam, maka shalat Tarawihnya
tidak sah.”
13. Imam Muhammad Amin Kurdiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِي
كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ, فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ
لَمْ يَصِحَّ , وَيُسَنُّ كَوْنُهَا جَمَاعَةً .) تنويرالقلوب في معاملة
علام الغيوب : ص : 199 (دار الفكر 1994)
Artinya; Shalat Tarawih itu dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Bila
seseorang shalat setiap 4 rakaat dengan satu salam maka shalatnya tidak
sah. Disunahkan pelaksanaannya berjamaah.”
14. Syaikh Mahmud Muhammad Khatthab al-Subkiy
وَيُطْلَبُ السَّلاَمُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى
أَرْبَعًا أَوْ أَكْثَرَ بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ وَقَعَدَ عَلَى رَأْسِ
كُلِّ رِكْعَتَيْنِ صَحَّتْ صَلاَتُهُ مَعَ الْكَرَاهَةِ عِنْدَ غَيْرِ
الشَّافِعِي , وَلاَ تَصِحُّ عِنْدَ هُمْ , لِأَنَّ السَّلاَمَ مِنْ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ فَرْضٌ عِنْدَهُمْ . وَكَذَا اِذَا لَمْ يَقْعُدْ عَلَى
رَأْسِ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلاَ تَصِحَّ عِنْدَهُمْ بِالْأَوْلَى . وَبِهِ
قَالَ محمدٌ وَ زُفَرُ لِأَنَّ الْقُعُوْدَ عَلَى رَأْسِ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ فَرْضٌ فِي التَّطَوُّعِ . (الدين الخالص أو ارشاد الخلق الى
دين الحق ج 4 ص : 170 (مطبعة السعادة 1964)
Artinya: Dituntut melakukan salam pada tiap 2 rakaat,. Seandainya
seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat atau lebih dengan satu salam
dan ia duduk tasyahhud, maka shalatnya sah tetapi makruh menurut ulama
selain Mazhab Syafii, dan tidak sah menurut Mazhab Syafii. Alasannya
karena memberi salam pada tiap 2 rakaat itu wajib dalam Mazhab Syafii,
begitu juga bila seseorang tidak melakukan duduk tasyahhaud pada tiap 2
rakaat maka lebih teristimewa tidak sah. Dalam hal ini Syaikh Muhammad
dan Zufar mengatakan: ”Duduk tasyahhud pada tiap 2 rakaat dalam shalat
sunah hukumnya wajib.
15. Syaikh Shiddiq Hasan Ali al-Qanujiy al-Bukhariy
قَالَ الْحَلِيمِيُّ وَالسِّرُّ فِي كَوْنِهَا عِشْرِينَ أَنَّ
الرَّوَاتِبَ فِي غَيْرِ رَمَضَانَ عَشْرُ رَكَعَاتٍ فَضُوعِفَتْ لِأَنَّهُ
وَقْتُ جِدٍّ وَتَشْمِيرٍ ،وَفُهِمَ مِمَّا سَبَقَ مِنْ أَنَّها بِعَشْرِ
تَسْلِيْمَاتٍ أَنَّهُ لَوْ صَلَّاهَا أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ
يَصِحَّ . وَبِهِ صَـرَّحَ اْلاِمَـامُ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ
لِشَبَهِهَا بِالْفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلَا تَغَيُّرَ عَمَّا
وَرَدَ .( عون الباري لِحَلِّ أدلة البخاري ج 2 ص : 862 دار الرشيد : حلب
سوريا 1992)
Artinya; Imam al-Halimi berkata ”Hikmah dan rahasia 20 rakaat shalat
Tarawih adalah shalat Rawatib yang Muakkad itu 10 rakaat, di bulan
Ramadhan digandakan karena bulan Ramadhan itu bulan yang penuh semangat
dan gairah untuk mengerjakan ibadah. Dipahami dari ungkapan yang telah
lalu sesungguhnya shalat Tarawih itu pelaksanaannya dengan 10 kali
salam, Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam,
maka shalatnya tidak sah. Seperti inilah keterangan yang telah
dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam kitab al-Rawdhah, Karena shalat
Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan
dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).
16. Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz:
فقد ثبت عن النبي عليه الصلاة والسلام ما يدل على التوسعة في صلاة الليل
وعدم تحديد ركعات معينة، وأن السنة أن يصلي المؤمن وهكذا المؤمنة مثنى مثنى
يسلم من كل اثنتين، ومن ذلك ما ثبت في الصحيحين من حديث ابن عمر رضي الله
عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((صلاة الليل مثنى مثنى، فإذا خشي
أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى))، فقوله صلى الله عليه
وسلم: ((صلاة الليل مثنى مثنى)) خبر معناه الأمر، يعني: “صلوا في الليل
مثنى مثنى” ومعنى: مثنى مثنى يسلم من كل اثنتين، ثم يختم بواحدة وهي الوتر،
وهكذا كان يفعل عليه الصلاة والسلام فإنه كان يصلي من الليل مثنى مثنى ثم
يوتر بواحدة عليه الصلاة والسلام كما روت ذلك عائشة رضي الله عنها وابن
عباس وجماعة، قالت عائشة رضي الله عنها: ((كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم يصلي من الليل عشر ركعات يسلم من كل اثنتين ثم يوتر بواحدة))[1]،
وقالت رضي الله عنها: ((ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان
ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعاً فلا تسال عن حسنهن وطولهن، ثم
يصلي أربعاً فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثاً))[2] متفق عليه. وقد
ظن بعض الناس أن هذه الأربع تؤدى بسلام واحد وليس الأمر كذلك وإنما مرادها
أنه يسلم من كل اثنتين كما ورد في روايتها السابقة
________________________________________
[1] رواه أبو داود في (الصلاة) برقم (1137)، والإمام أحمد في (باقي مسند الأنصار) برقم (24155).
[2] رواه البخاري في (الجمعة) رقم (1147)، ومسلم في (صلاة المسافرين) برقم
(1219)، والإمام أحمد في (باقي مسند الأنصار) برقم (23307).
Telah ditetapkan dari Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam atas apa yang
menunjukkan keluasan masalah shalat malam (qiyamul lail) dan tidak
adanya penjelasan mengenai jumlah hitungan rakaatnya. Dan sesungguhnya
sunnah (melakukan shalat malam) apabila mukmin laki-laki maupun
perempuan yaitu shalat dengan dua (rakaat) dua (rakaat) salam dari
setiap dua rakaat, hal itu apa yang telah ditetapkan di dalam shahihain
(Hadits Bukhari Muslim) dari hadits Ibnu Umar ra. Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat malam dua (rakaat) dua
(rakaat) salam dari setiap dua rakaat, maka apabila salah satu diantara
kamu khawatir datang waktu shubuh, shalatlah satu rakaat sebagai penutup
atas shalat yang telah dikerjakan.” Dan sabda Shallalahu ‘alaihi wa
sallam , “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat” menjelaskan perintah
shalat yaitu “Shalatlah kalian di malam hari dua dua”, maksud dua dua
adalah setiap dua rakaat salam, kemudian ditutup shalat witir satu
rakaat. Demikian shalat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan melakukan shalat malam dua rakaat salam dua rakaat salam
dan kemudian menutupnya dengan shalat witir satu rakaat. Sebagaimana hal
itu telah diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah rah, Ibnu Abbas ra. dan
jama’ah.
Siti ‘Aisyah rah. Berkata, “Adalah Rasulullah melakukan shalat malam 10
rakaat pada setiap dua rakaat beliau salam. Kemudian beliau shalat witir
1 rakaat.” (HR, Abu Daud dan Ahmad)
Dan Siti ‘Aisyah rah. Berkata, “Rasulullah tidak pernah melakukan shalat
malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih
dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang
bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau
bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat.”
(HR Muttafaq ‘alaih).
Sebagian manusia mengira sesunggungnya melakukan 4 rakaat sekali salam,
bukan itu yang diperintahkan tetapi sesungguhnya yang diperintahkan
adalah melakukan salam pada setiap 2 rakaat sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh hadits.
Takhtimah
Rasulullah Saw menganjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam
Ramadhan dengan memperbanyak sholat. Berikut adalah bilangan raka’at
shalat tarawih dan cara melaksanakannya menurut sunnah Rasulullah Saw.
1. Bilangan raka'at shalat Tarawih Rasulullahsaw. adalah 11 raka'at,
yaitu 4 raka'at, kemudian 4 raka'at, kemudian 3 raka'at witir.
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي
رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي
أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي
ثَلاَثًا
Rasulullah saw. tidak pernah mengerjakan shalat pada bulan Ramadhan atau
di luar Ramadhan lebih dari sebelas raka'at. Beliau shalat empat
raka'at, maka janganlah engkau tanyakan tentang baiknya dan lamanya
beliau berdiri. Selanjutnya beliau shalat lagi empat raka'at, maka
janganlah engkau tanyakan tentang baiknya dan lamanya beliau berdiri.
Selanjutnya beliau shalat tiga raka'at. (Hadits riwayat Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Tirmidzy, dan Nasa'i dari Aisyah, istri Rasulullah saw.)
Untuk shalat tarawih secara khusus yang memang hanya ada di bulan
Ramadhan, mereka menggunakan dalil dari apa yang dikerjakan oleh seluruh
shahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa Umar bin Khattab,
yaitu shalat tarawih seusai shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat.
Saat itu Umar ra. melihat bahwa umat Islam shalat tarawih
sendiri-sendiri, lalu beliau mengatakan bahwa alangkah baiknya bila
mereka tidak shalat tarawih sendiri-sendiri, tapi di belakang satu imam
yaitu Ubay bin Ka’ab. Dan riwayat yang mereka tetapkan adalah bahwa
jumlah rakaat shalat tarawihnya para shahabat saat itu adalah 20 rakaat.
Sedangkan jumlah shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang hanya sesuai riwayat Bukhari no. 924 dan Muslim
no. 761 diatas hanya 3 malam saja, lalu setelah itu tidak dikerjaan
lagi, ternyata semua riwayatnya tidak menyebutkan jumlah rakaatnya.
Satu-satunya yang bisa dijadikan rujukan adalah jumlah rakaat para
shahabat ketika shalat tarawih di zaman Umar bin Al-Khattab ra. Dan
ternyata jumlahnya 20 rakaat. Logikanya, mana mungkin seluruh shahabat
mengarang sendiri untuk shalat dengan 20 rakaat? Pastilah mereka
melakukannya karena dahulu sempat shalat tarawih 20 rakaat bersama nabi
SAW. Sayangnya, hadits tentang shalat tarawihnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dulu sama sekali tidak menyebutkan jumlah rakaat.
Sebab sangat dimungkinkan adanya satu hadits dengan beberapa penilaian
oleh beberapa ulama yang berbeda. Yang satu bilang shahih, yang lain
bila tidak shahih. Dan fenomena ini adalah sesuatu yang sangat bisa
diterima di dalam dunia ilmu-ilmu keIslaman.
2. Dalam riwayat tersebut hanya disebutkan bilangannya saja, tanpa
menyebutkan cara yang dilakukan Rasulullah saw. dalam shalat Tarawih 4
raka'at, 4 raka'at dan 3 raka'at itu. Akan tetapi dalam hadits lain dari
'Aisyah yang juga diriwayatkan oleh Muslim disebutkan caranya, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ
إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ
Dari Aisyah, sungguh Rasulullah saw. dahulu biasa shalat antara sesudah
shalat 'Isya' sampai datangnya waktu Shubuh sebelas raka'at dan setiap
dua raka'at beliau salam.
3. Dari uraian 'Aisyah pada point 2 tersebut kemudian disimpulkan atau
dipahami, bahwa shalat Lail maupun Tarawih 8 raka'at itu dilakukan 2
termin atau 2 tahap. Yaitu termin pertama 4 raka'at dengan cara 2
raka'at salam, 2 raka'at salam lalu istirahat lama. Kemudian termin
kedua 4 raka'at lagi dengan cara 2 raka'at salam, 2 raka'at salam, lalu
istirahat lama. Kemudian 3 raka'at witir. Pemahaman ini sesuai dengan
hadits Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i:
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ
فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ وَهُوَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى فَرَغَ
مِنْهَا "إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ" ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ عَادَ فَنَامَ حَتَّى سَمِعْتُ نَفْخَهُ ثُمَّ قَامَ
فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ
فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَأَوْتَرَ بِثَلَاثٍ
"Saya dulu pernah bermalam di rumah Nabisaw. lalu beliau bangun malam,
lalu wudhu' dan bersiwak, lalu baca ayat "inna fi khalqissamaawaati ...
(Ali 'Imran:190), kemudian beliau shalat 2 raka'at, kemudian kembali ke
tempatnya lalu tidur sampai aku dengar suara dengkurannya. Kemudian
beliau bangun, lalu wudhu' dan bersiwak kemudian shalat 2 raka'at,
kemudian tidur, kemudian bangun, lalu wudhu' dan bersiwak dan shalat 2
raka'at dan witir 3 raka'at."
4. Sahabat Ibnu Abbas juga menyebutkan lebih jelas lagi pada hadits riwayat Nasa'i tentang hal yang sama yaitu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ
اللَّيْلِ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
"Dahulu Rasulullah saw. biasa shalat lail 8 raka'at dan witir 3 raka'at dan 2 raka'at shalat sebelum shubuh."
Dengan penjelasan hadits Aisyah dan Ibnu Abbas tersebut di atas, maka
kita mendapatkan kepastian cara melakukan 4 raka'at yang dimaksudkan
oleh hadits Aisyah itu, yaitu 4 raka'at adalah termin atau tahap, dan
setiap tahap 4 raka'at itu cara melakukannya adalah 2 raka'at salam, 2
raka'at salam, lalu istirahat lama. Bahkan dalam istirahat itu Nabi saw.
kembali ke tempat tidurnya, lalu tidur, seperti keterangan point 3.
5. Mengerjakan shalat Tarawih empat raka'at dapat juga dilakukan dengan
duduk tasyahud awal setelah raka'at kedua, sesuai dengan hadits lain
dari 'Aisyah yang juga diriwayatkan oleh Muslim:
... وَ كَانََ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ ...
" ... dan adalah (Nabi) bersabda : "Pada tiap-tiap dua raka't mengucapkan at-tahiyyat ...."
Dengan riwayat ini berarti bahwa bila suatu shalat dikerjakan 4 raka'at,
setelah mengerjakan 2 raka'at pertama ada duduk tasyahud awal, bukan 4
raka'at langsung tanpa duduk tasyahud awal. Jadi mengerjakan shalat
Tarawih 4 raka'at yang benar ialah dengan duduk tasyahud awal seperti
shalat Zhuhur, 'Ashar atau 'Isya'.
Mengerjakan shalat Tarawih maupun Lail dengan 4 raka'at sekali salam
tanpa duduk tasyahud awal tidak ada contohnya dari Nabi saw. Cara
seperti itu hanya berdasarkan reka-reka akal.
Cara melakukan witir 3 raka'at salam dijelaskan dalam hadits 'Aisyah, yaitu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ اِلاَّّ فِي آخِرِهِنَّ
"Dahulu Rasulullah saw. biasa witir 3 raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at terakhir."(HR Baihaqy)
Dengan hadits ini jelas, bahwa shalat witir 3 raka'at dikerjakan
langsung tanpa duduk tasyahud awal, tetapi hanya sekali duduk tasyahud
pada raka'at terakhir. Sedangkan mengerjakan witir 3 raka'at dengan 2
raka'at salam, kemudian ditambah satu raka'at lagi lalu salam, tidak
terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.
6. Mengerjakan shalat Tarawih maupun Lail dengan 4 raka'at sekali salam
tanpa duduk tasyahud awal tidak ada contohnya dari Nabisaw. Cara seperti
itu hanya berdasarkan reka-reka akal.
7. Cara melakukan witir 3 raka'at salam dijelaskan dalam hadits 'Aisyah, yaitu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ اِلاَّّ فِي آخِرِهِنَّ
"Dahulu Rasulullah saw. biasa witir 3 raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at terakhir."(HR Baihaqy)
Dengan hadits ini jelas, bahwa shalat witir 3 raka'at dikerjakan
langsung tanpa duduk tasyahud awal, tetapi hanya sekali duduk tasyahud
pada raka'at terakhir. Sedangkan mengerjakan witir 3 raka'at dengan 2
raka'at salam, kemudian ditambah satu raka'at lagi lalu salam, tidak
terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.